This is default featured slide 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

Tuesday, 28 October 2014


GAGAL JANTUNG

DEFINISI
Gagal jantung (Heart Failure, HF) adalah kondisi patofisiologi dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolis tubuh. Terminologi gagal jantung lebih disukai daripada gagal jantung kongestif karena pasien bisa mempunyai sindrom klinik gagal jantung tanpa simtom kongesti.
PATOFISIOLOGI
  • HF bisa karena banyak penyakit jantung atau kelainan yang merubah fungsi sistolik, diastolik, atau keduanya.
o   Penyebab disfungsi sistolik (menurunnya kontraktilitas) adalah pembesaran kardiomyopati, hipertropi ventrikular, dan pengurangan massa otot (seperti, myocardial infarction, MI). hipertropi ventrikular bisa disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (sepert, hipertensi sistemik atau pulmonal, stenosis katup aorta atau pulmonal) atau kelebihan volume (seperti, regurgitasi valvular, shunts [penutupan, penghadangan], kondisi dimana output jantung tinggi).
o   Penyebab disfungsi diastolik (pembatasan pada pengisian ventricular) adalah peningkatan kekakuan ventricular, stenosis katup mitral atau tricuspid, dan penyakit pericardial (seperti, pericarditis, pericardial tamponade). Kekakuan ventricular bisa disebabkan oleh hipertropi ventrikular, penyakit infiltratif, dan iskemi serta infark myocardia.
·         Penyebab paling umum adalah penyakit iskemi jantung, hipertensi atau keduanya.
·         Ketika fungsi cardiac menurun, jantung bergantung pada mekanisme kompensasi berikut: (1) takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui sistem saraf simpatik; (2) mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan  preload meningkatkan stroke volume; (3) vasokontriksi; dan (4) hipertropi ventrikular dan remodelling. Meski mekanisme kompensasi ini awalnya menjaga fungsi cardiac, kelamaan malah memicu siklus berbahaya yang memperburuk HF.
·         Model neurohormonal dari HF mengenali bahwa kejadian yang mengawali (seperti, infark myocardiac akut) menyebabkan penurunan output cardiac tapi kondisi HF lalu menjadi penyakit sistemik yang perkembangannya terutama didukung oleh faktor neurohormon dan autocrine/paracrine. Substan ini termasuk angiotensin II, morepinefirn, aldosterone, sitokin proinflamasi (seperti, tumor necrosis faktor α, interleuleins-6 dan interleuleins-1β), endothelin-1, dan peptide natriuretik.
·         Faktor pemicu yang umum yang bisa menyebabkan pasien yang sebelumnya mengalami kompensasi tidak lagi mengalmi kompensasi termasuk yang tidak terkait dengan diet atau terapi obat, iskemi koroner, terapi yang kurang atau tidak sesuai, hipertensi yang tidak terkontrol, dan aritmia.
·         Obat bisa memicu atau memperparah HF karena inotropik negatif atau efek kardiotoksik atau karena retensi air dan natrium.
CIRI KLINIK
  • Manifestasi klinik muncul dari kongesti yang berkembang dibalik ventrikel yang gagal dan sehingga tergantung pada apakah kegagalan pada sisi kiri atau kanan (Tabel 7-1). Kebanyakan psaien awalnya mengalami gagal ventrikel kiri, tapi kedua ventrikel pada akhirnya akan terkena karena antara ventrikel terdapat dinding septal dan karena gagal ventrikel kiri akan meningkatkan kerja ventrikel kanan.
  • Gagal ventrikel kiri menyebabkan simtom dan tanda kongesti pulmonal (seperti, dispnea pada latihan, orthopnea, dispnea paroksimal pada malam hari, dispnea saat istirahat, dan edema pulmonal).
  • Gagal ventrikel kanan menyebabkan tanda dan simtom seperti kongesti sistemik (seperti, edema perifer).
Tabel 7-1
DIAGNOSIS
  • Diagnosis untuk HF sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan tanda dan simtom karateristik.
  • Hipertropi ventricular bisa diperlihatkan dengan pemeriksaan sinar x dada atau ECG.
  • Sistem penggolongan yang paling banyak digunakan adalah New York Heart Association (NYHA) Functional Classificational System. Pasien Functional Class (FC)-1 tidak mempunyai batasan aktivitas fisik, pasien FC-II mempunyai sedikit batasan aktivitas fisik, pasien FC-III mempunyai batasan yang jelas untuk aktivitas fisik, dan pasien FC-IV tidak bisa melakukan aktivitas fisik tanpa merasa terganggu.
HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan terapetik untuk HF kronik adalah perbaikan simtom dan kualitas hidup, mengurangi masa tinggal di rumah sakit, memperlambat perkembangan penyakit, dan memperlama hidup.
                                                                        Gambar 7-1
PERAWATAN GAGAL JANTUNG KRONIK
Prinsip Umum
  • Langkah pertama adalah menentukan faktor penyebab. Pengobatan pada kelainan tersebut (seperti, anemia, hipertiroid) bisa mencegah kebutuhan akan terapi HF.
  • Intervensi non farmakologi termasuk rehabilitasi cardiac dan pembatasan asupan cairan (maksimum 2 l/hari dari semua sumber) dan diet natrium (sekitar 1,5-2 g natrium per hari).
Terapi Farmakologi
  • Alur untuk perawatan HF kronik pada Gambar 7-1. Kebanyakan pasien dengan simtom sistolik HF harus mengambil semua dari terapi awal standar (ACE inhibitor, β blocker, diuretik, dan mungkin digoksin).
Terapi Awal Standar
ACE Inhibitor
  • ACE inhibitor menyebabkan dilatasi vena dan arteri, mengurangi preload dan afterload (Tabel 7-2). Efek hemodinamik pada terapi jangka panjang termasuk peningkatan signifikan pada cardiac index, stroke work index, dan stroke volume index, dan juga pengurangan signifikan pada tekanan pengisian ventricular kiri, tahananan vscular sistemik (systemic vascular resistence, SVR), tekanan rata-rata arteri (mean arterial presure, MAP), dan denyut jantung. Peningkatan signifikan pada kondisi klinik, FC, batasan latihan, ukuran ventrikel kiri, dan mortalitas juga terekam.
  • ACE inhibitor juga efektif untuk pencegahan HF pada pasien resiko tinggi, seperti mereka yang dalam fase penyembuhan setelah infark myocardia akut.
  • Semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, dengan tidak melihat simtomnya, harus menerima ACE inhibitor, kecuali ada kontrandikasi.
β Blocker
  • Ada bukti yang jelas bahwa pasien stabil yng awalnya menerima dosis kecil β blocker yang dosisnya dinaikkan sedikit demi sedikit selama beberapa minggu mendapat manfaat yang signifikan, termasuk memperlambat perjalanan penyakit dan mengurangi masa tinggal di rumah sakit dan mortaltas. Banyak studi (tapi tidak semuanya) juga menunjukkan peningkatan signifikan pada NYHA functional class (FC), simtom pada pasien, dan performa latihan.
Tabel 7-2
  • Panduan praktis The Heart Failure Society of America (HFSA) menyarankan terapi β blocker untuk semua pasien yang stabil secara klinik dengan disfungsi sistolik (left ventricular ejection fraction, LVEF<40%) dan simtom ringan sampai sedang (HF FC II atau III). Panduan itu menyatakan bahwa β blocker sebaiknya ditambahkan ke terapi standar, yang umumnya termasuk ACE inhibitor, diuretik, dan seringkali digoksin. Meski banyak data yang dibutuhkan, pasien dengan HF parah (FC IV) bisa juga menerima manfaat dari terapi β blocker.
  • Manfaat bisa muncul dari inhibisi aktivasi neurohormonal yang bertanggung jawab untuk perkembangan penyakit. β blocker secara knsisten menaikkan LVEF, menurunkan massa ventricular, dan mengurangi volume sistole dan diastole.
  • Karena manfaat yang lebih besar terlihat pada dosis yang lebih tinggi, pasien sebaiknya ditingkatkan dosisnys secara titrasi jika mungkin. Tetapi, bahkan dosis rendah mempunyai efek lebih baik dari plasebo, ketidakmampuan untuk meningkatkan dosis dengan titrasi bukan alasan untuk menghentikan terapi.
  • Carvedilol, metoprolol, dan bisoprolol telah menunjukkan manfaat untuk HF, tapi saat ini tidak ada data yang bisa menunjukkan apakah agen ini lebih baik dari lainnya. Pemilihan bentuk obat dari ketiganya berdasar pada potensi untuk efek samping, ongkos, dan kemungkinan kepatuhan pasien.
  • Dosis awal dan dosis target oral β blocker untuk HF yang disarankan adalah:
o   Bisoprolol, 1,25 mg qd dosis awal; dosis target 10 mg qd.
o   Carvedilol, 3,125 mg bid dosis awal; dosis target 25 mg bid (dosis target untuk pasien dengan BB >85 kg adalah 50 mg bid).
o   Metoprolol tartrat, 6,25 mg bid dosis awal; dosis target 50-100 mg bid.
o   Metoprolol suksinat CR/XL, 12,5-25 mg qd dosis awal; dosis target 200 mg qd.
·         Dosis sebaiknya digandakan tiap sekitar 2 minggu atau sejauh yang bisa ditolerir sampai dosis target atau dosis tertinggi yang bisa ditolerir dicapai.
Diuretik
  • Mekanisme kompensasi pada HF merangsang retensi air dan natrium, seringkali menyebabkan kongesti sistemik dan pulmonal. Sehingga, terapi diuretik diindikasikan untuk semua pasien dengan bukti adanya retensi cairan.
  • Diuretik thiazide (seperti hydrochlorothiazide) adalah diuretik yang relatif lemah dan digunakan tunggal meski jarang untuk HF. Tetapi, thiazide atau diuretik seperti thiazide metozalone bisa digunakan kombinasi dengan loop diuretic jika diperlukan untuk menghasilkan diuretik yang efektif.
