- Pada pasien dengan HE akut, membatasi asupan protein 10-20 g/hari
sementara menjaga asupan kalori total. Asupan protein bisa dititrasi
dengan meningkatkannya 10-20 g/hari tiap 3-5 hari sampai total 0,8-1 kg
per hari. Pada HE kronik, batasan protein sampai 40g/hari.
- Pada HE akut, laktulosa dimulai 20-60 ml tiap 1-2 jam sampai
catharsis (pengeluaran) terjadi. Dosis lalu diturunkan 15-30 ml oral empat
kali sehari dan dititrasi sehingga menghasilkan feses lunak, asam,
dua-empat kali sehari.
- Pada HE kronik, laktulosa dimulai pada 30-60 ml/hari dengan
titrasi sampai titik akhir yang sama.
- Terapi antibiotik dengan metronidazole
atau neomycin sebaknya disimpan
untuk pasien yang tidak merespon diet dan laktulosa.
Thursday, 25 December 2014
SIRROSIS DAN HIPERTENSI PORTAL
Ø DEFINISI
·
Sirrosis didefinisikan sebagai
prosess difus yang dicirikan oleh fibrosis dan perubahan rancangan hepatik
normal menjadi nodul yang abnormal secara struktur. Hasil akhirnya adalah
perusakan hepatosit dan penggantian dengan jaringan fibrous.
·
Ganguan terhadap aliran darah
akan menyebabkan hipertensi portal dan bisa terjadi varises dan ascites (=
akumulasi cairan di rongga peritoneal). Rusaknya hepatosit dan penutupan aliran
darah intrahepatik menyebabkan berkurangnya fungsi metabolik dan sintetik, yang
akan menyebabkan enselopati hepatik dan koagulopati.
·
Sirrosis mempunyai banyak sebab
(Tabel 19-1). Di AS, asupan alkohol berlebih dan hepatitis viral yang kronik
(tipe B dan C) adalah sebab paling umum.
Ø PATOFISIOLOGI
Kerusakan anatomi pada sirrosis menyebabkan sejumlah kelainan
patofisiologi yang umum. Ini termasuk ascites, hipertensi portal dan varises,
hepatic encelopathy (HE), dan defek koagulasi.
ASCITES
·
Ascites, akumulasi cairan limfa
dalam rongga peritoneal, merupakan komplikasi paling umum dari sirrosis.
·
Pasien dengan sirrosis dan
hipertensi portal umumnya akan mengalami
penurunan tahanan vaskular, penguranagn rerata tekanan arterial, dan
peningkatan curah jantung, yang keseluruhan menyebabkan sirkulasi hiperdinamik.
·
Vasodilator di sirkulasi yang bisa terlibat termasuk nitric oxide,
vasoactive intestinal peptide, substan P, dan prostaglandin.
Tabel 19-1
HIPERTENSI PORTAL DAN
VARISES
·
Hipertensi portal terjadi
ketika tekanan portal meningkat 5 mmHg lebih tinggi dari tekanan di vena cava
inferior.
·
Akibat lanjutan dari hipertensi
portal seperti varises dan perubahan rute aliran darah. Pasien dengan sirrosis
beresiko untuk varises ketika hipertensi portal melebihi tekanan vena cava >12
mmHg.
·
Hemorrhage dari varises terjadi
pada 25%-40% pasien dengan sirrosis dan untuk tiap episode perdarahan resiko
kematian sebesar 30%.
HEPATIC ENCELOPATHY/PORTAL
SYSTEMIC ENCELOPATHY
·
HE adalah sindrom
neuropsikiatri yang komplek dengan tanda klinik dan simtom gangguan neurologik
dengan spektrum luas yang terjadi pada pasien dengan gangguan hepatik parah.
·
Portal hepatic encelopathy,
PHE, sering digunakan untuk menggambarkan encelopathy yang terjadi sebagai
akibat dari penyakit liver kronik.
·
HE muncul dalam tiga bentuk:
akut, kronik dan subklinik. HE akut didefinisikan sebagai rangkaian kejadian
perubahan sensorium yang terjadi kurang dari 4 minggu, lalu kembali ke kondisi
mental dasar.
·
Encelopathy kronik
didefinisikan sebagai kelainan kognitif atau neuropsikiatri yang bertahan
paling tidak 4 minggu.
·
Encelopathy subklinik berartti
perubahan pada fungsi neuropsikiatri yang tidak tampak secara klinik.
·
HE dipercaya disebabkan oleh
akumulasi nitrogenous dan toksin lain. Mekanisme lain bisa terlibat, termasuk
perubahan sawar darah-otak, ketidakseimbangan neurotransmitter, perubahan
metabolisme serebral; gangguan pada aktivitas kalium-natrium ATPase dari
membran neuronal; defiensi seng; dan peningkatan γ-aminobutyric acid
/benzodiazepine endogen.
·
Level serum amonia mempunyai korelasi
jelek dengan tingkatan HE.
DEFEK KOAGULASI
·
Gangguan koagulasi bisa terjadi
pada sirrhosis, proporsional terhadap tingkat disfungsi hepatik.
·
Gangguan ini termasuk
pengurangan sintesis faktor koagulasi dan kliren dari faktor pembekuan yang
sudah aktif.
·
Hipertensi portal diikuti oleh
pengurangan platelet kualitatif dan kuantitatif.
Ø TAMPILAN KLINIK
·
Rentang gejala pasien dengan
sirrosis dari asimtomatik dengan uji laboratorium abnormal sampai hemorrhage
yang mengancam jiwa.
·
Keluhan pasien akan penyakit
liver termasuk pruritus (= rasa gatal yang parah), urine berawarna hitam, dan
peningkatan ukuran/ abdominal dalam hubungannya dengan penurunan nafsu makan
dan/atau berkurangnya berat. Jaundice sering menjadi manifestasi akhir dari
sirrosis, dan absennya jaundice tidak menghentikan diagnosa.
·
Ketika ditanyai, pasien yang
menyalahgunakan alkohol sering meremehkan jumlah alkohol yang dikonsumsi.
·
Tanda klinik klasik sirrosis,
seperti palma
erythema, spider angiomata (= pembentukan pembuluh darah baru), dan ginekomasti,
bukan sensitif atau spesifik untuk penyakit.
·
Peningkatan prothrombin time adalah manifestasi
sirrosis yang paling dipercaya.
Tabel 19-2
·
HE yang dihubungkan dengan
kegagalan liver yang mendadak (fulminant) mempunyai onset yang cepat dan simtom
awal yang singkat. Perkembangan penyakit pasien bisa dari mengantuk sampai
delirium, konvulsi, dan koma dalam 24 jam. Dengan gagal liver kronik onset
bertahap dan biasanya ringan.
