This is default featured slide 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

Thursday, 25 December 2014

SIRROSIS DAN HIPERTENSI PORTAL


Ø  DEFINISI
·         Sirrosis didefinisikan sebagai prosess difus yang dicirikan oleh fibrosis dan perubahan rancangan hepatik normal menjadi nodul yang abnormal secara struktur. Hasil akhirnya adalah perusakan hepatosit dan penggantian dengan jaringan fibrous.
·         Ganguan terhadap aliran darah akan menyebabkan hipertensi portal dan bisa terjadi varises dan ascites (= akumulasi cairan di rongga peritoneal). Rusaknya hepatosit dan penutupan aliran darah intrahepatik menyebabkan berkurangnya fungsi metabolik dan sintetik, yang akan menyebabkan enselopati hepatik dan koagulopati.
·         Sirrosis mempunyai banyak sebab (Tabel 19-1). Di AS, asupan alkohol berlebih dan hepatitis viral yang kronik (tipe B dan C) adalah sebab paling umum.

Ø  PATOFISIOLOGI
Kerusakan anatomi pada sirrosis menyebabkan sejumlah kelainan patofisiologi yang umum. Ini termasuk ascites, hipertensi portal dan varises, hepatic encelopathy (HE), dan defek koagulasi.
ASCITES
·         Ascites, akumulasi cairan limfa dalam rongga peritoneal, merupakan komplikasi paling umum dari sirrosis.
·         Pasien dengan sirrosis dan hipertensi  portal umumnya akan mengalami penurunan tahanan vaskular, penguranagn rerata tekanan arterial, dan peningkatan curah jantung, yang keseluruhan menyebabkan sirkulasi hiperdinamik.
·         Vasodilator di sirkulasi  yang bisa terlibat termasuk nitric oxide, vasoactive intestinal peptide, substan P, dan prostaglandin.
Tabel 19-1



HIPERTENSI PORTAL DAN VARISES
·         Hipertensi portal terjadi ketika tekanan portal meningkat 5 mmHg lebih tinggi dari tekanan di vena cava inferior.
·         Akibat lanjutan dari hipertensi portal seperti varises dan perubahan rute aliran darah. Pasien dengan sirrosis beresiko untuk varises ketika hipertensi portal melebihi tekanan vena cava >12 mmHg.
·         Hemorrhage dari varises terjadi pada 25%-40% pasien dengan sirrosis dan untuk tiap episode perdarahan resiko kematian sebesar 30%.

HEPATIC ENCELOPATHY/PORTAL SYSTEMIC ENCELOPATHY
·         HE adalah sindrom neuropsikiatri yang komplek dengan tanda klinik dan simtom gangguan neurologik dengan spektrum luas yang terjadi pada pasien dengan gangguan hepatik parah.
·         Portal hepatic encelopathy, PHE, sering digunakan untuk menggambarkan encelopathy yang terjadi sebagai akibat dari penyakit liver kronik.
·         HE muncul dalam tiga bentuk: akut, kronik dan subklinik. HE akut didefinisikan sebagai rangkaian kejadian perubahan sensorium yang terjadi kurang dari 4 minggu, lalu kembali ke kondisi mental dasar.
·         Encelopathy kronik didefinisikan sebagai kelainan kognitif atau neuropsikiatri yang bertahan paling tidak 4 minggu.
·         Encelopathy subklinik berartti perubahan pada fungsi neuropsikiatri yang tidak tampak secara klinik.
·         HE dipercaya disebabkan oleh akumulasi nitrogenous dan toksin lain. Mekanisme lain bisa terlibat, termasuk perubahan sawar darah-otak, ketidakseimbangan neurotransmitter, perubahan metabolisme serebral; gangguan pada aktivitas kalium-natrium ATPase dari membran neuronal; defiensi seng; dan peningkatan γ-aminobutyric acid /benzodiazepine endogen.
·         Level serum amonia mempunyai korelasi jelek  dengan tingkatan HE.



