BAB
l
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan
masalah utama dalam bidang kesehatan,baik di negara yang sedang berkembang
maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,nomor 7 di
Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam.
Laporan WHO1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran
napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di
Amerika adalah12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian
utama akibat infeksi pada orangdewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10 %.Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab
pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia
sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasilnya,sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati,
maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
B.
EPIDIOMOLOGI
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun
2001, penyakit infeksi saluran napas bawah
menempati
urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP
Persahabatan tahun
2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat
jalan adalah kasus
infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus non
tuberkulosis,
pada penderita rawat inap 58,8 % kasus
infeksi
dan 14,6 % diantaranya kasus non
tuberkulosis.
Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi
dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan datasekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 -
35 %. Pneumonia komuniti menduduki
peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
C. TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi serta penanganan pada kasus PNEUMONIA di RSD dr. SoebandiJember .
2.
Untuk
mengetahui DRP serta memberikan rekomendasi dan Informasi terapi dari kasus tersebut
kepada profesi tenaga kesehatan lain.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEFENISI
Secara kinis pneumonia
didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur,
parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang
disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain)
disebut pneumonitis.
B. ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Dari kepustakaan
pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia
aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.
C. PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan
oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko
infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai
dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak
adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi
pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran
0,5 -2,0 μm
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi
ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi
dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orangnormal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat(drug abuse).Sekresi orofaring
mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi
darisebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum
bakteri yang tinggi dan terjadipneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnyamikroorganisme yang terdapat disaluran napas
bagian atas sama dengan di saluran napas bagianbawah, akan tetapi pada beberapa
penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
D. PATOLOGI
Basil
yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli
disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis
sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri kepermukaan alveoli
dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik
mengelilingi bakteri
tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak
4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona
luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona
permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3. Zona
konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMNyang banyak.
4. Zona
resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit danalveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah
perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialahkonsolodasi
yang luas.
E. KLASIFIKASI
PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b.Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia
/ nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2.
Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia
bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang
peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada
penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma,
Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia
virus
d. Pneumonia
jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia
lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia.
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun
virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkandengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia
interstisial
F. DIAGNOSIS
a.
Gambaran
klinis
a.
Anamnesis
Gambaran
klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40oC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan
nyeri dada.
b.
Pemeriksaan
fisik
Temuan
pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat
terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
b.
Pemeriksaan
penunjang
a.
Gambaran
radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " airbroncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,
hanya merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia
lobaris tersering disebabkan olehSteptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateralatau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkankonsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
c. Pemeriksaan labolatorium
Pada
pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada
20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia
dan hikarbia,pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
G. PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas
antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia
sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan
tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1.
penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang
berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3.
hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita
pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan
antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut
a.
Penisilin
sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
·
Golongan
Penisilin
·
TMP-SMZ
·
Makrolid
b.
Penisilin
resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
·
Beta laktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
·
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
·
Marolid baru
dosis tinggi
·
Fluorokuinolon
respirasi
c.
Pseudomonas
aeruginosa
·
Aminoglikosid
·
Seftazidim,
Sefoperason, Sefepim
·
Tikarsilin,
Piperasilin
·
Karbapenem :
Meropenem, Imipenem
·
Siprofloksasin, Levofloksasin
d.
Methicillin
resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
·
Vankomisin
·
Teikoplanin
·
Linezolid
e.
Hemophilus
influenzae
·
TMP-SMZ
·
Azitromisin
·
Sefalosporin gen. 2 atau 3
·
Fluorokuinolon
respirasi
f.
Legionella
·
Makrolid
·
Fluorokuinolon
·
Rifampisin
g.
Mycoplasma pneumoniae
·
Doksisiklin
·
Makrolid
·
Fluorokuinolon
h.
Chlamydia pneumoniae
·
Doksisikin
·
Makrolid
H.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi :
1.
Efusi pleura.
2.
Empiema.
3.
Abses Paru.
4.
Pneumotoraks.
5.
Gagal napas.
6.
Sepsis
I.
PNEUMONIA
KOMUNITI
Pneumonia komuniti adalah
pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah
kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.
1.
Etiologi
Menurut
kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram
negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun
terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya,
Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :
a.
Klebsiella pneumoniae 45,18%
b.
Streptococcus pneumoniae 14,04%
c.
Streptococcus viridans 9,21%
d.
Staphylococcus aureus 9%
e.