·
Untuk menentukan keparahan HE
bisa digunakan suatu sistem grade(Tabel
19-2).
ABNORMALITAS LABORATORIUM
·
Uji liver rutin termasuk
alkalin phosphatase, bilirubin, aspartate transaminase (AST), alanin
transaminase (ALT), dan γ-glutamyl transpeptidase (γ-GT).
·
Penanda tambahan termasuk
aktivitas sintetik hepar seperti albumin dan protrhrombin time.
·
AST dan ALT adalah enzim yang
terletak di sitoplasma hepatosit; jumlahnya di plasma meningkat dengan cedera
hepatoselular.
·
Jumlah alkaline phosphatase
meningkat di plasma dengan kelainan kolestasis yang mengganggu aliran empedu
dari hepatosit ke saluran empedu atau dari saluran empedu ke intestinal.
·
Jumlah γ-GT di plasma mempunyai
korelasi dengan peningkatan alkaline phosphatase dan sehingga menjadi penanda
yang sensitif untuk penyakit saluran empedu.
·
Peningkatan serum bilirubin
umum pada penyakit liver stadium lanjut, tapi ada banyak penyebab lain
hiperbilirubinemia.
·
Gambar 19-1 menggambarkan skema
umum untuk interpretasi uji fungsi liver.
·
Biopsi liver berperan penting
pada diagnosis dan penahapan penyakit liver.
·
Sistem klasifikasi Child-Pugh
menggunakan kombinasi temuan fisik dan laboratorium untuk menilai keparahan
sirrosis dan bisa digunakan untuk memprediksikan apakah pasien akan selamat,
hasil operasi, dan resiko untuk berbagai perdarahan.
Gambar 19-1
Ø HASIL YANG DIINGINKAN
·
Perbaikan kondisi klinik atau
resolusi komplikasi akut, seperti tamponade (= kompresi jantung karena
akumulasi cairan di kantong pericardia) atau perdarahan, dan resolusi
instabilitas hemodinamik dari episode hemorrhage varicel akut.
·
Pencegahan komplikasi,
penurunan tekanan portal dengan terapi medik menggunakan terapi
β-adrenergik, dan penghentian konsumsi
alkohol.
Ø PERAWATAN
PENDEKATAN UMUM
·
Identifikasi dan eliminasi
penyebab sirrosis (seperti,
penyalahgunaan alkohol).
·
Menilai resiko perdarahan
variceal dan memulai profilaksis farmakologi jika diindikasikan, terapi
endoskopik sebaiknya disimpan untuk pasien resiko tinggi atau episode
perdarahan akut.
·
Perawatan perdarahan variceal
dengan teknik endoskopi dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan akut.
·
Pasien sebaiknya dievaluasi
untuk tanda klinik ascites dan ditangani dengan perawatan farmakologi (seperti,
diuretik) dan paracentesis (= membuat lubang di rongga tubuh untuk mengeluarkan
cairan). Sebaiknya dilakukan pengawasan seksama untuk peritonitis karena
bakteri pada pasien ascites yang kondisinya memburuk.
·
HE membutuhkan perawatan dengan
pantangan pada diet, eliminasi depresan sistem saraf pusat, dan terapi untuk
menurunkan level amonia.
·
Diperlukan pengawasan yang
sering untuk tanda sindrom hepatorenal, gangguan kerja pulmonal, dan disfungsi
endokrin.
·
Tabel 19-3 memberi rangkuman
penanganan pasien sirrosis dan termasuk parameter pengawasan dan hasil terapi.
Tabel 19-3
PENANGANAN HIPERTENSI
PORTAL DAN PERDARAHAN VARICEAL
Penganangan varises melibatkan tiga strategi:
(1) profilaksis primer untuk mencegah perdarahan ulang,
(2) penanganan hemorrhage variceal, dan
(3)profilaksis sekunder untuk mencegah perdarahan pada pasien yang
sudah mengalami perdarahan.
Profilaksis Primer
·
Dasar dari profilaksis primer
adalah penggunaan agen β-adrenergik blocker non selektif seperti propanolol atau nadolol. Agen-agen ini mencegah perdarahan, sehingga bisa
mengurangi mortalitas.
·
Terapi β-adrenergik blocker
sebaiknya dilanjutkan seumur hidup, kecuali tidak bisa ditoleransi, karena
perdarahan bisa terjadi ketika terapi dihentikan dengan mendadak.
·
Semua pasien sirrosis dan
hipertensi portal bisa menjalani skrining endoskopik, dan pasien dengan varises
besar sebaiknya menerima profilaksis primer dengan β-adrenergik blocker.
·
Terapi sebaiknya dimulai dengan
propanolol, 10 mg tiga kali sehari, atau nadolol, 20 mg sekali sehari, dan
dititrasi sampai terjadi penurunan denyut jantung istirahat 20-25%, denyut
jantung absolut 55-60 denyutan per menit, atau timbulnya efek samping.
·
Nitrat bisa digunakan untuk pasien
yang kontraindikasi atau intolerir dengan β-adrenergik blocker.
·
Untuk pasien yang kurang
merespon β-adrenergik blocker, nitrovasodilator aksi panjang sebaiknya
ditambahkan untuk mendapatkan penurunan tekanan portal.
Hemorrhage Variceal Akut
Gambar 19-2 memberikan panduan penanganan hemorrhage variceal.
·
Target awal perawatan termasuk
: (1) resusitasi cairan yang cukup, (2) penanganan koagulopati dan
trombositopeni, (3) mengontrol perdarahan, (4) pencegahan perdarahan ulang, dan
(5) menjaga fungsi liver.
·
Pada pasien dengan perdarahan
aktif sebaiknya dilakukan stabilisasi kondisi dan resusitasi cairan yang lalu
diikuti pemeriksaan endoskopik.
·
The American College
of Gastroenterology mengajurkan esophagogastroduodenoscopy menggunakan
endoscopic injection sclerotheraphy (EIS) atau endoscopic band ligation (EBL)
varises sebagai diagnosa primer dan strategi perawatan untuk hemorrhage saluran
cerna bagian atas setelah hipertensi portal dan varises.
·
Octreotide diberikan IV bolus 50-100 μg
dan diikuti infusi berkelanjutan 25 μg/jam, sampai laju maksimum 50 μg.jam.
Pasien sebaiknya diawasi untuk hipo- atau hiperglisemi.