DEFEK KOAGULASI
·         Gangguan koagulasi bisa terjadi pada sirrhosis, proporsional terhadap tingkat disfungsi hepatik.
·         Gangguan ini termasuk pengurangan sintesis faktor koagulasi dan kliren dari faktor pembekuan yang sudah aktif.
·         Hipertensi portal diikuti oleh pengurangan platelet kualitatif dan kuantitatif.

Ø  TAMPILAN KLINIK
·         Rentang gejala pasien dengan sirrosis dari asimtomatik dengan uji laboratorium abnormal sampai hemorrhage yang mengancam jiwa.
·         Keluhan pasien akan penyakit liver termasuk pruritus (= rasa gatal yang parah), urine berawarna hitam, dan peningkatan ukuran/ abdominal dalam hubungannya dengan penurunan nafsu makan dan/atau berkurangnya berat. Jaundice sering menjadi manifestasi akhir dari sirrosis, dan absennya jaundice tidak menghentikan diagnosa.
·         Ketika ditanyai, pasien yang menyalahgunakan alkohol sering meremehkan jumlah alkohol yang dikonsumsi.
·         Tanda klinik klasik sirrosis, seperti palma erythema, spider angiomata (= pembentukan pembuluh darah baru), dan ginekomasti, bukan sensitif atau spesifik untuk penyakit.
·         Peningkatan prothrombin time adalah manifestasi sirrosis yang paling dipercaya.
Tabel 19-2
·         HE yang dihubungkan dengan kegagalan liver yang mendadak (fulminant) mempunyai onset yang cepat dan simtom awal yang singkat. Perkembangan penyakit pasien bisa dari mengantuk sampai delirium, konvulsi, dan koma dalam 24 jam. Dengan gagal liver kronik onset bertahap dan biasanya ringan.
·         Untuk menentukan keparahan HE bisa digunakan suatu sistem grade(Tabel 19-2).

ABNORMALITAS LABORATORIUM
·         Uji liver rutin termasuk alkalin phosphatase, bilirubin, aspartate transaminase (AST), alanin transaminase (ALT), dan γ-glutamyl transpeptidase (γ-GT).
·         Penanda tambahan termasuk aktivitas sintetik hepar seperti albumin dan protrhrombin time.
·         AST dan ALT adalah enzim yang terletak di sitoplasma hepatosit; jumlahnya di plasma meningkat dengan cedera hepatoselular.
·         Jumlah alkaline phosphatase meningkat di plasma dengan kelainan kolestasis yang mengganggu aliran empedu dari hepatosit ke saluran empedu atau dari saluran empedu ke intestinal.
·         Jumlah γ-GT di plasma mempunyai korelasi dengan peningkatan alkaline phosphatase dan sehingga menjadi penanda yang sensitif untuk penyakit saluran empedu.
·         Peningkatan serum bilirubin umum pada penyakit liver stadium lanjut, tapi ada banyak penyebab lain hiperbilirubinemia.
·         Gambar 19-1 menggambarkan skema umum untuk interpretasi uji fungsi liver.
·         Biopsi liver berperan penting pada diagnosis dan penahapan penyakit liver.
·         Sistem klasifikasi Child-Pugh menggunakan kombinasi temuan fisik dan laboratorium untuk menilai keparahan sirrosis dan bisa digunakan untuk memprediksikan apakah pasien akan selamat, hasil operasi, dan resiko untuk berbagai perdarahan.
Gambar 19-1

Ø  HASIL YANG DIINGINKAN
·         Perbaikan kondisi klinik atau resolusi komplikasi akut, seperti tamponade (= kompresi jantung karena akumulasi cairan di kantong pericardia) atau perdarahan, dan resolusi instabilitas hemodinamik dari episode hemorrhage varicel akut.
·         Pencegahan komplikasi, penurunan tekanan portal dengan terapi medik menggunakan terapi β-adrenergik,  dan penghentian konsumsi alkohol.