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
f.
Steptococcus hemolyticus 7,89%
g.
Enterobacter 5,26%
h.
Pseudomonas spp 0,9%
2.
Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti
didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fistoraks dan
labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks
infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
a.
Batuk-batuk bertambah
b.
Perubahan karakteristik dahak / purulen
c.
Suhu tubuh > 38 0C (aksila) / riwayat
demam
d.
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi,
suara napas bronkial dan ronk
e.
Leukosit > 10.000 atau < 4500
3.
Penilaian
derajat Kiparahan penyakit
Penilaian derajat kerahan
penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor
menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) setabel
di bawah ini :
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti
berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau
lebih' kriteria di bawah ini.
a.
Kriteria minor:
1)
Frekuensi napas > 30/menit
2)
Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
3)
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
4)
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
5)
Tekanan sistolik < 90 mmHg
6)
Tekanan diastolik < 60 mmHg
b.
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
1)
Membutuhkan ventilasi mekanik
2)
Infiltrat bertambah > 50%
3)
Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
4)
Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2
mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk
indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah :
1.
Skor PORT lebih dari 70
2.
Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap
perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
a.
Frekuensi napas > 30/menit
b.
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
c.
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d.
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3.
Pneumonia pada pengguna NAPZA
4.
Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan
perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling
sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan
membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor
tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan
bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang
lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.
5.
Pneumonia atipik
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula
dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lain
Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus Influenza tipe A & B,
Adenovirus dan Respiratori syncitial virus.
a.
Diagnosis pneumonia atipik
Gejalanya adalah tanda infeksi
saluran napas yaitu demam, batuk nonproduktif dan gejala sistemik berupa nyeri
kepala dan mialgia. Gejala klinis pada tabel di bawah ini dapat membantu
menegakkan diagnosis pneumonia atipik.
1) Pada
pemeriksaan fisis terdapat ronki basah tersebar, konsolidasi jarang terjadi.
2) Gambaran
radiologis infiltrat interstitial.
3) Labolatorium
menunjukkan leukositosis ringan, pewarnaan Gram, biarkan dahak atau darah tidak ditemukan bakteri.
4) Laboratorium
untuk menemukan bakteri atipik.
a. Isolasi
biarkan sensitivitinya sangat rendah
b. Deteksi
antigen enzyme immunoassays (EIA)
c. Polymerase
Chain Reaction (PCR)
d. Uji
serologi
e. Cold
agglutinin
f. Uji
fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M.pneumoniae
g.
Micro immunofluorescence (MIF). Standard
serologi untuk C.pneumoniae
h. Antigen
dari urin untuk Legionella
untuk membantu secara
klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik dan tipik dapat dilihat pada
tabel 2, walaupun tidak selalu dijumpai gejala-gejala tersebut.
6.
Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu
diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi
yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme
patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang
termasuk dalam faktor modifikasis adalah: (ATS 2001)
a.
Pneumokokus resisten terhadap penisilin
• Umur lebih dari 65 tahun
•
Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
• Pecandu alkohol
• Penyakit gangguan kekebalan
• Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
• Penghuni rumah jompo
• Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung
paru
• Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
• Riwayat pengobatan antibiotik
c.
Pseudomonas aeruginosa
• Bronkiektasis
• Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
• Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7
hari pada bulan terakhir
• Gizi kurang
1)
Penatalaksanaan pneumionia komuniti
dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
• Pengobatan suportif / simptomatik
-
Istirahat di tempat tidur
-
Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
-
Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
-
Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
-
Pemberian terapi oksigen
-
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
-
Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
c.
Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
• Pengobatan suportif / simptomatik
-
Pemberian terapi oksigen
-
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
Pemberian obat simptomatik antara lain
antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik
(sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang
ventilator mekanik
Penderita
pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat
distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi
respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
Bila dengan pengobatan secara empiris
tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri
penyebab dan uji sensitiviti.
7.
Pengobatan
pneumonia atipik
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama
pada pneumonia termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang
disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
·
Makrolid baru (azitromisin,
klaritromisin, roksitromisin)
·
Fluorokuinolon respiness
·
Doksisiklin
8.
Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat
dengan perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini
untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan
obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan
secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti
antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara
sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama)
dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).
•
Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
•
Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
•
Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat
diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat
oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke
oral pada pneumonia komuniti :
•
Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
•
Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
•
Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
•
Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
•
Leukosit menuju normal/normal
Evaluasi
pengobatan
Jika
setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita,
obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat
pada gambar 1.