·
Vasopresin, tunggal atau dalam kombinasi
dengan nitrogliserin, tidak lagi dianjurkan sebagai terapi pertama untuk
penanganan hemorrhage variseal. Vasopresin menyebabkan vasokontriksi
non-selektif dan bisa menyebabkan hipertensi, sakit kepala yang parah, iskemi
koroner, infark myokardia, dan aritmia.
·
Terapi antibiotik bisa
digunakan lebih awal untuk mencegah sepsis pada pasien dengan tanda infeksi.
·
EIS atau EBL seing digunakan
untuk hemorrhage saluran cerna atas setelah hipertensi portal dan varises. Agen
sclerosing yang digunakan di EIS termasuk ethanolamine,
natrium tetradecyl sulfate, polidocanol, dan natrium morrhuate.
Gambar 19-2
·
Jika terapi standar gagal untuk
mengontrol perdarahan, prosedur penyelamatan seperti ballon tamponade (dengan tabung Sengstaken-Blakemore), transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) atau operasi shunt (= membuat jalan
darah alternatif) bisa dilakukan.
Pencegahan Perdarahan Ulang
·
β-adrenergik blocker telah
digunakan secara tradisional untuk pencegahan perdarahan ulang; tetapi, EIS
atau EBL kini makin menjadi opsi perawatan pilihan.
·
Pada pasien tanpa
kontraindikasi, agen β-adrenergik blocker sebaiknya menjadi langkah awal untuk
mencegah perdarahan ulang, bersama dengan EIS atau EBL. Penggunaan β-adrenergik
blocker aksi panjang biasanya dianjurkan untuk meningkatkan kepatuhan, dan
bertahap, pemilihan dosis individual untuk memperkecil efek samping. Propanolol bisa diberikan 20 mg tiga
kali sehari (atau nadolol, 20-40 mg
sekali sehari) dan dititrasi tiap minggu untuk mencapai target denyut jantung
50-60 denyutan/menit atau denyut jantung yang 25% lebih rendah dari denyut
jantung dasar. Pasien sebaiknya diawasi untuk tanda gagal jantung,
bronkospasma, atau intoleransi glukosa.
·
Untuk pasien yang gagal
mencapai pengurangan tekanan portal yang cukup dengan terapi β-blocker tunggal,
terpai kombinasi dengan nitrate atau
spironolakton bisa lebih efektif
untuk menurunkan tekanan portal.
ASCITES
·
Untuk pasien dengan ascites,
sebaiknya ditentukan serum-ascites albumin gradient (SAG). Jika SAG>1,1
akurasi adanya hipertensi portal mencapai 97%.
·
Perawatan ascites sekunder
terhadap hipertensi portal termasuk penghentian asupan alkohol, pembatasan
natrium, dan diuretik. Natrium klorida sebaiknya dibatasi sampai 2 g per hari.
Pembatasan cairan dan istirahat total tidak lagi dianjurkan.
·
Terapi diuretik sebaiknya
dimulai dengan dosis pagi tunggal spironolakton,
100 mg, dan furosemide, 40 mg,
dengan target penurunan berat badan harian maksimum 0,5 kg. Dosis masing-masing
bisa ditingkatkan bersamaan, dengan menjaga rasio 100mg:40mg, sampai dosis
maksimum harian 400 mg spironolakton dan 160 mg furosemide.
·
Jika ascites parah, sebaiknya
dilakukan paracentesis 4-6 l sebelum memulai terapi diuretik dan pembatasan
garam.
·
Pasien yang merasakan
encephalopathy, hiponatremia parah meski sudah menjalani pembatasan cairan,
atau gangguan ginjal sebaiknya menghentikan terapi diuretik.
·
Transplantasi liver bisa
digunakan pada pasien dengan ascites refrakter.
SPONTANEOUS BACTERIAL
PERITONITIS (SBP)
·
Pasien dengan riwayat atau
dicurigai mengalami SBP sebaiknya menerima terapi antibiotik spektrum luas
untuk mengatasi Eschericia coli, Klebsia
pneumoniae, dan Streptococcus pneumoniae.
·
Cefotaxime, 2 g tiap 8 jam, atau sefalosporin
generasi ketiga lainnya dianggap sebagai obat terpilih.
·
Ofloxacin oral merupakan alternatif
biaya rendah untuk terapi intravena.
·
Terapi fluoroquinolone jangka
pendek bisa dipertimbangkan pada pasien SBP dengan ascites rendah-protein
(<1 g/dl), hemorrhage variceal, atau SBP sebelumnya.
HEPATIC ENCELOPATHY
Tabel 19-4 menggambarkan target perawatan untuk HE.
·
Pendekatan pertama untuk
perawatan HE adalah identifikasi semua faktor pencetus. Faktor-faktor pencetus
dan alternatif terapi pada Tabel 19-5.
Tabel 19-4
Tabel 19-5
·
Pendekatan perawatan termasuk :
(1) pengurangan konsentrasi amonia darah dengan pembatasan diet dan terapi obat
yang ditujukan untuk inhibisi produksi amonia atau merangsang pengeluarannya
(lactulose), (2) inhibisi reseptor γ-aminobutyric acid-benzodiazepine dengan
flumazenil, dan (3) inhibisi neurotransmiter palsu dengan optimisasi
keseimbangan asam basa.
·
Pendekatan untuk megurangi
konsentrasi amonia darah termasuk:
Sumber : HandBooks
Pharmacotherapy (terjemahan)
Wednesday, 24 December 2014
GANGUAN TIROID
Ø DEFINISI
Ganguan tiroid mencakup
berbagai kondisi penyakit yang mempegaruhi produksi atau sekresi hormon tiroid
yang menyebabkan perubahan stabilities metabolic. Hipertiroid dan hipotiroid
adalah sindroma klinik dan biokimia yang muncul dari peningkatan dan penurunan
produksi hormon tiroid.
Ø FISIOLOGI HORMON TIROID
· Hormon tiroid, tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3) dibentuk
pada tiroglobulin, suatu glikoprotein besar yang disintesis dalam sel
tiroid. Iodida inorganik memasuki sel folikel tiroid dan dioksidasi oleh tiroid
peroksidase dan terikat secara kovalen
ke residu tirosin dari tiroglobulin.
· Residu tiroid teriodinase,
monoiodotirosin (MIT) dan diioditirosin (DIT) bergabung membentuk iodotironin
dalam reaksi yang dikatalisa oleh tiroid peroksidase. DIT dan DIT membentuk T4,
sedang MIT dan DIT membentuk T3.