  • Loop diuretic (furosemide, bumetanide, torsemide) adalah diuretik yang paling banyak digunakan untuk HF. Sebagai tambahan atas kerjanya pada thick ascending limb dari lengkung Henle, loop diuretik juga merangsang peningkatan aliran darah renal yang dimediasi prostaglandin sehingga memberikan efek natriuretik. Tidak seperti thiazides, loop diuretic tetap efektif pada gangguan fungsi ginjal, meski dibutuhkan dosis yang lebih tinggi.
  • Dosis untuk loop diuretic di atas dosis yang disarankan tidak memberikan efek tambahan pada HF. Sehingga, ketika dosis tersebut dicapai, frekuensi pemberian ditingkatkan hanya untuk efek tambahan, daripada memberikan dosis yang lehb tinggi.
  • Dosis harian dan dosis tertinggi untuk loop diuretic pada psien dengan berbagai tingkatan fungsi renal pada Tabel 7-3.
Tabel 7-3
Digoksin
  • Pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikular kiri dan takiaritmia supraventricular seperti fibrilasi atrial, digoksin sebaiknya dipertimbangkan diberikan awal untuk membantu kontrol respon ventrikular.
  • Untuk pasien dengan ritme sinus normal, digoksin tidak meningkatkan keselamatan, tapi efek inotropic positifnya, pengurangan simtom, dan peningkatan kualitas hidup adalah bukti pada HF dengan tingkat ringan sampai parah. Sehingga, digoksin sebaiknya digunakan bersama dengan terapi standar HF lainnya (ACE inhibitor, β blocker, dan diuretik) pada pasien dengan symptomatic HF. Harus diperhatikan pada pemberian digoksin setelah memulai terapi β blocker sehingga bradikardi yang dihubungkan dengan digoksin tidak bersamaan dengan penggunaan β blocker.
  • Kebanyakan manfaat digoksin didapat pada konsentrasi plasma yang rendah. Untuk kebanyakan pasien, konsentrasi plasma target digoksin sebaiknya antara 0,5-1 ng/ml. Untuk pasien dengan fungsi renal normal konsentrasi ini bisa dicapai dengan dosis 0,25 mg/hari. Pasien dengan penurunan fungsi renal, manula, atau mereka yang menerima obat yang berinteraksi (seperti, amiodarone) sebaiknya menerima 0,125 mg atau kurang tiap hari. Pada absennya takiaritmia, loading dose tidak digunakan karena digoksin adalah agen inotropin ringan yang menghasilkan efek bertahap setelah beberapa jam, bahkan setelah loading.
Terapi Gagal Jantung Lainnya
Antagonis Aldosterne
  • Spironolakton adalah inhibitor aldosterone yang menghasilkan efek diuretik hemat-kalium lemah. Penggunaannya pada HF telah dipelajari karena aldosterone adalah neurohormone yang berperan penting dalam ventricular remodelling dengan meningkatkan deposit kolagen dan cardiac fibrosis.
  • Pada uji kontrol-plasebo, penambahan spironolakton, 25 mg/hari, pada pasien dengan terapi standar CF III atau IV yang dikaitkan dengan pengurangan signifikan pada waktu tinggal di rumah sakit dan mortalitas serta perbaikan simtom, seperti diperkirakan dengan adanya perubahan kelas pada CF dari NYHA. Efek samping paling umum adalah ginekomasti, yang terjadi pada 10% pasien. Ada peningkatan rerata pada konsentrasi serum kalium (0,3 mEq/l) yang signifikan secara statistik, tapi secara klinik tidak penting.
  • Karena potensinya, rendahnya resiko, dan rendahnya biaya, spironolakton bisa digunakan untuk semua pasien HF simtomatik, bahkan meski penggunaannya belum dipelajari untuk pasien kelas II. Konsentrasi serum kalium harus dimonitor secara rutin karena potensi resiko hipokalemia.
Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
  • Angiotensin II receptor blocker (seperti, losartan, candesartan, irbesartan, valsartan) mem-block angiotensin II reseptor subtipe AT1, mencegah efek berbahaya dari angiotensin II,dari manapun sumbernya. ARB tampaknya tidak mempengaruhi bradikinin dan tidak dihubungkan dengan efek samping batuk yang terkadang muncul dari akumulasi bradikinin yang dirangsang oleh penggunaan ACE inhibitor. Juga, blokade langsung reseptor AT1 menyebabkan stimulasi AT2 reseptor, menyebabkan vasodilatasi dan inhibisi ventricular remodelling.
  • Meski beberapa data menyarankan bahwa ARB menghasilkan manfaat mortalitas yang sama dengan ACE inhibitor tapi dengan efek samping yang lebih kecil, ACE inhibitor tetap merupakan obat pilihan untuk HF karena khasiatnya yang telah terbukti, yang juga terlihat untuk MI dan diabetes.
  • Saat ini, ARB pada HF sebaiknya terbatas pada pasien yang tidak bisa menerima ACE inhibitor, terutama karena batuk yang sulit disembuhkan atau angioedema. Tetapi, angioedema telah dilaporkan dengan ARB, termasuk serangan ulang setelah angioedema karena ACE inhibitor. ARB sebaiknya tidak menjadi alternatif bagi pasien dengan hipotensi, hiperkalemi, atau gangguan fungsi ginjal, karena ACE inhibitor sebab ARB akan memberikan efek samping seperti itu.
Nitrat dan Hydralazine
  • Nitrat (seperti, isosorbide dinitrate, ISDN) dan hydralazine awalnya merupakan kombinasi untuk HF karena aksi hemodinamik mereka yang saling melengkapi. Nitrat pada umumnya adalah vasodilator, menghasilkan pengurangan pada preload. Hydralazine adalah vasodilator langsung yang bekerja terutama pada arterial otot halus untuk mengurangi SVR dan meningkatkan stroke volume dan cardiac output. Lebih jauh, nitrate bisa menginhibit proses ventricular remodelling, dan hydralazine mencegah toleransi nitrat dan bisa menghalangi perjalanan HF melalui efek antioksidan.
  • Pada Veteran Affairs Cooperative Study kedua yang disebut Vasodilator in Heart Failure Trial (V-HeFT-II), ACE inhibitor enalapril memberikan pengurangan pengurangan mortalitas yang superior terhadap kombinasi hydralazine, 75 mg qid, dan ISDN, 40 mg qid (penurunan relatif mortalits 28%). Lebih jauh, efek samping hydralazine dan nitrat membatasi penggunaannya pada banyak pasien, dan kebutuhan untuk pemberian yang sering bisa mengurangi kepatuhan pasien.
  • Berdasar pada data V-HeFT-II, kombinasi hydralazine/nitrat sebaiknya tidak digunakan menggantikan ACE inhibitor pada terapi standar HF. Tetapi, hydralazine dan nitrat sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan terapi paling sesuai untuk pasien yang tidak mampu menggunakan ACE inhibitor karena gangguan fungsi ginjal dan kemungkinan hipertensi. Kombinasi hydralazine/nitrat atau suatu ARB adalah alternatif pilihan pada pasien lain dengan intoleransi ACE inhibitor.
Antiaritmia
  • Karena sampai 50% kematian HF adalah mendadak dan dianggap karena aritmia, penggunaan beberapa antiaritmia telah dipelajari.
  • Amiodarone merupakan pilihan pada HF, meski beberapa data menunjukkan bahwa implantable cardioverter defibrillator (ICD) lebih superior dari obat antiaritmia. Sehingga, pada pasien HF dengan aritmia ventricular, ICD disarankan penggunaannya, dengan amiodarone sebagai terapi alternatif pilihan.
  • Antiaritmia kelas I sebaiknya dihindari pada semua pasien dengan penyakit koroner dan/atau disfungsi ventrikel kiri.
PERAWATAN GAGAL JANTUNG DEKOMPENSASI/ADVANCED
Prinsip Umum
  • Pasien sebaiknya diijinkan memasuki ICU ketika menunjukkan tanda hiperfusi sistemik yang signifikan, mengembangkan kongesti pulmonary vascular yang membutuhkan ventilasi dengan mesin, adanya manifestasi simtom takiaritmia yang tertunda, atau membutuhkan vasoaktif iv yang lebih poten atau obat inotropik atau bantuan ventricular mekanis.
Gambar 7-2
  • Sokongan cardiopulmonary harus dilakukan dan disesuaikan dengan cepat. Monitoring ECG, continous pulse oxymetri, monitoring aliran urin, dan pengukuran tekanan darah sphygmomanometric automatis diperlukan. Pengarah aliran arteri pulmonal atau kateter Swan-Ganz juga bisa digunakan untuk mengukur tekanan vena pulmonal (atrial kiri).
  • Penyebab reversibel atau yang bisa diobati dari dekompensasi harus dikoreksi. Obat yang bisa memperberat HF sebaiknya dievaluasi seksama dan dihentikan jika mungkin.
  • Langkah pertama dalam perawatan advanced HF adalah memastikan bahwa perawatan optimal dengan obat oral telah dicapai. Jika ada bukti untuk retensi cairan, diuresis yang agresif, seringkali dengan diuretik iv, harus diberikan. Kebanyakan pasien sebaiknya menerima digoksin dosis rendah untuk mecapai konsentrasi serum 0,5-1 ng/ml. perawatan optimal dengan ACE inhibitor sebaiknya menjadi prioritas. Meski β blocker sebaiknya tidak diberikan dalam periode yang tidak stabil ini, jika mungkin pemberiannya dilanjutkan, pada pasien yang telah menerimanya untuk alasan kronis.
  • Penanganan yang sesuai untuk advanced HF dibantu dengan penentuan apakah pasien mempunyai tanda dan simtom kelebihan cairan (HF ‘basah’) atau cardiac output yang kecil (‘dry’ HF) (Gambar 7-2).
  • Sebagai tambahan untuk ciri klinik, monitoring hemodinamik yang invasif membantu menetukan perawatan dan menggolonglan pasien ke empat subset hemodinamik spesifik berdasar atas caridac index dan tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary artery occlusion ppressure, PAOP). Lihat Bab 13 untuk tambahan informasi.
Farmakoterapi untuk Gagal Jantung Dekompensasi/Advanced
Diuretik
  • Loop diuretik iv, termasuk furosemide, bumetanide, dan torsemide, digunakan untuk advanced HF, dengan furosemide sebagai agen yang paling banyak dipelajari.