Ø  PERAWATAN
PENDEKATAN UMUM
·         Identifikasi dan eliminasi penyebab  sirrosis (seperti, penyalahgunaan alkohol).
·         Menilai resiko perdarahan variceal dan memulai profilaksis farmakologi jika diindikasikan, terapi endoskopik sebaiknya disimpan untuk pasien resiko tinggi atau episode perdarahan akut.
·         Perawatan perdarahan variceal dengan teknik endoskopi dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan akut.
·         Pasien sebaiknya dievaluasi untuk tanda klinik ascites dan ditangani dengan perawatan farmakologi (seperti, diuretik) dan paracentesis (= membuat lubang di rongga tubuh untuk mengeluarkan cairan). Sebaiknya dilakukan pengawasan seksama untuk peritonitis karena bakteri pada pasien ascites yang kondisinya memburuk.
·         HE membutuhkan perawatan dengan pantangan pada diet, eliminasi depresan sistem saraf pusat, dan terapi untuk menurunkan level amonia.
·         Diperlukan pengawasan yang sering untuk tanda sindrom hepatorenal, gangguan kerja pulmonal, dan disfungsi endokrin.
·         Tabel 19-3 memberi rangkuman penanganan pasien sirrosis dan termasuk parameter pengawasan dan hasil terapi.
Tabel 19-3