· Hormon tiroid dilepaskan ke
aliran darah dengan proteolisis dalam sel tiroid. T4 dan T3
ditranspor ke aliran darah oleh tiga protein: thyroid-binding globulin (TBG),
thyroid-binding prealbumun (TBPA), dan albumin. Hanya hormon tiroid bebas (tak
terikat) yang mampu masuk ke sel, menimbulkan efek biologis, dan mengatur
sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) dari kelenjar pituitari.
· T4 disekresi hanya
pada kelenjar tiroid, tapi <20% T3 diproduksi disana; mayoritas T3
dibentuk dari pemecahan T4 yang dikatalisa enzim 5’-monodeiodinase
yang ditemukan di jaringan perifer. T3 sekitar tiga sampai lima kali lebih aktif dari
T4.
· T4 bisa juga
bereaksi dengan 5’-monodeiodinase membentuk reverse T3 yang tidak
mempunyai aktifitas biologis yang signifikan.
· Produksi hormon tiroid diatur
oleh TSH yang disekresi pituitari
anterior, yang lalu berada di bawah kontrol negative feedback oleh hormon
tiroid bebas di sirkulasi dan pengaruh
positif dari hypothalamic thyrotropin-releasing hormone (TRH). Produksi hormon
tiroid juga diatur oleh deiodinasi ekstratiroid T4 menjadi T3
yang bisa dipengaruhi nutrisi, hormon non-tiroid, obat-obatan dan penyakit.
Ø TIROTOKSIKOSIS
(HIPERTIROID)
PATOFISIOLOGI
·
Tirotoksikosis muncul ketika
jaringan terpapar T4 atau T3, atau keduanya, berlebih.
· Tumor pituitari-pensekresi-TSH
melepaskan hormon yang aktif secara biologis yang tidak merespon kontrol
feedback normal. Tumor bisa menghasilkan prolaktin atau hormon pertumbuhan;
sehingga pasien bisa mengalami amenorrhea, galacthorrea atau akromegali.
· Pada penyakit Grave,
hipertiroid muncul dari aksi thyroid-stimulating antibodies (TSAb) terhadap
reseptor tirotropin pada permukaan sel tiroid. Antibodi Imunoglobulin G (IgG)
ini terikat ke reseptor dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dengan cara
yang sama dengan TSH.
· Suatu nodule tiroid otonom
(toxic adenoma) adalah massa
tiroid terpisah yang kerjanya bebas dari kontrol pituitari. Hipertiroid
biasanya muncul dengan nodule lebih besar (yaitu, dengan diameter >4 cm).
· Pada goiter (gondok)
multinodular (penyakit Plummer), folikel dengan fungsi otonom tinggi berada
diantara folikel normal atau bahkan folikel yang tidak berfungsi.
Tirotoksikosis terjadi ketika folikel otonom menghasilkan hormon tiroid lebih
banyak dari yang dibutuhkan.
· Tiroiditis subakut yang sangat
nyeri (DeQuervain) dipercaya disebabkan invasi viral pada parenkim tiroid.
·
Tiroiditis tanpa rasa sakit
(‘sunyi’, limfositik, postpartum) adalah penyebab umum tirotoksikosis; etiologinya
masih belum dipahami dan bisa jadi heterogen.
·
Tirotoksikosis factia adalah
hipertiroid yang dihasilkan oleh konsumsi hormon tiroid eksogen. Ini bisa
terjadi ketika hormon tiroid digunakan untuk indikasi yang tidak sesuai, ketika
dosis berlebih digunakan, atau ketika digunakan secara rahasia oleh pasien.
· Amiodarone bisa merangsang
tirotoksikosis atau hipotiroid. Agen ini
menghambat 5’-deiodinase tipe I, menyebabkan pengurangan konversi T4
menjadi T3, dan pelepasan iodin dari obat bisa menyebabkan kelebihan
iodin. Amiodarone juga menyebabkan tiroiditis desktruktif dengan hilangnya
tiroglubulin dan hormon tiroid.
TAMPILAN KLINIK
·
Simtom tirotoksikosis termasuk
gugup, emosi labil, mudah pingsan, tidak tahan terhadap panas, turunnya berat
bersamaan dengan peningkatan nafsu makan, peningkatan frekeuensi pergerakan
intestinal, palpitasi (=denyut jantung yang cepat dan tidak teratur), kelemahan
pada otot proksimal (bisa terlihat saat menaiki tangga atau bangkit dari posisi
duduk), dan menstruasi tidak teratur serta kuantitasnya kecil.
·
Tanda fisik tirotoksikosis bisa
termasuk rasa hangat, kulit lembab dan kondisi rambut yang tidak biasanya
bagus; lepasnya ujung kuku tangan (onycholysis); retraksi (tertarik) kelopak
mata dan kelopak mata atas masuk ke dalam rongga jika memandang ke bawah (lid
lag); takikardi sewaktu istirahat; tekanan pulsa yang melebar, dan murmur
(suara pelan, bisikan) dari ejeksi sistolik; terkadang ginekomasti pada pria;
getaran pada lidah yang terjulur dan tangan yang direntangkan; dan reflek
tendon dalam yang hiperaktif.
· Penyakit Grave manifestasinya
berupa hipertiroid, pembesaran difus tiroid, dan temuan ekstratiroidal
exophthalmos (= gerakan bola mata abnormal), pretibial myxedema, dan thyriod
acropachy. Kelenjar tiroid biasanya membesar secara difus, dengan permukaan
halus dan konsistensi dari lunak sampai keras. Pada penyakit yang parah, bisa
dirasakan getaran melalui stetoskop pada kelenjar.
· Pada tiroiditis subakut,
keluhan pasien akan sakit yang parah
pada area tiroid, seringkali menyebar ke telinga di sisi yang sama. Demam
ringan umum terjadi, dan terlihat tanda sistemik serta simtom tirotoksikosis.
Kelenjar tiroid terasa padat lunak pada pemeriksaan fisik.
· Tiroiditis ‘sunyi’ mempunyai
rangkaian trifasik yang meniru tiroiditis subakut. Kebanyakan pasien merasakan simtom tirotoksik ringan; retraksi
kelopak mata dan lid lag terjadi tapi exophthalmos tidak. Kelenjar tiroid bisa
membesar secara difus, tapi pelunakan tiroid tidak terjadi.
·
‘Badai’ tiroid adalah kondisi
darurat yang mengancam jiwa yang ditandai dengan tirotoksikosis parah, demam
tinggi (seringkali >1030F), takikardi, takipnea (=bernafas
dengan sangat cepat), dehidrasi,
delirium, koma, mual, muntah, dan diare. Faktor pencetus termasuk infeksi,
trauma, operasi, perawatan dengan iodine radioaktif, dan penghentian obat
antitiroid.