  • Pemberian diuretik bolus mengurangi preload dengan venodilatasi fungsional dalam 5-15 menit dan setelahnya (>20 menit) melalui ekskresi air dan natrium, sehingga memperbaiki kongesti pulmonal. Tetapi, reduksi akut pada venous return bisa memperburuk preload efektif pada pasien dengan disfungsi diastolik signifikan atau deplesi intravascular.
  • Karena diuretik bisa menyebabkan reduksi preload yang eksesif, penggunaannya harus hati-hati untuk mendapatkan perbaikan yang diinginkan pada simtom kongesti sementara menghindari reduksi pada cardiac output.
  • Efek diuresis bisa ditingkatkan dengan penambahan diuretik dengan mekanisme yang berbeda (seperti, kombinasi loop diuretic dengan tubulus distal blocker seperti metolazone atau hydrochlorothiazide). Terapi kombinasi sebaiknya hanya untuk pasien yang bisa dimonitor dengan seksama untuk deplesi kalium, natrium dan volume yang parah. Diuretik tipe thiazide sebaiknya diberikan dalam dosis sangat rendah untuk menghindari efek samping serius.
Agen Inotropik Positif
  • Dobutamine adalah agonis reseptor β1 dan β2 dengan beberapa efek agonis α (Tabel 7-4). Efek vascular  umumnya vasodilatasi. Dobutamine mempunyai efek inotropik poten  tanpa menimbulkan perubahan signifikan pada denyut jantung. Dosis awal 2,5-5 μg/kg per menit bisa ditingkatkan sampai 20 μg/kg per menit atau lebih tinggi berdasar respon klinik dan hemodinamik.
Tabel 7-4
  • Dobutamine meningkatkan cardiac index karena stimulasi inotropik,  vasodilatasi arterial, dan variasi peningkatan pada denyut jantung. Dobutamine menyebabkan perubahan relatif kecil pada rerata tekanan arterial jika dibandingkan dengan peningkatan yang lebih konsisten pada pemberian dopamine.
  • Pengurangan effek hemodinamik dobutamin telah dilaporkan setelah infusi terus menerus selama 72 jam.
  • Beberapa pasien mengalami manfaat klinik dan hemodinamik yang tertunda selama beberapa hari atau bulan setelah rangkaian perawatan meski waktu paruhnya yang cuma 2,5 menit. Efek bermanfaat telah dihubungkan dengan regimen dosis yang teratur, dalam interval (seperti, infusi 4-72 jam selama 3-7 hari untuk 4-24 minggu). Tetapi, studi terkontrol menunjukkan peningkatan mortalitas pada pasien yang dirawat dengan dobutamine. Ini bisa mengakhiri pemberian regimen dosis infusi dengan interval pada kebanyakan pasien.
  • Amrinone dan milrinone adalah derivat bipyridine yang menginhibit fosfodiesterase III dan menghasilkan efek inotropik positif dan vasodilatasi; sehingga, obat ini sering disebut sebagai inodilator.
  • Selama pemberian iv, amrilone atau milrilone meningkatkan stroke volume (dan cardiac output) dengan sedikit perubahan pada denyut jantung. Obat ini juga menurunkan PAOP dengan venodilatasi dan sehingga berguna unttuk pasien dengan cardiac index rendah dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri. Tetapi, penurunan pada preload ini bisa berbahaya untuk pasien tanpa tekanan pengisian (filling presure) yang berlebih, sehingga bisa menyebabkan penurunan cardiac index.
  • Amrinone dan milrilone sebaiknya digunakan dengan seksama sebagai agen tunggal pada pasien hipotensi HF akut karena obat ini akan tidak meningkatkan, dan bahkan mungkin menurunkan, tekanan darah arterial.
  • Loading dose amrinone yang biasa diberikan adalah 0,75 mg/kg selama 2-3 menit, diikuti infusi 5-10 μg/kg per menit berkelanjutan.
  • Loading dose milrinone yang biasa diberikan adalah 50 μg/kg selama 10 menit, diikuti oleh infusi 0,5 μg/kg per menit berkelanjutan (dengan rentang 0,375-0,75 μg/kg per menit).
  • Selain efek hemodinamika yang tidak diinginkan, efek samping termasuk aritmia dan trombositopeni yang tergantung dosis. Milrinone lebih disukai dari amrinone karena profil efek samping trombositopeni yang lebih baik (<0,5% vs 2,4%). Pasien yang menerima obat-obat ini harus dimonitor untuk perdarahan dan menjalani penentuan jumlah platelet sebelum dan selama terapi.
  • Umumnya, milrinone sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang menerima terapi kronik β blocker karena efek inotropik positifnya tidak termasuk stimulasi β reseptor.
  • Dopamine sebaiknya dihindari pada advanced HF, tapi aksi farmakologisnya bisa lebih disukai daripada dobutamine atau milrinone pada dua kondisi: (1) pada pasien dengan hipotensi sistemik atau syok cardiogenic saat naiknya tekanan pengisian ventrikel, dimana dopamine dosis >5μg/kg per menit bisa diperlukan untuk meningkatkan tekanan aortik sentral; dan (2) untuk secara langsung memperbaiki fungsi ginkal pada pasien dengan output urin yang kurang meski volume berlebih dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi. Meski kontroversial, dosis rendah (1-3 μg/kg per menit) telah  diberikaan untuk indikasi yang terakhir.
  • Dopamine menghasilkan efek hemodinamik yang tergantung dosis karena afinitas realtifnya untuk reseptor α1, β1 dan β2, serta D1 (dopaminergic vaskular). Efek inotropik positif yang dimediasi terutama oleh reseptor β1 menjadi lebih terlihat dengan dosis 3-100 μg/kg per menit. Pada dosis di atas 10 μg/kg per menit, efek kronotropik dan vasokontriksi yang dimediasi α1 menjadi lebih jelas. Terutama pada dosis yang lebih tinggi, dopamine merubah beberapa parameter yang meningkatkan kebutuhan oksigen myocardial dan berpotensi menurunkan aliran darah myocardial.
Vasodilator
  • Natrium nitropruside adalah vasodilator vena dan arteri yang bekerja langsung pada otot polos vaskuler untuk meningkatkan cardiac index dan menurunkan tekanan vena. Meski aktivitas inotropik langsungnya kurang, nitropruside mempunyai efek hemodinamik yang secara kualitas serupa dengan dobutamine, amrinone, dan milrinone. Tetapi, nitropruside umumnya menurunkan PAOP, SVR, dan tekanan darah lebih dari agen-agen tersebut.
  • Hipotensi adalah efek samping penting yang membatasi dosis nitropruside dan vasodilator lain. Sehingga, nitropruside umumnya digunakan pada pasien dengan SVR yang naik.
  • Nitropruside efektif pada penggunaan jangka pendek HF akut pada berbagai kondisi (seperti, MI akut, regurgutasi valvular, setelah operasi bypass koroner, HF dekompensasi). Umumnya, nitropruside tidak akan memperburuk, dan bisa memperbaiki, keseimbangan kebutuhan dan supply oksigen myocardial. Tetapi, penurunan berlebih pada tekanan arterial sistemik bisa menurunkan perfusi koroner dan memperburuk iskemi.
  • Nitropruside mempunyai onset yang cepat dan durasi kerja <10 menit, sehingga biasanya diberikan dalam bentuk infusi iv. Dosis awal sebaiknya kecil (yaitu, 0,1-0,25 μg/kg per menit) untuk menghindari hipotensi yang berlebih, dan lalu ditingkatkan sedikit-sedikit (0,1-0,2 μg/kg per menit) tiap 5-10 menit jika dibutuhkan dan masih bisa  ditolerir. Rentang dosis efektif yang  biasa dipakai adalah 0,5-3 μg/kg per menit. Karena fenomena rebound setelah penghentian tiba-tiba pada pasien HF,  dosis sebaiknya diturunkan perlahan ketika menghentikan terapi. Toksisitas sianida dan tiosianat karena nitropuside umumnya tidak terjadi jika dosis yang diberikan <3 μg/kg per menit selama <3 hari, kecuali pada pasien dengan serum kreatin di atas 3 mg/dl.
Nitrogliserin
  • Efek hemodinamik utama dari nitrogliserin iv adalah penurunan preload dan PAOP karena venodilatasi fungsional dan vasodilatasi arterial ringan. Umumnya digunakan untuk mengurangi preload pada pasien dengan kongesti pulmonal dan cardiac output rendah atau dalam kombinasi dengan agen inotropik untuk pasien dengan penekanan fungsi sistolik yang parah dan edema pulmonal. Terapi kombinasi dengan nitrogliserin dan dobutamine atau dopamine menghasilkan efek saling melengkapi untuk meningkatkan cardiac index dan menurunkan PAOP.
  • Dosis awal sebaiknya 5-10 μg/kg per menit (0,1 μg/kg per menit) dan ditingkatkan tiap 5-10 menit jika dibutuhkan dan bisa ditolerir. Dosis penjagaan biasanya dari 35-200 μg/kg per menit (0,5-3 μg/kg per menit). Hipotensi dan penurunan berlebih PAOP adalah efek samping penting yang membatasi dosis. Beberapa toleransi muncul pada beberapa pasien selama pemberian 12-72 jam.
Sokongan Sirkulasi Mekanis
  • Intra aortic ballon pump (IABP) bagian bentuk bantuan mekanis yang paling banyak digunakan dan umumnya diberikan pada pasien dengan advanced HF yang tidak merespon terapi obat atau mereka dengan iskemi myocardi yang sulit dikendalikan.
  • Sokongan IABP meningkatkan cardiac index dan perfusi koroner dengan penurunan kebutuhan oksigen myocardiac.
  • Vasodilator iv dan agen inotropik umumnya digunakan bersamaan dengan IABP untuk manfaat hemodinamik dan klinik maksimal.
Terapi dengan Operasi
  • Transplantasi cardiac orthopedic adalah pilihan terapi terbaik untuk pasien HF dengan NYHA CF IV kronik, dengan tingkat keselamatan setelah 5 tahun 60-70%.