9.
Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari
faktor penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang
tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita
pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan
penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease
Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan
berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap
kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan
bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan
peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka
kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr.
Soetomo angka kematian 20 -35%.
10.
Pencegahan
•
Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
•
Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian
tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan
risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit
jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah >
2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi
yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3
`
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Ny. G ( 70 tahun/ perempuan) : pasien
datang dengan keluham batuk lebih dari 3 minggu batuk berdahak ,BB menurun, Keringat dingin pada malam hari, sesak (+) nyeri dada(-).
RPD : hipertensi
RPO : dari puskesmas
RPK :-
1)
Data
Subyektif
18/4/2013
|
19/4/2013
|
20/4/2013
|
21/4/2013
|
22/4/2013
|
23/4/2013
|
Pasien
mengeluh sesak
|
Batuk
disertai dahak, dahak berwarna putih keringat dingin di malam hari, sesak
napas, nyeri dada negative.
|
gatal ditenggorokan,
sesak
|
batuk
berdahak, nyeri dada kanan
|
batuk
berdahak
|
Batuk
|
2)
Data
Objektif
Data Klinik
|
Nilai Normal
|
Tanggal
|
18/4/2013
|
19/4/2013
|
20/4/2013
|
21/4/2013
|
22/4/2013
|
23/4/2013
|
TD
|
120/80 mmHg
|
190/110 mmHg
|
190/110 mmHg
|
140/80 mmHg
|
140/90 mmHg
|
140/90 mmHg
|
140/80 mmHg
|
NN
|
80x/mnt
|
100x/mnt
|
100x/mnt
|
80x/mnt
|
82x/mnt
|
84x/mnt
|
88x/mnt
|
RR
|
20x/mnt
|
33x/mnt
|
35x/mnt
|
30x/mnt
|
16x/mnt
|
16x/mnt
|
21x/mnt
|
T
|
36-37,50C
|
370C
|
360C
|
360C
|
36oC
|
360C
|
360C
|
Kondisi umum
|
lemah
|
Lemah
|
lemah
|
Cukup
|
Cukup
|
Cukup
|
3)
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Periksa
|
Hasil Pemeriksaan
|
Normal
|
Hematologi
|
Hemoglobin
|
12,7
|
L 13,4-17,7; P 11,4-15,1 g/dl
|
Leukosit
|
15,5
|
L 4,3-10,3; P 4,3-11,3x109/L
|
Hematokrit
|
37,7
|
L 38-42%; P 40-47 %
|
Trombosit
|
128
|
150-450x109/L
|
Faal Hati
|
SGOT
|
15
|
L 10-35; P 10-31 U/L
|
SGPT
|
10
|
L 9-43; P 9-36 U/L
|
Elektrolit
|
Natrium
|
133,4
|
135-155 mmol/L
|
Kalium
|
3,79
|
3,5-5,0 mmol/L
|
Chloride
|
97,6
|
90-110 mmol/L
|
Calcium
|
1,92
|
2,15-2,57 mmol/L
|
Magnesium
|
0,80
|
L 0,73-1,06; P 0,77-1,03 mmol/L
|
Fosfor
|
0,75
|
0,85-1,60 mmol/L
|
Faal Ginjal
|
Kreatinin serum
|
0,8
|
L 0,6-1,3; P 0,5-1,1 mg/Dl
|
BUN
|
22
|
6-20 mg/Dl
|
Urea
|
47
|
10-50 mg/Dl
|
Asam Urat
|
5,9
|
L 3,4-7; P 2,0-5,7 mg/dL
|
Kadar Gula Darah
|
Sewaktu
|
147 stik
|
< 200mg/dL
|
4)
Assesment
18/4/2013
|
19/4/2013
|
20/4/2013
|
21/4/2013
|
22/4/2013
|
23/4/2013
|
HT urgency
|
HT urgency + pneumonia
|
HT
urgency + pneumonia
|
HT
grade I + pneumonia + susp TB
|
HT
grade I + pneumonia + susp TB
|
HT
grade I + pneumonia + susp TB
|
5)
Profil
pengobatan pasien
18/4/2013
|
19/4/2013
|
20/4/2013
|
21/4/2013
|
22-23/4/2013
|
24/4/2013
|
- Inf. RL
- Amlodipin 2x5 mg
Inj cefotaxime 3x1 gram
-gentamicine inj 3x1A
Antrain 3x1A
Lasix 1x1A
Ranitidine 3x1