DIAGNOSA
·
Peningkatan radioactive iodine
uptake, RAIU (asupan iodin radioaktif) merupakan indikasi hipertiroid sejati;
kelenjar tiroid pasien memproduksi T4, T3, atau keduanya
(RAIU normal 10-30%) berlebih. Sebaliknya, RAIU rendah mengindikasikan bahwa
hormon tiroid berlebih bukan merupakan konsekuensi dari hiperfungsi kelenjar tiroid.
·
Hipertiroid yang diinduksi TSH
didiagnosa dengan adanya hipermetabolisme perifer, pembesaran difus kelenjar
tiroid, peningkatan hormon tiroid bebas, dan peningkatan konsentrasi serum
imunoreactif TSH. Karena kelenjar pituitari sangat sensitif bahkan terhadap
peningkatan kecil dari T4, TSH yang terdeteksi pada pasien
tirotoksik mengindikasikan produksi TSH yang tidak semestinya.
·
Adenoma pituitari-pensekresi-TSH
didiagnosa dengan kurangnya respon terhadap stimulasi TRH, peningkatan jumlah
TSH α-subunit, dan pencitraan radiologi.
·
Pada tirotoksik penyakit Grave,
ada peningkatan secara umum pada laju produksi hormon dengan peningkatan T3
yang tidak proporsional dengan T4 (Tabel 18-1). Kejenuhan TBG
meningkat karena peningkatan serum T4 dan T3, yang
dtandai dengan peningkatan asupan resin T3. Sebagai hasil,
konsentrasi T4bebas, T3bebas dan index T3 dan
T4 bebas meningkat bahkan lebih tinggi serum T4 total
yang terukur, dan konsentrasi T3. Jumlah TSH tidak terdeteksi karena
negative feedback oleh peningkatan level hormon tirois di pituitari. Diagnosa
tirotoksikosis dikonfirmasi oleh pengukuran konsentrasi serum T4,
asupan resin T3 (atau T4 bebas), dan TSH. Peningkatan
RAIU 24 jam (diperoleh pada individu yang tidak hamil) membuktikan bahwa
kelenjar tiroid menyalahgunakan iodin untuk memproduksi hormon tiroid ketika
pasien tirotoksik.
·
Toxic adenoma bisa menyebabkan
hipertiroid dengan nodula yang lebih besar. Karena ada banyak peningkatan serum
T3 dari nodul otonom, level T3 harus diukur untuk
memastikan toksikosis T3 bukan merupakan penyebab jika level T4
normal. Setelah pembuktian (menggunakan radioiodine scan) toxic thyroid adenoma
mengumpulkan iodin lebih banyak dari jaringan disekitarnya, fungsi independen
dibuktikan dengan kegagalan nodule otonom untuk menurunkan asupan iodin selama
pemberian T3 eksogen.
·
Pada goiter multinodula,
thyroid scan akan menunjukkan daerah kecil jaringan tiroid yang berfungsi
otonom.
Tabel 18-1
·
RAIU yang rendah
mengindikasikan bahwa hormon tiroid berlebih bukan merupakan konsekuensi
hiperfungsi kelenjar tiroid. Ini bisa dilihat pada tiroiditis subakut, tiroiditis
‘sunyi’, struma ovarii, kanker folikular, dan konsumsi hormon troid eksogen.
·
Pada tiroiditis subakut, uji
fungsi tiroid umumnya melakukan rangkaian trifasik pada penyakit ini. Awalnya,
level serum tiroksin naik karena pelepasan hormon tiroid preformed (belum
terbentuk sempurna) dari folikel yang hancur. RAIU 24 jam selama waktu ini
adalah <2% karena inflamasi tiroid dan supresi TSH oleh peningkatan level
tiroksin. Dengan perjalanan penyakit, cadangan hormon intratiroidal habis, dan
pasien menjadi sedikit hipotiroid dengan peningkatan TSH yang sesuai. Selama
fase pemulihan, cadangan hormon tiroid kembali normal dan peningkatan serum TSH
secara bertahap turun ke normal.
·
Selama fase tirotoksik dari
tiroiditis ‘sunyi’ RAIU 24 jam ditekan sampai <2%. Antibodi antitiroglobulin
dan antimikrosomal meningkat pada
>50% pasien.
·
Tirotoksikosis factia bisa
dicurigai pada pasien tirotoksik tanpa ophthalmopathy infiltratif atau pembesaran
tiroid. RAIU rendah karena fungsi kenjar tiroid ditekan oleh hormon tiroid
eksogen. Pengukuran plasma tiroglobulin menunjukkan jumlah yang sangat kecil.
HASIL YANG DIINGINKAN
Target terapi untuk hipertiroid adalah menormalkan produksi hormon
tiroid; mengurangi simtom dan konsekuensi jangka panjang; dan memberikan terapi
individual berdasar tipe dan keparahan penyakit, usia pasien dan kelamin,
adanya kondisi non-tiroid, dan respon terhadap terapi sebelumnya.
PERAWATAN (TABEL 18-2)
Pengobatan Antitiroid
Thiourea (Thionamide)
·
Propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) mem-block sintesis
hormon tiroid dengan inhibisi sistem enzim peroksidase dari kelenjar tiroid,
sehingga mencegah oksidasi iodida dan berkutnya penyertaan membentuk
iodotirosin dan akhirnya iodotironin (‘organifikasi’), dan dengan inhibisi
penggabungan MIT dan DIT membentuk T4 dan T3. PTU (tapi
bukan MMI) juga meng-inhibit perubahan perifer dari T4 menjadi T3.
·
Contoh dosis awal termasuk PTU
300-600 mg sehari (biasanya dalam tiga sampai empat dosis terbagi) atau MMI
30-60 mg sehari dalam tiga dosis terbagi. Terdapat bukti bahwa kedua obat bisa
diberikan dalam dosis harian tunggal.
·
Perbaikan pada simtom dan
abnormalitas laboratorium semestinya muncul dalam 4-8 minggu, sewaktu dosis
bisa diturunkan menjadi dosis penjagaan. Perubahan dosis sebaiknya dilakukan
tiap bulan karena T4 endogen akan mencapai kondisi tunak dalam
interval ini. Dosis penjagaan harian adalah PTU 50-300 mg dan MMI 5-30 mg.
·
Terapi obat antitiroid
sebaiknya dilanjutkan sampai 12-24 bulan untuk memicu remisi jangka panjang.