  • Teknik operasi baru, termasuk pemindahan aneurisme ventrikel, cardiomyoplasty, dan ventriculectomy kiri parsial, telah menunjukkan perbaikan simtom sampai tingkat tertentu.
EVALUASI HASIL TERAPI
Gagal Jantung Kronik
  • Pasien sebaiknya ditanyai mengenai adanya simtom dan keparahannya dan bagaimana simtom mempengaruhi aktivitas hariannya.
  • Perbaikan simtomatik bisa terlihat dengan hilangnya tanda dan simtom retensi cairan berlebih (lihat Tabel 7-1).
  • Tekanan darah harus dimonitor untuk memastikan hipotensi simtomatik tidak muncul sebagai akibat terapi obat.
  • Berat badan adalah penanda yang sensitif untuk kehilangan atau retensi cairan, dan pasien harus mengukur berat mereka sendiri tiap hari dan melaporkan perubahannya ke dokter mereka.
  • Simtom bisa memburuk pada awal terapi β blocker, dan bisa butuh waktu minggu sampai bulan sebelum pasien menyadari perbaikan simtom.
Gagal Jantung Advanced/Dekompensasi
  • Untuk stabilisasi awal dibutuhkan kandungan oksigen arterial yang cukup.
  • Cardiac index dan tekanan darah harus cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup, yang terlihat dari kondisi mental, kliren kreatin yang cukup untuk mencegah komplikasi azotemic (kelebihan nitrogen) metabolik, fungsi hepatik yang baik sehingga fungsi sintetis dan sekretori tidak terganggu, denyut jantung yang stabil (biasanya 50-110 denyutan/menit) dan ritme yang stabil, absennya iskemi atau infark myocardial, aliran darah kulit dan otot rangka yang cukup untuk mencegah cedera iskemi, dan pH arterial normal (7,34-7,47) dengan konsentrasi serum laktat normal. Tujuan ini biasanya tercapai dengan cardiac index >2,2 (l/menit)/m2, rerata tekanan darah arterial >60 mmHg, dan PAOP <25 mmHg.
  • Pemindahan dari ICU membutuhkan penjagaan parameter yang telah dicapai sebelumnya, dengan tidak adanya terapi infus iv, sokongan sirkulasi mekanis, atau ventilasi.

 sumber : HandBooks Pharmacotherapy (terjemahan)

RESUSITASI KARDIOPULMONAL

DEFINISI
  • Cardiopulmonary arrest adalah berhentinya ventilasi dan sirkulasi spontan setelah kejadian cardiac atau respiratori. Resusitasi cardiopulmonal (cardiopumonary resuscitation, CPR) memberikan ventilasi dan sirkulasi buatan sampai diberikannya adavanced cardiac life support (ACLS) dan sirkulasi kembali normal.
PATOFISIOLOGI
  • Cardiopumonary arrest pada dewasa biasanya sebagai akibat dari aritmia. Aritmia paling umum (80%) adalah ventricullar fibrillation (VT) dan ventricular tachycardia tanpa denyut (pulseless). Pada anak-anak, cardiopulmonary arrest seringkali merupakan lanjutan dari syok progresif atau kegagalan bernafas.
  • Dua teori mengenai mekanisme aliran darah pada CPR. Teori pompa kardiak menyataan bahwa kompresi aktif pada jantung antara sternum dan vertebrae menciptakan ‘sistole artifisial’ yang mana tekanan intraventricular meningkat, katup atrioventrikular menutup, katup aorta membuka, dan darah dipaksa keluar dari ventrikel. Ketika kompresi ventrikular dihentikan, penurunan pada tekanan intraventrikular menyebabkan katup mitral dan trikuspid membuka, dan pengisian ventrikular dimulai. Teori pompa torak yang lebih baru berdasar pada kepercayaan bahwa aliran darah selama CPR merupakan hasil dari perubahan tekanan intratorakis yang dirangsang oleh kompresi dada. Selama kompresi (sistole), gradien tekanan terbentuk antara arteri intratorakis dan vena ekstratorakis, menyebabkan aliran darah diarahkan dari paru ke sirkulasi sistemik. Setelah kompresi berakhir (diastole), tekanan intratorakis menurun dan aliran darah kembali ke paru. Komponen dari kedua teori bisa diterapkan selama CPR.
CIRI KLINIK
  • Onset cardiac arrest bisa dicirikan oleh simtom tipikal kejadian cardiac akut (seperti, angina yang diperpanjang atau rasa sakit akibat infark myocardiac), dispnea (kesulitan bernafas) akut atau orthopnea, palpitasi, atau kepala terasa ringan. Yang lain seperti kehilangan kesadaran dan denyutan bisa terjadi tanpa peringatan.
DIAGNOSIS
  • Diagnosis cepat adalah vital untuk kesuksesan CPR. Pasien harus menerima intervensi secepat mungkin untuk mencegah ritme kardia berubah menjadi aritmia.
  • Cardiac arrest didiagnosa pertama dengan observasi manifestasi klinik untuk cardiac arrest. Diagnosis dipastikan dengan mengevaluasi tanda vital, terutama denyut jantung dan pernafasan.
  • Electrocardiography (ECG) berguna untuk menentukan ritme cardia, yang lalu menentuan terapi obat.
  • VF adalah electrical anarchy dari venrtrikel yang berakibat tidak ada cardiac output dan kolap cardiovaskular.
  • Pulseless electrical activity (PEA) adalah absennya denyut yang bisa terdeteksi dan munculnya aktivitas elektrik selain VF atau PVT.
  • Asistole adalah munculnya ‘garis mendatar’ pada monitor ECG.
HASIL YANG DIINGINKAN
  • Tujuan CPR adalah mengembalikan ventilasi dan sirkulasi yang efektif  secepat mungkin untuk memperkecil kerusakan akibat hipoksi pada organ vital.
  • Setelah resusitasi yang sukses, tujuan utama termasuk optimasi suply oksigen ke jaringan, mengenali penyebab arrest, dan mencegah serangan susulan.
PERAWATAN
  • Filosofi penyediaan CPR dan emergency cardiovascular care (ECC) telah diatur oleh American Heart Asociation (AHA). Rekomendasi terbaru untuk CPR dan EEC berasal dari Guidelines 2000 Conference (Gambar 6-1).
  • Kemungkinan resusitasi yang berhasil diperbesar jika empat elemen kritis pada ‘rantai (chains) keberhasilan’ diterapkan dengan benar: (1) memberikan pertolongan dengan cepat, segera setelah kejadian sebelum paramedis datang; (2) segera memberikan basic life support dan CPR; (3) defibrilasi secepatnya, termasuk penggunaan automatic electrical defibrillator (AED) oleh paramedik atau orang lain yang terlatih; dan (4) penerapan ACLS secepatnya.
  • Basic life support (sokongan kehidupan dasar) berdasar pada perkiraan dan penerapan ABC: airway (jalan udara), breathing (bernafas) dan circulation. Jika tidak ada pernafasan spontan, jalan udara harus dibuka dan dilakukan usaha pertolongan nafas. Jika tidak ada denyutan, diberikan kompresi (tekanan) pada dada yang sejalan dengan pertolongan nafas. Basic life support harus dilanjutkan sampai sirkulasi spontan tercapai, diberikannya ACLS, atau tidak dimungkinkannya melanjutkan pertolongan.
  • ACLS termasuk CPR, defibrilasi elektrik, pengaturan jalan udara, monitoring ECG, dan pemberian obat.
  • Penggunaan kateter vena sentral adalah metode terbaik untuk pemberian obat dan memberi hasil lebih cepat dan puncak konsentrasi obat lebih tinggi pemberian melalui vena perifer. Karena tidak praktis untuk menyela CPR untuk penempatan vena sentral, bisa digunakan vena perifer jika vena sentral tidak disiapkan. Vena antecubital adalah target pertama untuk akses IV perifer.
  • Jika akses sentral atau perifer tersedia, atropine, lidocaine, dan epinefrin bisa diberikan secara endotrakeal. Dosis endotrakeal sebaiknya lebih besar 2-2,5 kali daripada dosis IV. Dosis endotrakeal dilarutkan dalam 10 ml aqua steril atau normal saline untuk memberikan distribusi sebesar mungkin. CPR harus disela dan pemberian dosis melalui ujung tube endotrakeal. Segera setelahnya, diberikan inslufasi (meniupkan udara ke rongga tubuh) tiga sampai lima kali menggunakan kantung udara untuk meng-aerosolkan obat dan memperbesar bioavalaibilitas.
Gambar 6-1
  • Pada pasien anak, rute intraosseous bisa digunakan sementara jika rute lain tidak tersedia.
  • Pemberian melalui intracardiac tidak lagi disarankan karena potensi komplikasi seperti myocardial laceration, coronary arterial laceration, hemopericardium, dan pneumopericardium.
Perawatan VT dan PVT
Perawatan non Farmakologis
  • Orang dengan VT atau PVT sebaiknya menerima defibrilasi elektrik dengan paling tidak tiga sengatan dengan 200 J untuk sengatan pertama dan 200-360 J untuk yang kedua dan ketiga. Setelah tiga percobaan defibrilasi yang tidak berhasil pasien harus mendapatkan CPR selama 1 menit. Intubasi (memasukkan tube ke) endotrakeal dan akses IV harus diberikan saat ini. Setelah jalan udara didapatkan, pasien harus diventilasi dengan 100% oksigen. Agen farmakologis tidak terlalu berperan disini dan tidak disarankan sampai didapatkan jalan udara dan diberikan akses IV.
Terapi Farmakologi
Simpatomimetik
  • Tujuan terapi simpatomimetik untuk memperbesar perfusi koroner dan cerebral selama keadaan aliran darah yang rendah terkait CPR. Agen ini meningkatkan vsikonstriksi arteriol sistemik, sehingga meningkatkan perfusi korner dan cerebral, serta mempertahankan tonus vascular, menurunkan kolaps arterial, dan mengirim darah ke otak dan jantung dan otak.
  • Epinefrin adalah pilihan pertama untuk VF, PVT, asistole, dan PEA. Epinefrin merupakan agonis reseptor α1, α2, β1 dan β2. Keefektifannya terutama karena efek pada reseptor α.