Pasang O2 6
lpm
|
-Inf. RL
Amlodipine 2x5 mg
Spironolakton ½-o-o
Inj cefotaxime 3x1
gram
Inj gentamicine 3x1A
Nebulizer (varbiven)
2x/perhari
O2 6 lpm
|
-Inf. RL
Inj cefotaxime 3x1
gram
Inj gentamicine 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Spironolakton ½-o-o
Ambroxol 3x1
Nebulizer (varbiven)
3x/perhari
|
-Inf. RL 20 tpm
Inj cefotaxime 3x1 gram
Inj gentamicine 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Ambroxol 3x1
Spironolakton ½-o-o
Nebulizer (varbiven)
3x/perhari
|
-Inf. RL 20 tpm
Inj cefotaxime 3x1
gram
Inj gentamicine 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Ambroxol 3x1
Spironolakton ½-o-o
Nebulizer (varbiven)
3x/perhari
|
-Inf. RL 20 tpm
Inj cefotaxime 3x1
gram
Inj gentamicin 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Ambroxol 3x1
Spironolakton ½-o-o
Nebulizer (varbiven)
3x/perhari
Theofilin 3 x 1
Dextrometorfan 3x 1
|
6) Analisa
DRP
Medical Problem
|
Terapi
|
DRP’s
|
Care Plan
|
Monitoring
|
|
Hipertensi
|
Amlodipine
|
Pemilihan obat
kurang tepat
|
Hentikan penggunaan amlodipine ganti dengan captopril 2x
25mg, setelah target tercapai 140 /90 ganti dengan lisinopril 1 x 10mg karena
captopril dapat memperparah batuknya.
|
Tekanan darah, frekuensi
batuk.
|
|
|
Spironolakton
|
polifarmasi
|
hilangkan
|
-
|
|
|
Lasix
|
polifarmasi
|
Hilangkan
|
-
|
|
|
Antrain
|
Indikasi tanpa
terapi
|
Hilangkan,
KARENA pasien tidak mengalami nyeri,
dimana kita ketahui antrain digunakan pada pasien pasca oprasi dan nyeri yang
hebat.
|
-
|
|
Pneumonia
|
Gentamicin
|
Pemilihan
obat kurang tepat
|
Hilangkan
gentamicin ganti dengan levofloxacin
|
Evaluasi lekosist
& tanda infeksi lainnya, kemungkinan
kristaluria, fungsi
organ (ginjal, liver, mata) secara
periodik.
|
|
Batuk
berdahak
|
dextrometorphan
|
Pemilahan
obat kurang tepat
|
Hilangkan
Ambroxol dilanjutkan
|
|
|
|
|
Dalam kasus ini, terdapat beberapa DRP yaitu pemilihan obat kurang tepat,
indikasi tanpa terapi dan duplikasi terapi. Pemberiaan gentamicin pada
Community acquired pneumonia (CAP) dinilai kurang efektip dan efek samping yang
ditimbulkan oleh gentamicin terlalu berisiko, efek samping yang ditimbulkan
oleh gentamicin adalah ganguan vestibuler dan
pendengaran, nefrotosisitas, hipomagnesemia pada pemberian jangka
panjang. Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti
infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara
empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah
bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang
berspektrum sempit sesuai patogen. Pemberian terapi pada CAP dibagi dalam 3 tahap yaitu rawat jalan,rawat
inap, rawat inap intensif. Pada pasien Ny G dimasukan kedalam ruang rawat inap
intensif, sehingga pemberiaan terapi sesuai dengan literatur yaitu cefotaxime +
levofloksasin , kombinasi antibiotik ini dilakukan untuk meningkatkan dan
memperluas kerja spektrumnya.
Antibiotik IV akan diganti PO bila pasien sudah menunjukkan perkembangan
klinis, seperti temperatur < 38oC, RR<24/menit, HR<100/menit, hemodinamika stabil untuk makan dan minum,
WBC mendekati nilai normal, dyspnea berkurang (guideline pneumonia). Apabila pasien sudah membaik dan diperbolehkan pulang, penggunaan antibiotik harus diteruskan sampai 14 hari, antibiotik yang disarankan untuk diresepkan pada pasien adalah
Menggunakan AB untuk pernafasan (respiratory flourokuinolon) à levofloksasin, gatifloksasin, atau moksifloksasin.
Pasien pd kasus ini dpt diberikan levofloxasin (generik) 500-750 mg 1x1.