PENANGANAN HIPERTENSI PORTAL DAN PERDARAHAN VARICEAL
Penganangan varises melibatkan tiga strategi:
(1) profilaksis primer untuk mencegah perdarahan ulang,
(2) penanganan hemorrhage variceal, dan
(3)profilaksis sekunder untuk mencegah perdarahan pada pasien yang sudah mengalami perdarahan.
Profilaksis Primer
·         Dasar dari profilaksis primer adalah penggunaan agen β-adrenergik blocker non selektif seperti propanolol atau nadolol. Agen-agen ini mencegah perdarahan, sehingga bisa mengurangi mortalitas.
·         Terapi β-adrenergik blocker sebaiknya dilanjutkan seumur hidup, kecuali tidak bisa ditoleransi, karena perdarahan bisa terjadi ketika terapi dihentikan dengan mendadak.
·         Semua pasien sirrosis dan hipertensi portal bisa menjalani skrining endoskopik, dan pasien dengan varises besar sebaiknya menerima profilaksis primer dengan β-adrenergik blocker.
·         Terapi sebaiknya dimulai dengan propanolol, 10 mg tiga kali sehari, atau nadolol, 20 mg sekali sehari, dan dititrasi sampai terjadi penurunan denyut jantung istirahat 20-25%, denyut jantung absolut 55-60 denyutan per menit, atau timbulnya efek samping.
·         Nitrat bisa digunakan untuk pasien yang kontraindikasi atau intolerir dengan β-adrenergik blocker.
·         Untuk pasien yang kurang merespon β-adrenergik blocker, nitrovasodilator aksi panjang sebaiknya ditambahkan untuk mendapatkan penurunan tekanan portal.
Hemorrhage Variceal Akut
Gambar 19-2 memberikan panduan penanganan hemorrhage variceal.
·         Target awal perawatan termasuk : (1) resusitasi cairan yang cukup, (2) penanganan koagulopati dan trombositopeni, (3) mengontrol perdarahan, (4) pencegahan perdarahan ulang, dan (5) menjaga fungsi liver.
·         Pada pasien dengan perdarahan aktif sebaiknya dilakukan stabilisasi kondisi dan resusitasi cairan yang lalu diikuti pemeriksaan endoskopik.
·         The American College of Gastroenterology mengajurkan esophagogastroduodenoscopy menggunakan endoscopic injection sclerotheraphy (EIS) atau endoscopic band ligation (EBL) varises sebagai diagnosa primer dan strategi perawatan untuk hemorrhage saluran cerna bagian atas setelah hipertensi portal dan varises.
·         Octreotide diberikan IV bolus 50-100 μg dan diikuti infusi berkelanjutan 25 μg/jam, sampai laju maksimum 50 μg.jam. Pasien sebaiknya diawasi untuk hipo- atau hiperglisemi.
·         Vasopresin, tunggal atau dalam kombinasi dengan nitrogliserin, tidak lagi dianjurkan sebagai terapi pertama untuk penanganan hemorrhage variseal. Vasopresin menyebabkan vasokontriksi non-selektif dan bisa menyebabkan hipertensi, sakit kepala yang parah, iskemi koroner, infark myokardia, dan aritmia.
·         Terapi antibiotik bisa digunakan lebih awal untuk mencegah sepsis pada pasien dengan tanda infeksi.
·         EIS atau EBL seing digunakan untuk hemorrhage saluran cerna atas setelah hipertensi portal dan varises. Agen sclerosing yang digunakan di EIS termasuk ethanolamine, natrium tetradecyl sulfate, polidocanol, dan natrium morrhuate.
Gambar 19-2
·         Jika terapi standar gagal untuk mengontrol perdarahan, prosedur penyelamatan seperti ballon tamponade (dengan tabung Sengstaken-Blakemore), transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) atau operasi shunt (= membuat jalan darah alternatif) bisa dilakukan.
Pencegahan Perdarahan Ulang
·         β-adrenergik blocker telah digunakan secara tradisional untuk pencegahan perdarahan ulang; tetapi, EIS atau EBL kini makin menjadi opsi perawatan pilihan.
·         Pada pasien tanpa kontraindikasi, agen β-adrenergik blocker sebaiknya menjadi langkah awal untuk mencegah perdarahan ulang, bersama dengan EIS atau EBL. Penggunaan β-adrenergik blocker aksi panjang biasanya dianjurkan untuk meningkatkan kepatuhan, dan bertahap, pemilihan dosis individual untuk memperkecil efek samping. Propanolol bisa diberikan 20 mg tiga kali sehari (atau nadolol, 20-40 mg sekali sehari) dan dititrasi tiap minggu untuk mencapai target denyut jantung 50-60 denyutan/menit atau denyut jantung yang 25% lebih rendah dari denyut jantung dasar. Pasien sebaiknya diawasi untuk tanda gagal jantung, bronkospasma, atau intoleransi glukosa.
·         Untuk pasien yang gagal mencapai pengurangan tekanan portal yang cukup dengan terapi β-blocker tunggal, terpai kombinasi dengan nitrate atau spironolakton bisa lebih efektif untuk menurunkan tekanan portal.
ASCITES
·         Untuk pasien dengan ascites, sebaiknya ditentukan serum-ascites albumin gradient (SAG). Jika SAG>1,1 akurasi adanya hipertensi portal mencapai 97%.
·         Perawatan ascites sekunder terhadap hipertensi portal termasuk penghentian asupan alkohol, pembatasan natrium, dan diuretik. Natrium klorida sebaiknya dibatasi sampai 2 g per hari. Pembatasan cairan dan istirahat total tidak lagi dianjurkan.
·         Terapi diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis pagi tunggal spironolakton, 100 mg, dan furosemide, 40 mg, dengan target penurunan berat badan harian maksimum 0,5 kg. Dosis masing-masing bisa ditingkatkan bersamaan, dengan menjaga rasio 100mg:40mg, sampai dosis maksimum harian 400 mg spironolakton dan 160 mg furosemide.
·         Jika ascites parah, sebaiknya dilakukan paracentesis 4-6 l sebelum memulai terapi diuretik dan pembatasan garam.
·         Pasien yang merasakan encephalopathy, hiponatremia parah meski sudah menjalani pembatasan cairan, atau gangguan ginjal sebaiknya menghentikan terapi diuretik.
·         Transplantasi liver bisa digunakan pada pasien dengan ascites refrakter.