  • Dosis standar epinefrin untuk dewasa adalah 1 mg secara intravena push (IVP) tiap 3-5 menit. Jika dosis 1 mg tidak berhasil, dosis lebih tinggi (sampai 0,2 mg/kg bisa diberikan. Meski beberapa studi menunjukkan dosis tinggi (misal 5 mg) bisa meningkatkan laju resusitasi awal, tingkat keselamatan tidak berubah secara signifikan.
Vasopresin
  • Vasopresin bisa digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk VF atau PVT daripada epinefrin. Vasopresin adalah vasokonstriktor poten yang meningkatkan tekanan darah dan tahanan vaskular. Vasopresin mempunyai beberapa keuntungan daripada epinefrin. Pertama, asidosis metabolik yang sering menyertai cardiapulmonary arrest bisa mengurangi efek vasokonstriksi dari epinefrin: ini tidak terjadi dengan vasopresin. Kedua, stimulasi reseptor beta oleh epinefrin bisa meningkatkan kebutuhan oksigen myokardial dan memperumit fase pasca-resusitasi dari CPR. Alasan penggunaan vasopresin untuk cardiac arrest termasuk: (1) laporan adanya vaskonstriksi arteri koroner dengan iskemi myocardia pada dosis rendah; dan (2) waktu paruhnya lumayan lama (18 menit) sehingga efek vaskonstriksi pasca-resusitasi bisa bertahan lebih lama daripada penggunaan epinefrin.
  • Dosis tunggal 40-unit IV vasopresin bisa digunakan menggantikan epinefrin setelah tiga kali defibrilasi yang tidak berhasil. Jika tidak ada respon terhadap vasopresin dalam 5-10 enit, terapi epinefrin bisa dilanjutkan.
Antiaritmia
  • Alasan utama penggunaan antiaritmia setelah defibrilasi yang tidak berhasil dan pemberian vasopresor adalah untuk  mencegah terbentuknya atau terulangnya VF dan PVT dengan meningkatmya ambang fibrilasi. Karena ada bukti mengenai efek ini, agen ini dikelompokkan oleh Guidelines 2000 Conference sebagai bermanfaat tanpa menyebabkan efek samping (amiodarone, magnesium, procaineamide) atau bisa digunakan tapi tidak dianjurkan (lidocaine).
  • Amiodarone dianggap banyak ahli sebagai antiaritmia pilihan untuk intervensi sekunder. Dosis awal untuk dewasa adalah 300 mg dilarutkan dalam 20-30 normal saline atau D5W dan diinfuskan dengan cepat (misal lebih dari 10 menit). Dosis tambahan 150 mg bisa diberikan dengan infusi cepat untuk VF/PVT berulang atau refrakter, diikuti infusi 1 mg/menit selama 6 jam dan lalu 0,5 mg/menit, dengan dosis maksimum harian 2 g.
  • Hipotensi terjadi pada sekitar 20% pasien tapi bisa diatasi dengan menurunkan laju infus. Efek akut lain termasuk demam, tes fungsi liver yang meningkat, confusion, mual, dan trombositopeni.
  • Lidocaine ini dianggap sebagai bisa diterima tapi tidak disarankan. Pada beberapa studi lidocaine terlihat menaikkan ambang VF dan menurunkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk mengubah VF menjadi ritme yang lebih stabil. Lidocaine lebih disukai daripada bretylium karena efek sampingnya lebih kecil dengan efek yang tidak berbeda signifikan.
  • Dosis awal untuk dewasa adalah 2,5 mg/kg secara IVP. Jika perawatan ini untuk menstabilkan ritme, infusi berkelanjutan 2-4 mg/menit diperbolehkan. Munculnya aritmia selama pemberian infus bisa diatasi dengan pemberian dosis kecil lidocaine (0,5 mg/kg) secara IV bolus dan meningkatkan laju infusi.
  • Konsentrasi plasma lidocaine harus dimonitor selama infusi penjagaan (maintenance) yang diperlama, dan pasien harus dimonitor untuk efek samping slurred speech, perubahan kesadaran, kontraksi otot, dan kejang.
  • Bretyllium masih diterima penggunaannya tapi telah dikeluarkan dari Guidelines 2000 karena sering munculnya efek samping, adanya agen lain yang lebih aman dengan efek sama, dan terbatasnya ketersediaan obat.
  • Penggunaan Procainemide diterima untuk VF refrakter atau berulang dan PVT. Tetapi, manfaatnya dibatasi oleh kebutuhan untuk memperpanjang waktu pemberian, yang membutany tidak sesuai untuk cardiac arrest.
Alternatif untuk VF Refrakter atau PVT.
  • VF berulang atau persisten atau PVT setelah pemberian antiaritmia bisa dihubungkan dengan abnormalitas elektrolit, terutama hiperkalemia, hipokalemia, dan hipomagnesia.  Pemberian magnesium disarankan hanya ketika  rendahnya konsentrasi serum magnesium yang dicurigai merupakan penyebab aritmia atau ketika pasien mengalami TdP. Perawatan dengan magnesium digolongkan sebagai bisa bermanfat tanpa menyebkan bahaya pada VT polymorphic (TdP) dan hipomagnesia. Magnesium sulfate, 1-2 g, dilarutkan dalam 100 ml D5W dan diberikan iv selama 1-2 menit. Untuk perawatan TdP, loading dose 1-2 mg dalam 50-100 ml D5W bisa diberikan selama 5-60 menit, diikuti oleh infusi 0,5-1 g/jam.
Perawatan PEA dan Asistole
Terapi non Farmakologi
  • Kesuksesan perawatan PEA dan asistole tergantung hampir seluruhnya pada diagnosa penyebab. Penyebab reversibel termasuk: (1) hipovolemia; (2) hipoksia; (3) sedang mengalami asidosis; (4) hiperkalemia; (5) hipotermia; (6) over dosis obat; (7) cardiac tamponade; (8) tension pneumothorax; (9) trombosis koroner; dan (10)  trombosis pulmonal.
  • Perawatan PEA serupa dengan perawatan asistole. Kedua kondisi ini membutuhkan CPR, intubasi, dan akses iv. Defibrilasi sebaiknya dihindari pada asistole karena parasympathetic discharge yang dihasilkan bisa mengurangi kemungkinan untuk ROSC dan memperburuk kemungknan keselamatan. Jika tersedia, pacing transkutaneus bisa diberikan.
Terapi Farmakologis
  • Epinefrin bisa diberikan dengan dosis yang sama dengan yang digunakan untuk perawatn VF/PVT.
  • Atropine adalah antimuskarinik yang menghadang efek depresan dari asetilkolin pada node sinus dan atriventrikular, sehingga menurunkan tonus parasimpatik. Selama asistole, tonus parasimpatik bisa meningkat karena stimulasi vagal dari intubasi, hipoksia dan asidosis, atau perubahan pada keseimbangan kontrol simpatik dan parasimpatik. Dari uji acak yang dilakukan tidak terlihat manfaat atropine pada perawatan asistole; bukti terbatas pada serangkaian kasus kecil atau tinjauan retrospektif. Secara umum, hasil menunjukkan bahwa meski atropin bisa menghasilkan ROSC pada beberapa kesempatan, asistolik arrest hampir selalu fatal. Sehingga, penggunaan atropne untuk indikasi ini tidak berbahaya, tapi manfaatnya terbatas. Untuk perawatan PEA, atropine bisa digunakan jika lajunya lambat. Dosis yang direkomendasikan adalah 1 mg iv, diulangi jika perlu tiap 3-5 menit sampai dosis total 0,04mg/kg. Dosis <0,5 mg sebaiknya dihindari untuk mencegah bradikardi paradoks.
Penanganan Asam-Basa selama CPR
  • Asidosis terjadi selama cardiac arrest karena penurunan aliran darah dam ventilasi yang kurang. Penekanan dada hanya memunculkan 20-30% dari cardiac output normal, sehingga bisa terjadi kurangnya perfusi organ, hipoksia jaringan, dan asidosis metabolik. Lebih jauh, kurangnya ventilasi menyebabkan retensi karbon dioksida, yang bisa menyebabkan asidosis respiratori. Gabungan asidosis ini mengurangi kontraktilitas myokard dan bisa menyebabkan aritmia karena rendahnya ambang fibrilasi.
  • Pada awal mengalami cardiac arrest, kurangnya ventilasi alveolar adalah penyebab utama pembatasan akumulasi karbon dioksida dan mengontrol ketidakseimbangan asam-basa. Pada arrest yang durasinya lama, terapi buffer seringkali penting.
  • Pemberian natrium bikarbonat untuk cardiac arrest masih kontroversi karena hanya ada sedikit data klinik yang mendukung penggunaannya dan mungkin mempunyai efek yang membahayakan. Menurut Guidelines 2000, natrium bikarbonat sesuai dan bermanfaat untuk pasien yang diketahui mengalami hiperkalemia. Juga dianggap bisa bermanfaat untuk asidosis karena respon-bikarbonat yang sedang dialami dan over dosis trisiklik anti depresan dan untuk membasakan urin pada over dosis aspirin dan obat lain. Natrium bikarbonat juga mungkin bermanfaat pada pasien dengan interval arrest yang panjang yang mendapatkan intubasi dan ventilasi. Natrium bikarbonat bisa berbahaya pada asidosis hipercarbic, dan sebaiknya tidak diberikan pada situasi ini.
  • Dosis awal natrium bikarbonat yang disarankan adalah 1 mEq/kg iv. Terapi sebaiknya diberikan mengikuti konsentrasi bikarbonat atau base deficit yang dihitung dari analisis gas darah atau pengukuran laboratorium. Koreksi total base deficit sebaiknya dihindari untuk memperkecil resiko alkalosis yang dirangsang secara iatrogenical.
EVALUASI HASIL TERAPI
  • Untuk mengukur sukses CPR, monitring hasil  terapi sebaiknya dilakukan selama percobaan resusitasi dan fase pasca resusitasi. Hasil optimal setelah CPR adalah pasien sadar, merespon, dan bernafas secara spontan. Idealnya, pasien harus tetap tidak tersentuh dari resiko tambahan setelah resusitasi.