Pemberiaan amlodipine +
spironolakton + lasix pada pasien hypertensi urgency dianggap kurang
tepat, Seperti yang kita ketahui Ny G
menderita hipertensi urgency yaitu
tekanan darah 190/110 mmhg dan terapi yang paling efektip digunakan sesuai literatur adalah captopril 2
x 25 mg dan dimonitoring selama beberapa jam – 3 hari. Setelah target tercapai
yaitu tekanan darah di bawah 140/90 obat
captopril diganti dengan lisinopril
,dimana captopril bisa meningkatkan frekuensi batuk, pemilihan lisinopril
sangat tepat karena lisinopril merupakan golongan ACEI yang direkomendasikan
menjadi terapi lini pertama untuk pasien
hipertensi selain itu bisa sebagai vasodilator, ACEI juga bisa
mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi. ACEI dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas karena merupakan vasodilator yang paling sesuai pada
gagal jantung, dapat menurunkan resistensi arteri maupun vena dengan mencegah
peningkatan angiontensin II (vasokontriktor), sehingga pelepasan aldosteron
berkurang yang menyebabkan ekskresi Na+ dan H2O
menurunkan volume darah dan mengurangi aliran balik vena ke jantung. Untuk
pasien yang intoleran dengan penggunaan ACEI bisa diberikan ARB.
Pemberian antrain 3 x 1a pada hari pertama dinilai kurang efektip,
antrain digunakan untuk meredahkan nyeri pada pasca oprasi dan nyeri kolik.
Sedangkan pada penderita tidak mengalami nyeri sehinga penggunaan antrain bisa
disimpulkan indikasi tanpa terapi.
Pada pasien ini diberikan dextromethorpan pada hari ke enam di nilai
kurang efektif karena dextromethorphan
digunakan untuk menekan batuk (
antitusif) Pasien batuk berdahak,
sehingga penggunaan amboxol tetap di lanjutkan.
Ambroxol mempunyai khasiat mukokinetik dan sekretolitik. Memperlancar
pengeluaran sekresi yang kental dan lengket di dalam saluran pemafasan dan
mengurangi staknaa lendir dan karenanya pengeluaran lendir dipermudah dan
melegakan pemafasan. Sekresi lendir menjadi normal selama pengobatan dengan
Ambroxol. Batuk dan volume dahak berkurang dengan nyata. Dengan demikian,
sekresi yang berupa lapisan tipis pada permukaan mukosa pemafasan akan dapat
melaksanakan fungsi protektif secara normal. Ambroxol mempunyai tolerabilitas
yang baik, sehingga memungkinkan untuk penggunaan jangka panjang.
Nebulizer (farbiven) tetap dilanjutkan untuk Bronkodilator yang diberikan
dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran bronkus).
7)
Terapi
suportif
-
Pemberian
oksigen pada pasien yang menunjukkan tanda sesak, hipoksemia.
-
Bronkhodilator pada pasien dengan tanda
bronkhospasme
-
Fisioterapi
dada untuk membantu pengeluaran sputum
-
Nutrisi
-
Hidrasi
yang cukup, bila perlu secara parenteral
-
Pemberian
antipiretik pada pasien dengan demam
-
Nutrisi
yang memadai.
-
Tidak
merokok
-
Membatasi asupan garam (natrium)
BAB V
KESIMPULAN
1. Penatalaksanaan
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu
dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika
spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui,
antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen.
2. Dalam
kasus ini, terdapat beberapa DRP yaitu pemilihan obat kurang tepat, indikasi
tanpa terapi dan duplikasi terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibisono
M Jusuf, Winariani, Hariadi Slamet. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo: Surabaya
2. American
thoracic society. Guidelines for management of adults with community-acquired
pneumonia. Diagnosis, assessment ofseverity, antimicrobial therapy, and
prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia.2003
4. Bernstein J M. Treatment of Community-Acquired Pneumonia-IDSA guideline.
Chest 1999;115: 9s-13s.
5. Shah P B, Giudice J C. The Newer Guidelines for
Management of Community-Aquired Pneumonia. JAOA 2004; 104: 521-26.
6. Ausjesky D, Fine M.J. Does Guideline Adherence for
Empeiric antibiotic therapy Reduce Mortality in Community-Acquired Pneumonia ?
Editorials. Am J respire Crit Care Med 2005; 172: 655-59.
7. Guideline for The Diagnosis and Management of
Community Acquired Pneumonia : Adult. . By the Alberta Medical Association 2006
Update.
0 comments:
Post a Comment