·
Pasien sebaiknya diawasi tiap
6-12 bulan setelah remisi. Jika terjadi serangan ulang, terapi alternatif
dengan radioactive iodine (RAI) disukai sebagai rangkaian obat antitiroid
kedua, karena terapi lanjutan biasanya jarang memicu remisi.
Tabel 18-2
·
Efek samping minor termasuk
pruritic maculopapular, arthralgia (= sakit pada persendian), demam, dan
lukopenia ringan (hitung darah putih <4000/mm3). Thiourea
alternatif bisa dicoba pada situasi ini, tapi cross-sensitivity (reaksi sensitivitas antar obat) terjadi pada 50%
pasien.
·
Efek samping mayor termasuk
agranolusitosis (dengan demam, merasa lemah, gingivitis, infeksi oropharyngeal,
dan hitung granulosit <250/mm3), anemia aplastik, sindroma
seperti-lupus, polymyositis (= kondisi yang ditandai inflamasi dan degenerasi
dari otot skelet), intoleransi saluran cerna, hepatotoksisitas, dan
hipoprotrombinemia. Agranulositosis, jika terjadi, selalu terjadi dalam tiga
bulan pertama terapi; pengawasan rutin tidak dianjurkan karena onset yang
mendadak. Pasien yang telah merasakan efek samping mayor terhadap salah satu
thiourea sebaiknya tidak beralih ke obat lain karena cross-sensitivity (reaksi sensitivitas antar obat).
Iodida
·
Iodida sebenarnya menghalangi pelepasan
hormon tiroid, inhibit biosintesis hormon tiroid dengan menghalangi penggunaan
iodida intratiroid, dan menurunkan ukuran dan vaskularitas kelenjar.
·
Perbaikan simtom terjadi dalam
2-7 hari sejak memulai terapi, dan konsentrasi serum T3 dan T4 bisa berkurang selama
beberapa minggu.
·
Iodida sering digunakan sebagai
terapi tambahan untuk menyiapkan pasien dengan penyakit Grave sebelum menjalani
operasi, untuk menginhibisi pelepasan hormon tiroid dan dengan cepat mencapai
keadaan euthyroid (= kelenjar tiroid berfungsi normal) pada pasien yang sangat
tirotoksik dengan dekompensasi kardia, atau untuk meng-inhibit pelepasan hormon
tiroid setelah terapi RAI.
·
Kalium iodida tersedia sebagai larutan
jenuh (SSKI, 38 mg iodida per tetes)
atau larutan Lugol, mengandung 6,3
mg iodida per tetes (Tabel 18-2).
·
Dosis awal tipikal SSKI adalah
3-10 tetes tiap hari (120-400 mg) dalam air atau jus. Ketika digunakan untuk
mempersiapkan pasien sebelum operasi, sebaiknya diberikan 7-14 hari sebelum
operasi.
·
Sebagai pelengkap RAI, SSKI
sebaiknya tidak digunakan sebelum tapi sebaiknya 3-7 hari setelah perawatan
dengan RAI sehingga radioactive iodine bisa terkumpul di tiroid.
·
Efek samping termasuk reaksi
hipersensitivitas (kulit kemerahan, drug
fever, rhinitis [= inflamasi membran mukosa hidung], conjunctivitis);
pembengkakan kelenjar ludah, ‘iodisme’ (rasa logam, mulut dan tenggorokan
terbakar, nyeri pada gigi dan gusi, simtom head
cold, dan terkadang gangguan perut dan diare); dan ginekomasti.
Adrenergik blocker
·
β blocker tekah digunakan secara luas
untuk mengurangi simom tirotoksik seperti palpitasi, cemas, tremor, dan tidak
tahan panas. Agen ini tidak mempunyai efek pada tirotoksikosis perifer dan
metabolisme protein dan tidak mengurangi TSAb atau mencegah ‘badai’ tiroid. Propanolol dan nadolol secara parsial menghalangi perubahan T4 menjadi
T3, tapi kontribusinya kecil terhadap terapi keseluruhan.
·
Β blocker biasanya digunakan
sebagai terapi tambahan dengan obat antitiroid, RAI, atau idodida dalam
penanganan penyakit Grave atau toxic
nodule; pada persiapan sebelum operasi; atau pada ‘badai’ tiroid. β blocker
adalah terapi primer hanya untuk tiroiditis dan hipertiroid yang diinduksi
iodin.
·
Dosis propanolol yang dibutuhkan
untuk mengurangi simtom adrenergik bervariasi, tapi dosis awal 20-40 mg empat
kali sehari efektif untuk kebanyakan pasien (denyut jantun <90 denyutan per
menit). Pasien lebih muda atau dalam kondisi lebih toksik bisa membutuhkan
sampai 240-480 mg/hari).
·
β blocker dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, kecuali kelainan itu hanya karena
takikardi (curah tinggi), dan pada pasien yang mengembangkan cardiomyopati dan
gagal jantung. Efek samping lain termasuk mual, muntah, cemas, insomnia, lightheadedness, bradikardi, dan gangguan
hematologi.
·
Simpatolitik yang bekerja
sentral (seperti, clonidin) dan antagonis Ca channel blocker (seperti, diltiazem) bisa berguna untuk mengontrol simtom ketika
dikontraindikasikan untuk β blocker.
Radioactive iodine
·
Natrium iodida 131 (131I)
adalah cairan oral yang terkumpul di tiroid dan mengganggu sintesis hormon
dengan masuk ke hormone tiroid dan tiroglobulin. Setelah periode beberapa
minggu, folikel yang telah diambil RAI dan folikel disekitarnya mengalami
nekrosis selular dan fibrosis jaringan interstitial.
·
RAI adalah agen pilihan untuk
penyakit Grave, nodul otonom toksik, dan toxic multinodular goiter. Kehamilan merupakan
kontraindikasi absolut untuk penggunaan RAI.
·
β blocker adalah terapi
tambahan primer untuk RAI, karena bisa diberikan kapan saja tanpa perlu
menyesuaikan dengan terapi RAI.
·
Pasien dengan penyakit kardia
dan pasien lansia sering dirawat dengan thionamide sebelum RAI ablation
(ablation = pengangkatan jaringan) karena hormon tiroid akan naik singkat
setelah perawatan RAI karena pelepasan preformed hormon tiroid.
·
Obat-obat antitioid sebaiknya
tidak rutin diberikan setelah RAI, karena penggunaannya dihubungkan dengan
tingginya kejadian serangan hipertiroid setelah perawatan atau hipertiroid yang
bertahan.