  • Denyut jantung, ritme cardiac, dan tekanan darah harus diukur dan direkam selama usaha resusitasi dan setelah intervensi. Penentuan ada tidaknya denyut sangat penting untuk menentukan intervensi mana yang sesuai. Tidak adanya respon terhadap rangkaian intervensi bisa berarti bahwa resusitasi tidak dimungkinkan.
  • Dokter harus mempertimbangkan faktor penyebab cardiac arrest, seperti infark myocard akut, ketidakseimbangan elektrolit, atau aritmia. Kondisi sebelum arrest harus ditinjau dengan seksama, terutama apakah pasien sedang menerima terapi obat.
  • Pemeriksaan laboratorium, termasuk 12-lead ECG, pemeriksaan sinar x dada, pengukuran gas darah arterial, dan penentuan kimia darah, adalah perlu.
  • Perubahan fungsi cardiac, hepatik, dan renal karena iskemi selama arrest membutuhkan perhatian khusus.
  • Fungsi neural sebaiknya diukur menurut Glasgos Coma Scale dan Cerebral Performance Category.


Wednesday, 22 October 2014


ARITMIA

DEFINISI
Aritmia didefinisikan sebagai kehilangan ritme kardiak, terutama iregularitas denyut jantung. Bab ini membahas kelompok kondisi yang disebabkan oleh abnrmalitas pada tingkat, regularitas, atau urutan aktivasi kardiak.

PATOFISIOLOGI
Aritmia Supraventricular
  • Takikardi supraventricular umum yang membutuhkan perawatan obat adalah fibrilasi atrial atau getaran iregular atrial (atrial fluter), takikardi supraventricular paroksimal, dan takikardi atrial automatis. Aritmia supraventricular umum lainnya yang biasanya tidak membutuhkan terapi obat (misal komplek atrial prematur, pacemaker atrial yang berubah-ubah, sinus aritmia, sinus takikardi) tidak dibahas di bab ini.
Fibrilasi Atrial dan Atrial Flutter
  • Fibrilasi atrial dicirikan dengan aktivasi atrial yang sangat cepat(400-600  denyutan atrial/menit) dan tidak terorganisir. Terjadi kehilangan kontraksi atrial (atrial kick), dan impuls supraventricular memasuki sistem konduksi atrioventricular (AV) pada tingkatan yang bervariasi, berakibat aktivasi ventrikular yang iregular dan pulsa iregular yang tidak teratur (120-180 denyutan/menit).
  • Atrial flutter dicirikan dengan aktivasi atrial yang cepat (270-33- denyutan atrial/menit) tapi regular. Respon ventricular biasanya mempunyai pola yang regular. Aritmia ini terjadi lebih jarang dari fibrilasi atrial tapi mempunyai faktor penyebab yang sama, konsekuensi, dan juga terapi obat.
  • Mekanisme predominan fibrilasi atrial dan atrial flutter adalah re-entry, yang biasanya dikaitkan dengan penyakit jantung organik yang menyebabkan distensi (memperbesar) atrial (seperti iskemi atau infark, penyakit jantung hipertensi, kelainan katup). Kelainan lain yang dihubungkan seperti embolu pulmonal akut dan penyakit paru kronik, berakibat hipertensi pulmonal dan cor pulmonal; dan keadaan tonus adrenergis tinggi seperti thyrotoxicosis (hipertiroid), alcohol withdrawal, sepsis, atau latihan fisik berlebih.
Takikardi Supraventricular Paroksimal yang Disebabkan Re-entry
  • Paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT) muncul oleh mekanisme re-entry termasuk aritmia yang disebabkan oleh re-entry AV nodal, re-entry AV yang masuk ke dalam anmali jalur AV, re-entry sinatrial (SA) nodal, dan re-entry intra-atrial.
Takikardi Atrial Automatis
  • Takikardi Atrial Automatis seperti takikardi atrial multifocal tampaknya muncul dari foci supraventricular dengan sifat automatis yang diperbaiki. Penyakit pulmonal parah merupakan kelainan penyebab pada 60-80% pasien.
Aritmia Ventricular
Denyutan Prematur Ventricular
  • Ventricular premature beats (VPB) adalah gangguan ritme ventrikular umum yang terjadi pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung dan bisa dibuat secara eksperimen dengan automaticitas abnormal, aktivitas pemicu, atau mekanisme re-entry.
Takikardi Ventricular
  • Ventricular tachycardia (VT)  didefinisikan dengan tiga atau lebih VPB berulang yang terjadi pada >100 denyutan/menit. Ini terjadi paling umumnya pada infark myocardia akut (myocardial infarction, MI); penyebab lain adalah kelainan elektrolit yang parah (seperti hipokalemi), hipoksemi, dan keracunan digitalis. Bentuk kronik berulang selalu dikaitkan dengan penyakit jantung organik (seperti dilasi cardiomyopati idiopatik atau MI terpisah dengan aneurisme left ventricular (LV)/ ventrikel  kiri).
  • VT yang bertahan membutuhkan intervensi terapetik untuk mengembalikan ritme yang stabil atau paling tidak waktu yang relatif lama (biasanya >30 detik). Nonsustained VT (NSVT) hilang secara otomatis setelah beberapa waktu (biasanya <30 detik). VT Incessant (berlanjut) yaitu VT yang terjadi lebih sering daripada ritme sinus sehingga VT menjadi ritme dominan. VT yang dirangsang latihan terjadi selama tnus simpatetik yang tinggi (misalnya eksersi [membuat menjadi lelah] fisik). VT monomorphic mempunyai konfigurasi QRS yang konsisten, dimana VT polimorphic mempunyai komplek QRS yang bervariasi. Torsades de Pointes (TdP) adalah VT polimorphic dimana komplek QRS tampaknya bergerak mengayun di sekitar aksis sentral.
Proaritmia
  • Praritmia yaitu pengembangan aritmia baru yang signifikan (seperti VT, fibrilasi ventricular [VF], atau TdP) atau semakin buruknya aritmia yang sudah dialami. Proaritmia berakibat dari mekanisme yang sama yang menyebabkan aritmia lain atau dari perubahan pada substrat yang menjadi objek agen anti aritmia (misalnya pengembangan takikardi dipercepat karena flecainide, yang menurunan kecepatan konduksi tanpa merubah periode refrakter secara signifikan).  Obat anti aritmia menyebabkan proaritmia pada 5-20% pasien.
  • Meski proaritma dihubungkan dengan agen tipe Ic yang awalnya diperkirakan muncul dalam beberapa hari setelah inisiasi obat, resiko bisa tetap ada selama perawatan. Faktor yang membuat pasien rentan terhadap tipe proaritmia ini termasuk aritmia ventricular, penyakit iskemi jantung, dan fungsi ventrikel kiri yang jelek. Faktor resiko lain yang belum jelas adalah peningkatan konsentrasi serum aritmia, peningkatan dosis secara cepat, dan penundaan konduksi ventricular.
Torsade de Pointes
  • TdP adalah bentuk rapid dari VT polimorfik yang dikaitkan dengan adanya bukti dari penundaan repolarisasi ventrikular karena blokade konduktansi kalium. TdP  bisa herediter atau didapatkan (acquired). Bentuk acquired dihubungkan dengan banyak kondisi klinik dan obat-obatan, terutama tipe Ia dan tipe III IKr bloker. TdP yang dirangsang quinidine atau quinidine syncope (kehilangan kesadaran) terjadi pada 4-8% pasien yang dirawat dengan agen ini.
Fibrilasi Ventricular (ventricular fibriilation, VF)
  • VF adalah anarki elektrik pada ventrikel yang  berakibat tidak ada keluaran (output) kardiak dan kolap kardiovaskular. Kematian mendadak terjadi paling umum pada pasien dengan penyakit iskemi jantung dan penyakit myocardial primer yang dikaitkan dengan disfungsi LV. VF dikaitkan dengan MI akut bisa digolongkan sebagai : (1) primer (MI tanpa complicated yang tidak dikaitkan dengan gagal jantung); atau (2) sekuder atau complicated (MI complicated dengan gagal jantung).
Bradiaritmia
  • Sinus Bradiaritmia asimptomatik (denyut jantung <60 denyutan/menit) adalah umum terutama pada individu muda dan aktif. Tetapi, beberapa pasien mempunyai disfungsi node sinus (sindrome sinus sakit/sick sinus syndrome) karena penyakit jantung organik dan proses penuaan normal, yang berakibat sinus bradikardia simtomatik, periode sinus arrest, atau keduanya. Disfungsi node sinus biasanya merupakan ciri dari adanya penyakit konduksi difus, yang biasanya ditemani oleh AV block dan takikardi paroksimal seperti fibrilasi atrial. Bradiaritmia dan takiaritmia yang terjadi bergantian disebut sindrom bradi-taki.
  • AV block atau penundaan konduksi bisa terjadi di semua area sistem konduksi AV. AV block bisa ditemukan pada pasien yang tidak mengidap penyakit jantung (seperti atlet terlatih) atau selama tidur ketika tonus vagal tinggi. AV block bisa segera hilang jika penyebabnya reversibel (seperti myocarditis, iskemi myokardial, setelah operasi cardiovascular, selama terapi obat). β blocker, digitalis atau kalsium antagonis bisa menyebabkan AV block, terutama di area AV nodal. Anti aritmia tipe I bisa memperparah penundaan konduksi sampai di bawah level AV node. AV block bisa ireversibel jika kasusnya adalah MI akut, penyakit degeneratif langka, penyakit myocardil primer, atau kondisi kongenital.
CIRI KLINIK
  • Takikardi supraventricular bisa menyebabkan variasi manifestasi klinik mulai dari tanpa simtom sampai palpitasi minor dan/atau pulsa iregular sampai simtom akut dan mengancam jiwa. Pasien bisa merasakan pusing atau sinkop (pingsan) akut; simtom gagal jantung; rasa sakit anginal pada dada; atau, yang lebih sering, sensasi tekanan atau tercekik selama takikardi. Simtom seperti palpitasi dan bahkan sinkop korelasinya jelek dengan takikardi berulang yang sudah didokumentasikan.