SPONTANEOUS BACTERIAL PERITONITIS (SBP)
·         Pasien dengan riwayat atau dicurigai mengalami SBP sebaiknya menerima terapi antibiotik spektrum luas untuk mengatasi Eschericia coli, Klebsia pneumoniae, dan  Streptococcus pneumoniae.
·         Cefotaxime, 2 g tiap 8 jam, atau sefalosporin generasi ketiga lainnya dianggap sebagai obat terpilih.
·         Ofloxacin oral merupakan alternatif biaya rendah untuk terapi intravena.
·         Terapi fluoroquinolone jangka pendek bisa dipertimbangkan pada pasien SBP dengan ascites rendah-protein (<1 g/dl), hemorrhage variceal, atau SBP sebelumnya.

HEPATIC ENCELOPATHY
Tabel 19-4 menggambarkan target perawatan untuk HE.
·         Pendekatan pertama untuk perawatan HE adalah identifikasi semua faktor pencetus. Faktor-faktor pencetus dan alternatif terapi pada Tabel 19-5.
Tabel 19-4
Tabel 19-5
·         Pendekatan perawatan termasuk : (1) pengurangan konsentrasi amonia darah dengan pembatasan diet dan terapi obat yang ditujukan untuk inhibisi produksi amonia atau merangsang pengeluarannya (lactulose), (2) inhibisi reseptor γ-aminobutyric acid-benzodiazepine dengan flumazenil, dan (3) inhibisi neurotransmiter palsu dengan optimisasi keseimbangan asam basa.
·         Pendekatan untuk megurangi konsentrasi amonia darah termasuk:
  • Pada pasien dengan HE akut, membatasi asupan protein 10-20 g/hari sementara menjaga asupan kalori total. Asupan protein bisa dititrasi dengan meningkatkannya 10-20 g/hari tiap 3-5 hari sampai total 0,8-1 kg per hari. Pada HE kronik, batasan protein sampai 40g/hari.
  • Pada HE akut, laktulosa dimulai 20-60 ml tiap 1-2 jam sampai catharsis (pengeluaran) terjadi. Dosis lalu diturunkan 15-30 ml oral empat kali sehari dan dititrasi sehingga menghasilkan feses lunak, asam, dua-empat kali sehari.
  • Pada HE kronik, laktulosa dimulai pada 30-60 ml/hari dengan titrasi sampai titik akhir yang sama.
  • Terapi antibiotik dengan metronidazole atau neomycin sebaknya disimpan untuk pasien yang tidak merespon diet dan laktulosa.


Sumber : HandBooks Pharmacotherapy (terjemahan)

Wednesday, 24 December 2014


GANGUAN TIROID

Ø  DEFINISI
Ganguan tiroid mencakup berbagai kondisi penyakit yang mempegaruhi produksi atau sekresi hormon tiroid yang menyebabkan perubahan stabilities metabolic. Hipertiroid dan hipotiroid adalah sindroma klinik dan biokimia yang muncul dari peningkatan dan penurunan produksi hormon tiroid.

Ø  FISIOLOGI HORMON TIROID
·       Hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dibentuk  pada tiroglobulin, suatu glikoprotein besar yang disintesis dalam sel tiroid. Iodida inorganik memasuki sel folikel tiroid dan dioksidasi oleh tiroid peroksidase dan terikat  secara kovalen ke residu tirosin dari tiroglobulin.
·     Residu tiroid teriodinase, monoiodotirosin (MIT) dan diioditirosin (DIT) bergabung membentuk iodotironin dalam reaksi yang dikatalisa oleh tiroid peroksidase. DIT dan DIT membentuk T4, sedang MIT dan DIT membentuk T3.
·       Hormon tiroid dilepaskan ke aliran darah dengan proteolisis dalam sel tiroid. T4 dan T3 ditranspor ke aliran darah oleh tiga protein: thyroid-binding globulin (TBG), thyroid-binding prealbumun (TBPA), dan albumin. Hanya hormon tiroid bebas (tak terikat) yang mampu masuk ke sel, menimbulkan efek biologis, dan mengatur sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) dari kelenjar pituitari.
·      T4 disekresi hanya pada kelenjar tiroid, tapi <20% T3 diproduksi disana; mayoritas T3 dibentuk dari pemecahan T4 yang dikatalisa enzim 5’-monodeiodinase yang ditemukan di jaringan perifer. T3 sekitar tiga sampai lima kali lebih aktif dari T4.
·       T4 bisa juga bereaksi dengan 5’-monodeiodinase membentuk reverse T3 yang tidak mempunyai aktifitas biologis yang signifikan.
·     Produksi hormon tiroid diatur oleh TSH yang  disekresi pituitari anterior, yang lalu berada di bawah kontrol negative feedback oleh hormon tiroid bebas di sirkulasi dan  pengaruh positif dari hypothalamic thyrotropin-releasing hormone (TRH). Produksi hormon tiroid juga diatur oleh deiodinasi ekstratiroid T menjadi T3 yang bisa dipengaruhi nutrisi, hormon non-tiroid, obat-obatan dan penyakit.