·
Jika iodida diberikan,
sebaiknya diberikan 3-7 hari setelah RAI untuk mencegah interaksi dengan asupan
RAI di kelenjar tiroid.
·
Target terapi adalah
menghancurkan sel tiroid yang hiperaktif, dan dosis tunggal 4000-8000 rad
menghasilkan kondisi euthyroid pada 60% pasien setelah 6 bulan atau kurang.
Dosis kedua RAI sebaiknya diberikan 6 bulan setelah RAI pertama jika pasien
tetap hipertiroid.
·
Hipotiroid umum terjadi setelah
RAI. Efek samping akut, jangka pendek, termasuk pelunakan tiroidal ringan dan
dysphagia (= kesulitan menelan). Terapi lanjutan jangka panjang belum terbukti
meningkatkan resiko terbentuknya karsinoma tiroid, leukimia, atau defek
kongenital.
Operasi
·
Pengangkatan kelenjar tiroid
adalah perawatan pilihan untuk cold
nodule yang sudah ada, goiter yang sangat besar, dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk thionamide (yaitu, alergi atau efek samping) dan RAI
(yaitu, kehamilan).
·
Jika direncanakan tiroidektomi,
PTU atau methimazole biasanya diberikan sampai pasien euthyroid secara
biokimia (biasanya 6-8 minggu), diikuti penambahan iodida (500 mg.hari selama
10-14 hari) sebelum operasi untuk menurunkan vaskularitas kelenjar. Levothyroxine bisa ditambahkan untuk
menjaga kondisi euthyroid sementara thidinamide dilanjutkan.
·
Propanolol telah digunakan selama
beberapa minggu sebelum operasi dan 7-10 hari setelah operasi untuk menjaga
denyut <90 denyut per menit. Kombinasi pretreatment dengan propanolol dan
10-40 hari kalium iodida juga telah diajukan.
·
Komplikasi termasuk serangan
ulang hipertiroid atau hipertiroid yang bertahan (0,6-0,8%), hipotiroid (sampai
49%), hipoparatiroid (sampai 4%), dan gangguan pita suara (sampai 5%). Serangan
hipotiroid yang sering membutuhkan terapi lanjutan.
Perawatan ‘Badai’ Tiroid
·
Terapi berikut sebaiknya segera
dilakukan: supresi pembentukan dan sekresi hormon tiroid, terapi
antiadrenergik, pemberian glukokortikoid, dan perawatan komplikasi terkait.
·
PTU dosis besar adalah thionamide
pilihan karena mengganggu produksi hormon tiroid dan menghalangi perubahan T4
menjadi T3 di perifer.
·
Iodida, yang dengan cepat menghalangi
pelepasan preformed hormon tiroid, sebaiknya diberikan setelah terapi PTU
dimulai untuk menginhibit penggunaan iodine oleh kelenjar yang hiperaktif.
·
Terapi pendukung, termasuk asetaminofen sebagai antipiretik
(aspirin dan NSAID lain bisa menggantikan hormon tiroid yang terikat), penggantian cairan dan elektrolit, sedatif, digitalis, antiaritmia, insulin, dan antibiotik sebaiknya diberikan sesuai indikasi. Plasmapheresis (=
pemindahan plama dari darah) dan dialisis peritoneal telah digunakan untuk
mengeluarkan hormon berlebih pada pasie yang tidak merespon terapi konservatif.
·
Tabel 18-3
EVALUASI HASIL TERAPI
·
Setelah terapi (thionamide,
RAI, atau operasi) untuk hipotiroid telah dimulai, pasien sebaiknya dievaluasi
tiap bulan sampai mencapai kondisi euthyroid.
·
Tanda klinik berlanjutnya
tirotoksikosis atau perkembangan hipotiroid sebaiknya diperhatikan.
·
Setelah penggantian tiroksin
dimulai, target adalah mempertahankan level tiroksin bebas dan konsentrasi TSH
dalam rentang normal. Setelah didapat dosis tiroksin yang tetap, pasien bisa
dievaluasi tiap 6-12 bulan.
Ø HIPOTIROID
PATOFISIOLOGI
·
Mayoritas pasien hipotiroid
mempunyai kegagalan kelenjar tiroid (hipotiroid primer), penyebab termasuk
tiroiditis otoimun kronik (panyakit Hashimoto), iatrogenic (= penyakit karena
pemeriksaan atau perawatan medis) hipotiroid, defisiensi idine, defek enzim,
hipoplasia tiroid, dan goitrogen.
·
Kegagalan pituitari (hipotirid
sekunder) adalah sebab tidak umum yang muncul dari tumor pituitari, terapi
operasi, radiasi pituitari eksternal, nekrosis pitutari setelah melahirkan,
tuberkulosis, histiocytosis, dan mekanisme otoimun.
TAMPILAN KLINIK
·
Manifestasi hipotiroid pada
orang dewasa termasuk kulit kering, tidak tahan dingin, berat bertambah,
konstipasi, kelemahan, lethargy (= kondisi patologi tidur berlebih atau tidak
responsif), fatigue (= merasa sangat capai), depresi, dan ucapan yang lambat
dan kasar. Pada anak, defisiensi hormn tiroid manifestasi bisa berupa retardasi
mental.
·
Tanda fisik termasuk kulit dan
rambut yang kasar, kulit dingin, periorbital
puffiness, bradikardi, kejang otot, myalgia (=nyeri otot), dan kekakuan.
Sindrom neurologik reversibel seperti carpal tunnel syndrome (=tangan dan jari
terasa sangat nyeri karena tekanan pada saraf, salah satunya disebabkan gerakan
berulang dalam waktu yang lama), ploineuropati, dan disfungsi serebral juga
bisa terjadi. Umum terjadi objective
weakness (dengan otot proksimal lebih terpengaruh dari otot distal) dan
relaksasi yang lambat dari tendon dalam.
·
Kebanyakan pasien dengan
hipotiroid sekunder mempunyai tanda klinik gangguan kerja pituitari seperti
menstruasi tidak normal dan menurunnya libido, atau bukti adanya adenoma
pituitari seperti defek penglihatan, galacthorrea, atau tampilan akromegali.
·
Koma myxedema adalah tahap
akhir hipotiroid yang tidak ditangani dan manifestasinya berupa hipotermia,
simtom hipotiroid tahap akhir, dan perubahan sensori yang berkisar dari
delirium sampai koma. Penyakit yang tidak dirawat dihubungkan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi.
DIAGNOSIS
·
Peningkatan TSH adalah bukti
pertama dari hipotiroid primer. Banyak pasien mempunyai level T4dalam
rentang normal (hipotiroid kompensasi) dan beberapa, jika ada, simtom hipotiroid.