  • Fibrilasi atrial atau flutter bisa merupakan manifestasi oleh simtom-simtom yang dihubungkan dengan takikardi supraventricular lainnya, tapi sinkop bukan merupakan simtom yang umum terjadi. Komplikasi tambahan fibrilasi atrial adalah embolisasi arterial sebagai akibat dari atrial stasis dan adherent mural thrombi yang jelek, yang berperan untuk komplikasi terhebat, stroke embolik, pasien dengan fibrilasi atrial dan mitral stenosis concurrent atau gagal jantung sistolik akut beresiko tinggi untuk emboli cerebral.
  • VPB sering tanpa simtom atau hanya palpitasi ringan. Tampilan dari VT bisa dari asimtomatik total sampai yang mengancam jiwa terkait dengan kolaps hemodinamik. Konsekuensi proaritmia dari tanpa simtom sampai simtom yang memburuk sehingga mati mendadak. VF adalah keadaan darurat medis akut yang membutuhkan resusitasi cardiopulmol.
  • Pasien dengan bradiaritmia merasakan simtom yang dihubungkan dengan hipotensi seperti pusing, sinkop, kelelahan, dan confusion. Jika terjadi disfungsi LV, simtom gagal jantung kongestif bisa diperburuk. Kecuali untuk sinkop yang berulang, simtom ini sulit dipahami dan tidak spesifik.
DIAGNOSIS
  • ECG permukaan (surface) adalah diagnosis dasar untuk gangguan ritme cardiac.
  • Metode lain yang lebih sederhana seringkali berupa alat untuk mendeteksi kualitas dan kuantitas perubahan denyut jantung. Sebagai contoh, auskultasi (mendengarkan suara organ) langsung bisa mengungkapkan iregularitas pulsa iregular yang merupakan ciri dari fibrilasi atrial.
  • Proaritmia bisa sulit didiagnosis karena variasi sifat alami  aritmia yang mendasarinya.
  • TdP dicirikan dengan interval QT yang panjang atau gelombang U yang jelas pada ECG permukaan.
  • Manuver spesifik mungkin diperlukan untuk menggambarkan penyebab sinkop yang dihubungkan dengan bradiaritmia. Diagnosis hipersensitivitas sinus carotis bisa dipastikan dengan melakukan massage sinus carotis dengan ECG dan monitoring tekanan darah. Sinkop vasovagal bisa didiagnosa menggunakan tes tilt tubuh bagian kanan atas.
  • AV block biasanya dikelompokkan dalam tiga tipe berbeda menurut temuan ECG permukaan (Tabel 5-1).
HASIL YANG DIINGINKAN
Hasil yang diinginkan tergantung aritmia yang mendasari. Sebagai contoh, tujuan utama perawatan fibrilasi atrial atau flutter adalah mengembalikan ritme sinus, mencegah komplikasi tromboemboli, dan mencegah kembalinya serangan.
PERAWATAN
Prinsip Umum
  • Problem signifikan terkait toksisitas obat dan proaritmia berakibat pada penurunan penggunaan obat anti aritmia pada dekade terakhir.
  • Saran teknis pada terapi non-obat (seperti interupsi sirkuit re-entry dengan radiofrequency ablating [memotong/memindahkan dengan frekuensi radio]) bisa mengurangi terapi anti aritmia jangka panjang yang tidak berguna pada aritmia tertentu.
  • Cardioverter/defibrillator (alat kejut jantung) internal menjadi metode pertama untuk banyak kasus aritmia ventricular berulang yang serius karena kemajuan teknologi yang dikombinasikan dengan pengetahuan akan bahaya obat.
Tabel 5-1
Klasifikasi Obat Anti Aritmia
  • Obat bisa mempunyai aktivitas anti aritmia secara langsung merubah konduksi dengan beberapa cara. Obat bisa menekan sifat automatik dari sel pacemaker abnormal dengan menurunan slop depolarisasi tahap 4 dan/atau menaikkan tahanan potensial. Obat bisa merubah karateristik konduksi dari jalur loop reentrant.
  • Sistem klasifikasi yang palin banyak digunakan adalah  sistem yang diajukan oleh Vaughan Williams (Tabel 5-2). Obat tipe Ia mengurangi kecepatan konduksi, memperlama refractoriness, dan mengurangi sifat automatik dari jaringan konduksi yang tergantung natrium (normal dan sakit). Obat tipe Ia mempunyai spektrum luas untuk aritmia, efektif untuk aritmia supraventricular dan ventricular.
  • Meski dibedakan, obat tipe Ib mungkiin bekerja serupa dengan obat tipe Ia (yaitu efek memperkuat pada jaringan yang sakit sehingga terjadi bidireksional block pada sirkuit reentrant), kecuali tipe Ib dianggap lebih efektif pada aritmia ventricular daripada supraventricular.
  • Obat tipe Ic memperlambat kecepatan konduksi dengan tidak merubah refractoriness. Meski efektif untuk aritmia ventricular dan supraventricular, penggunaannya untuk aritmia ventricular telah dibatas karena resiko proaritmia.
  • Secara kolektif, obat tipe I bisa dianggap sebagai natrium channel blocker. Prinsip reseptor natrium channel anti aritmia yaitu kombinasi obat adalah aditif (misal quinidine dan mexiletine) dan antagonis (misal flecainide dan lidocaine), dan juga antidote potensil untuk mengatasi blokade natrium channel (seperti natrium bikarbonat, propanolol).
Tabel 5-2
  • Obat tipe II termasuk antagonis beta-adrenergis; dengan mekanisme sebagai hasil dari aksi antiadrenergik. Beta blocker lebih berguna pada takikardi dimana jaringan nodal automatik secara abnormal atau adalah bagian dari loop reentrant. Agen ini juga membantu untuk memperlambat respon ventricular pada takikardi atrial (seperti fibrilasi atrial) karena efeknya pada AV node.
  • Obat tipe III secara spesifik memperpanjang refractoriness pada serat atrial dan ventricular dan termasuk berbagai obat yang mempunyai efek sama dalam menunda depolarisasi dengan blokade kalium channel.
    • Bretylium memperpanjang repolarisasi dengan blokade konduktansi independen kalium dari sistem saraf simpatik, meningkatkan ambang VF, dan tampaknya mempunyai efek antifibrilatori selektif tapi bukan antitakikardi. Bretylium bisa efektif pada VF tepi sering tidak efektif pada VT.
    • Kontrasnya, amiodarone dan sotalol efektif pada kebanyakan takikardi. Amiodarone memperlihatkan sifat elektrofisiologis yang konsisten untuk tiap obat antiaritmia. Amiodarone merupakan natrium channel blocker dengan kinetika yang cepat, mempunyai aksi beta-blocking non-selektif, blokade terhadap kalium channel, dan mempunyai sedikit aktivitas calcium antagonis. Keefektifan yang mengagumkan dan potensi untuk proaritmia yang kecil dari amiodarone mengubah pendapat bahwa blokade selective ion channel lebih disukai. Sotalol adalah inhibitor poten terhadap pergerakan keluar kalium selama repolarisasi dan juga mempunyai aksi beta blocker. Ibutilide dan dofetilide mem-block komponen dari potasium rectifier curent.
·         Obat tipe IV menginhibit masuknya kalsium ke sel, yang memperlambat konduksi, memperpanjang refractoriness, dan mengurangi automatisitas SA dan AV nodal. Calcium channel antagonist efektif untuk takikardi reentrant yang muncul dari penggunaan SA atau AV nodes.
·         Dosis umum antiaritmia tipe IV dan efek samping umum pada Tabel 5-3dan 5-4.
Tabel 5-3
Tabel 5-4
Fibrilasi Atrial atau Atrial Flutter
  • Banyak metode tersedia untuk mengembalikan ritme sinus, mencegah komplikasi tromboemboli, dan mencegah kembalinya serangan (Gambar 5-1); tetapi, pemilihan perawatan tergantung pada bagian onset dan tingkat keparahan simtom.
  • Jika simtom parah dan onsetnya sering, pasien bisa membutuhkan direct-current cardiovertion (DCC) untuk segera mengembalikan ritme sinus.
  • Jika simtom bisa ditolerir, obat yang memperlambat konduksi dan meningkatkan refractoriness  pada AV node sebaiknya digunakan untuk terapi awal. Banyak dokter lebih menyukai IV calcium antagonis (verapamil atau diltiazem). Jika kondisi adrenergis tinggi merupakan penyebab, IV beta-blocker (seperti propanolol, esmolol) sangat efektif dan harus dipertimbangkan untuk digunakan pertama. Antiaritmia tipe Ia dan III sebaiknya tidak diberikan pada awal terapi karena bisa meningkatkan respon ventrikular pada absennya obat yang memperlambat konduksi AV nodal. Peran digoksin pada terapi telah dipertanyakan karena terkadang inefektif dan onsetnya sering lambat.
Gambar 5-1
  • Setelah perawatan dengan agen blocking AV nodal dan terjadi penurunan pada respon ventrikel, pasien sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan perbaikan ritme sinus.
  • Jika ritme sinus akan diperbaiki, antikoagulan harus diberikan sewaktu cardioversion karena kembalinya kontraksi atrial meningkatkan resiko tromboemboli. Rekomendasi saat ini adalah memberikan warfarin (international normalized ratio [INR] 2,0-3,0) selama paling tidak 3 minggu selama cardioversion dan dilanjutkan paling tidak 1 bulan setelah cardoversion yang efektif. Antikoagulan bisa tidak diperlukan pada pasien dengan fibrilasi atrial dengan dursi kurng dari 48 jam dan pda abennya trombus atrial atau stasis akut pada tranesophageal echocardiography (TEE).
  • Setalah antikoagulan atau TEE, metode untuk memperbaiki ritme sinus pada pasien dengan fbrilasi atrial atau flutter adalah cardioversion farmakologis dan DCC. International Consessus Guideline of the American Heart Association merekomendasikan penggunaan selektif DCC pertama. DCC cepat dan lebih sering sukses, tapi membutuhkan sedasi/anastesi dan mempunyai resiko kecil untuk komplikasi serius seperti sinus arrest atau aritmia ventricular. Meski agen tipe Ia, Ic, dan III telah terbukti efktif, meta-analysis terbaru menemukan bukti kuat efek hanya pada obat tipe Ic (seperti flecainide, propafenone) dan beberapa tipe III blocker (seperti ibutilide, dofetilide). Keuntungan terapi obat awal adalah agen yang efektif bisa menentukan pada kasus yang membutuhkan terapi jangka panjang. Kerugian adalah efek samping yang signifikan seperti merangsang TdP, interaksi obat, dan tingkat cardioversion yang lebih rendah jika dibandingkan dengan DCC.
  • Pengobatan pemeliharaan setelah ritme sinus diperbaiki bisa termasuk digoksin, terapi antitrombotic, dan obat antiaritmia.
  • Digoksin sering dilanjutkan karena disfungsi ventrikular, tapi tidak perlu pada pasien dengan fungsi LV normal.
  • The American College of Chest Physicians Consensus Confrence pada terapi antitrombotic menyarankan perawatan warfarin kronik (INR 2,0-3,0 target = 2,5) untuk semua pasien dengan fibrilasi atrial yang beresiko tinggi untuk stroke (yaitu mereka dengan katup jantung buatan, penyakit rhematic valvular, mempunyai riwayat tromboemboli, umur >75 tahun, disfungsi LV, atau hipertensi). Mereka yang beresiko kecil (yaitu, <65 tahun tanpa penyakit cardiovascular yang terdeteksi) sebaiknya menerima aspirin, 325 mg/hari. Warfarin atau aspirin sebaiknya dilanjutkan sampai ritme sinus dipertahankan paling tidak 4 minggu.
  • Fibrilasi atrial yang berulang setelah cardioversion awal biasanya mengindikasikan penyakit jantung ireversibel. Meta-analysis memastikan bahwa quinidine menjaga ritme sinus lebih baik daripada plasebo; tetapi 50% pasien mengalami fibrilasi atrial berulang dalam satu tahun, mungkin dalam bagian dari proaritmia. Antaritmia tipe Ic (seperti flecainide, propafenone ) dan tipe III (seperti amiodarne, sotalol, dofetilide) bisa menjadi alternatif quinidine; tetapi, agen ini juga dihubungkan dengan proaritmia. Obat antiaritmia kronik sebaiknya hanya untuk pasien dengan simtomatik berulang yang telah didokumentasikan atau symptomatic paroxysmal fibrilasi atrial. Amiodarone dosis rendah disukai untuk kebanyakan pasien. Mereka dengan isolated episode sebaiknya tidak menerima  terapi preventif kronik.
 Takikardi Supraventricular Paroksimal yang Disebabkan oleh Reentry
  • Pilihan antara metode farmakologi atau non-farmakologi untuk mengobati PSVT tergantung pada keparahan simtom (Gambar 5-2). Synchronized………..
Halaman 44
Halaman 45
Takikardi Ventricular
Takikardi Ventricular Akut
  • Jika terdapat simtom yang parah, DCC harus dilakukan untuk segera mengembalikan ritme sinus. Faktor pencetus harus dikoreksi jika mungkin. Jika VT merupakan kejadian elektrik terisolasi yang dihubungkan dengan faktor pencetus yang cepat hilang (seperti iskemi myocardia akut, keracunanan digitalis), tidak dibutuhkan terapi antiaritmia jangka panjang setelah faktor pencetus dikoreksi.
  • Pasien tanpa simtom atau simtom ringan bisa dirawat awalnya dengan obat antiaritmia. IV amiodarone biasanya langkah pertama pada situasi ini. Procainemide atau lidocaine IV adalah alternaitif. Jika lidocaine gagal menghilangkan takikardi, IV procaineamide (dosis awal dan infusi) bisa dicoba. DCC harus dilakukan atau kawat pacing transvena harus dimasukkan jika kondisi pasien memburuk, VT terdegenerasi menjadi VF, atau terapi gagal.
Takikardi Ventricular Tertunda (sustained)
  • Pasien dengan VT tertunda berulang kronik beresiko sangat tinggi akan kematian; percobaan trial dan error untuk mencari terapi yang efektif tidak dianjurkan. Baik studi elektrofisiologis atau monitoring serial Holter dengan tes obat ideal. Temuan ini dan profil efek samping dari agen antiaritmia telah membawa menuju pendekatan bukan obat.
  • Implant defibrilator cardioverter (implant cardioverter defibrillator, ICD) automatis mungkin merupakan metode paling efektif untuk mencegah kematian mendadak karena VT atau VF berulang. Hasilnya yaitu tingkat keselamatan lebih baik 3 tahun daripada terapi antiaritmia kronik menggunakan amiodarone, obat paling efektif yang diketahui.
  • Pasien dengan ectopy ventricular kompleks sebaiknya tidak menerima obat antiaritmia tipe I atau III.
Takikardi Ventricular non Sustained
  • Pendekatan untuk NSVT (non sustained ventricular tachycardia) masih kontroversial. Pasien dengan episode simtom panjang  membutuhkan terapi obat, tapi kebanyakan pasien asimtomatik. Pasien dengan NSVT dan penyakit koroner beresiko untuk kematian mendadak, terutama jika mereka mempunyai VT tertunda yang bisa dirangsang (inducible) setelah stimulasi terprogram. Pasien ini sebaiknya menjalani studi elektrofisiologis dan diberikan terapi pencegahan kronik dengan ICD atau amiodarone empirik jika VT/VF tertunda bisa drangsang (inducible).
Proaritmia
  • Proaritmia resisten terhadap resusitasi dengan cardioversion atau overdrive pacing. Beberapa dokter sukses dengan IV lidocaine atau natrium bikarbonat.
Torsade de Pointes
  • Untuk episode akut, kebanyakan pasien membutuhkan dan merespon terhadap DCC. Tetapi, TdP cenderung paroksimal dan sering terjadi ulang dengan cepat setelah countershock.
  • IV magnesium sulfat dianggap pilihan obat untuk pencegahan terulangnya TdP. Jika tidak efektif, harus dilakukan strategi untuk meningkatkan denyut jantung dan memperpendek repolarisasi ventricular (yaitu, pacing transvena temporer pada 105-120 denyutan/menit atau pacing farmakologis dengan isoproterenol atau infusi epinefrin). Agen yang memperpanjang interval QT harus dihentikan, dan faktor yang memperparah (seperti, hipokalemi) dikoreksi. Obat yang lebih jauh memperpanjang repolarisasi (seperti, procaineamide) dikontraindiksaikan. Lidocaine biasanya tidak efektif.
  • Pada TdP keturunan, propanolol terlihat mampu mencegah serangan ulang dan kematian mendadak. Karena beta bloker bisa tidak mencegah semua episode TdP, beta blocker biasanya diberikan dengan ICD.
  • Pada sindrom QT-panjang acquired, koreksi penyebab adalah krusial untuk terapi pencegahan yang sukses. Obat tidak diperlukan pada basis kronik. Pada sinkop quinidine, agen tipe Ia harus dihindari sebagai perawatan selanjutnya.
Fibrilasi Ventricular
  • VF (ventricular fibrillation) ( dengan atau tanpa iskemi terkait myocardia) harus dirawat menurut rekomendasi American Heart Association untuk advanced cardiac life support (lihat Bab 6, Cardiopulmonary Resucitation). Setelah resusitasi yang berhasil, antiaritmia harus dilanjutkan sampai ritme pasien dan status keseluruhan stabil. Antiaritmia  jangka panjang atau implant ICD bisa atau tidak diperlukan.
Bradiaritmia
  • Perawatan disfungsi sinus node melibatkan eliminasi bradikardia simtomatik dan kemungkinan takikardia lainnya seperti fibrilasi atrial. Sinus Bradiaritmia asimtomatik biasanya tidak membutuhkan intervensi terapetik.
  • Pada umumnya, terapi jangka panjang untuk pasien dengan simtom yang signifikan adalah pacemaker ventricular permanen.
  • Obat yang umumnya diberikan untuk mengobati takikardi supraventricular harus digunakan dengan hati-hati pada absennya pasemaker fungsional.
  • Perawatan hipersensitivitas sinus carotid simtomatik harus termasuk terapi pacemaker permanen. Pasien yang simtomnya bertahan bisa menggunakan stimulan beta-adrenergik (seperti midodrine) sebagai tambahan, terkadang dengan beta blocker untuk stimulasi alfa-simpatik maksimal.
  • Sinkop vasovagal biasanya dirawat dengan sukses dengan beta blocker oral untuk menginhibit pengaruh simpatik yang menyebabkan kontraksi ventricular yang dipaksakan dan mendahului onset hipotensi dan bradikardi. Obat lain yang telah sukses digunakan (dengan atau tanpa beta blocker) termasuk antikolenergik (patch skopolamine, disopyramede), agonis alfa-adrenergik (midodrine), analog adenosine (theofiln, dipiridamol), dan selective serotonin reuptake inhibitor (sertraline, fluoxetine).
Atrioventricular Block
  • Dasar untuk perawatan untuk bradikardi akut, simtomatik atau AV block  adalah pacing temporer melalui kawat transvena atau, pada keadaan darurat, menggunakan timah (leads) transkutaneus. Atropine, 0,5-1 mg IV, harus diberikan ketika pacing leads digantikan. Epinefrin atau infusi dopmine bisa dgunakan saat atropin gagal. Agen ini tidak akan membantu jika AV block di bawah AV node (Mobitz II atau trifasicular AV block).
  • AV block kronik simtomatik memerlukan penggunaan pacemaker permanen. Terkadang cukup dengan hanya mengamati pasien tanpa simtom tanpa perlu menanam pacemaker terlebih dahulu.
EVALUASI HASIL TERAPI

  • Parameter monitoring paling penting termasuk:
    • Mortalitas (total semua penyebab dan kematian akibat aritmia)
    • Serangan ulang yang direkam oleh ECG (waktu terjadinya dan frekuensi)
    • Toleransi (simtom, tekanan darah, denyut jantung)
    • Kebutuhan akan intervensi bukan-obat (seperti, ICD)
    • Shock ICD
    • Efek samping obat/perawatan
    • Kualitas hidup
    • Ekonomi
    • Hasil spesifik takikardi (seperti, denyut ventricular, emboli sitemik pada fibrilasi atrial)