Dengan perjalanan penyakit, konsentrasi T4 jatuh di bawah normal.
Konsentrasi T3 sering dijaga di tingkat normal meski T4
rendah. RAIU bukan merupakan uji yang
berguna pada evaluasi hipotiroid.
·
Hipotiroid sekunder bisa
dicurigai pada pasien dengan penurunan
jumlah tiroksin dan jumah TSH yang rendah atau normal.
HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan perawatan hipotiroid adalah menormalkan konsentrasi hormon
tiroid di jaringan, mengurangi simtom, mencegah defisit neurologik pada bayi
yang baru lahir dan anak, dan memulihkan abnormalitas biokimia pada
hipertiroid.
PERAWATAN HIPOTIROID (TABEL 18-4)
·
Levotiroksin (L –tiroksin) adalah obat pilihan untuk penggantian hormon tiroid dan
terapi supresif karena stabil secara kimia, relatif murah, bebas antigen, dan
mempunyai potensi yang seragam; tetapi, semua sediaan tiroid komersial yang ada
bisa digunakan.
·
Penggantian sediaan
levotiroksin sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati kecuali telah dicapai bioekivalensi.
·
Karena T3 (dan bukan
T4) adalah bentuk aktif biologis, pemberian levotiroksin
menghasilkan penumpukan hormon tiroid yang siap diubah menjadi T3.
·
Kolestiramin, kalsium karbonat, sucralfat,
aluminium hidroksida, ferrous sulfate, sediaan kedelai, dan suplemen
fiber bisa mengganggu absorpsi levotiroksin dari saluran cerna. Obat yang
meningkatkan kliren T4 noniodinasi termasuk rifampin, carbamazepin,
dan mungkin fenitoin. Amiodarone bisa menghalangi konversi T4
menjadi T3.
·
Pasien muda dengan penyakit
yang sudah lama diidap atau pasien lebih tua tanpa penyakit kardia yang
diketahui bisa memulai terapi dengan levotiroksin 50 μg sehari dan ditingkatkan
menjadi 100 μg sehari setelah 1 bulan.
·
Dosis harian awal yang
dianjurkan untuk pasien lebih tua atau mereka dengan penyakit kardiak adalah 25
μg/hari yang dititrasi dengan peningkatan 25 μg tiap bulan untuk mencegah
stress pada sistem kardiovaskular.
·
Levotiroksin adalah obat
pilihan pada wanita hamil, dan target perawatan adalah mengurangi TSH sampai 1 mIu/l dan menjaga
konsentrasi T4 bebas pada rentang normal.
Tabel 18-4
·
Pasien dengan hipotiroid
subklinik dan peningkatan pada TSH (>10 mIu/l) dan titer TSAb yang tinggi
atau sebelumnya menjalani perawatan dengan 131I bisa mendapat
manfaat dari perawatan dengan levotiroksin.
·
Terapi supresif TSH dengan
levotiroksin bisa juga diberikan pada pasien dnegan penyakit tiroid nodular dan
pembesaran goiter, kepada pasien dengan riwayat iradiasi tiroid, dan untuk
pasien dengan kanker tiroid.
·
Tiroid USP (atau tiroid
terdesikasi/dihilangkan kandungan air) adalah produk dari hewan dengan
stabilitas hormon yang tidak bisa diprediksi dan bisa antigenik pada pasien
alergi. Merek generik murah bisa tidak bioekivalen.
·
Tiroglobulin adalah agen biologis
terstandarisasi untuk membuat rasio T4:T3 2,5:1. agen ini
lebih mahal dari ekstrak tiroid dan tidak mempunyai keuntungan klinik.
·
Liothyronine (T3 sintetik)
memmpunyai potensi yang seragam tapi dengan efek samping kardia yang lebih
tinggi, lebih mahal, dan sulit pengawasannya dengan uji laboratorium konvensional.
Respon dimonitor dengan assay TSH.
·
Liotrix (T4:T3
dalam rasio 4:1) stabil secara kimia, murni, dan mempunyai potensi yang bisa
diprediksi tapi mahal. Agen ini rasio terapinya rendah karena sekitar 35% T4
dirubah menjadi T3 di
perifer.
·
Dosis hormon tiroid berlebih
bisa menyebabkan gagal jantung, angina pektoris, dan infark miokardia.
Reaksi alergi atau idiosinkrasi bisa
terjadi dengan produk alami dari hewan seperti tiroid terdesikasi dan
tiroglobulin, tapi sangat jarang dengan produk sintetis yang digunakan saat
ini. Hormon tiroid esogen berlebih bisa mengurangi densitas tulang dan
meningkatkan resiko patah.
PERAWATAN KOMA MYXEDEMA
·
Untuk mencegah mortalitas
diperlukan terapi segera dan agresif dengan tiroksin IV bolus, 300-500 μg.
·
Terapi glukokortikoid dengan hidrokortison IV, 100 mg tiap 8 jam,
sebaiknya diberikan sampai supresi adrenal teratasi.
·
Sadar, turunnya konsentrasi
TSH, dan tanda vital yang normal diharapkan terjadi dalam 24 jam.
·
Dosis penjagaan tiroksin
umumnya 75-100 μg sampai pasien stabil dan terapi oral dimulai.
·
Terapi pendukung harus dimulai
untuk mempertahankan ventilasi yang cukup, kondisi euglisemia, tekanan darah,
dan suhu tubuh. Kelainan seperti sepsis dan infark miokardia harus didiagnosa
dan dirawat.
EVALUASI HASIL TERAPI
·
Konsentrasi serum TSH adalah
parameter pengawasan paling sensitif dan spesifik untuk penyesuaian dosis
levotiroksin. Konsentrasi mulai jatuh dalam jam dan biasanya akan normal dalam
2-6 minggu.
·
Konsentrasi TSH dan T4
sebaiknya diperiksa tiap 6 minggu sampai kondisi eutiroid tercapai. Peningkatan
TSH menunjukkan penggantian yang kurang. Konsentrasi serum T4 bisa
berguna untuk mendeteksi ketidak patuhan, gangguan absopsi, atau perubahan pada
bioekivalensi produk levotiroksin.
·
Pada pasien dengan hipotiroid
karena kegagalan hipotalamik atau pituitari, perbaikan sindrom klinik dan
pemulihan serum T4 ke rentang normal merupakan satu-satunya kriteria
yang ada untuk memperkirakan dosis penggantian levotiroksin yang sesuai.
Subscribe to:
Posts (Atom)