Ø  TIROTOKSIKOSIS (HIPERTIROID)
PATOFISIOLOGI
·         Tirotoksikosis muncul ketika jaringan terpapar T4 atau T3, atau keduanya, berlebih.
·   Tumor pituitari-pensekresi-TSH melepaskan hormon yang aktif secara biologis yang tidak merespon kontrol feedback normal. Tumor bisa menghasilkan prolaktin atau hormon pertumbuhan; sehingga pasien bisa mengalami amenorrhea, galacthorrea atau akromegali.
·        Pada penyakit Grave, hipertiroid muncul dari aksi thyroid-stimulating antibodies (TSAb) terhadap reseptor tirotropin pada permukaan sel tiroid. Antibodi Imunoglobulin G (IgG) ini terikat ke reseptor dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dengan cara yang sama dengan TSH.
·        Suatu nodule tiroid otonom (toxic adenoma) adalah massa tiroid terpisah yang kerjanya bebas dari kontrol pituitari. Hipertiroid biasanya muncul dengan nodule lebih besar (yaitu, dengan diameter >4 cm).
·    Pada goiter (gondok) multinodular (penyakit Plummer), folikel dengan fungsi otonom tinggi berada diantara folikel normal atau bahkan folikel yang tidak berfungsi. Tirotoksikosis terjadi ketika folikel otonom menghasilkan hormon tiroid lebih banyak dari yang dibutuhkan.
·    Tiroiditis subakut yang sangat nyeri (DeQuervain) dipercaya disebabkan invasi viral pada parenkim tiroid.
·         Tiroiditis tanpa rasa sakit (‘sunyi’, limfositik, postpartum) adalah penyebab umum tirotoksikosis; etiologinya masih belum dipahami dan bisa jadi heterogen.
·         Tirotoksikosis factia adalah hipertiroid yang dihasilkan oleh konsumsi hormon tiroid eksogen. Ini bisa terjadi ketika hormon tiroid digunakan untuk indikasi yang tidak sesuai, ketika dosis berlebih digunakan, atau ketika digunakan secara rahasia oleh pasien.
·       Amiodarone bisa merangsang tirotoksikosis atau  hipotiroid. Agen ini menghambat 5’-deiodinase tipe I, menyebabkan pengurangan konversi T4 menjadi T3, dan pelepasan iodin dari obat bisa menyebabkan kelebihan iodin. Amiodarone juga menyebabkan tiroiditis desktruktif dengan hilangnya tiroglubulin dan hormon tiroid.

TAMPILAN KLINIK
·         Simtom tirotoksikosis termasuk gugup, emosi labil, mudah pingsan, tidak tahan terhadap panas, turunnya berat bersamaan dengan peningkatan nafsu makan, peningkatan frekeuensi pergerakan intestinal, palpitasi (=denyut jantung yang cepat dan tidak teratur), kelemahan pada otot proksimal (bisa terlihat saat menaiki tangga atau bangkit dari posisi duduk), dan menstruasi tidak teratur serta kuantitasnya kecil.
·         Tanda fisik tirotoksikosis bisa termasuk rasa hangat, kulit lembab dan kondisi rambut yang tidak biasanya bagus; lepasnya ujung kuku tangan (onycholysis); retraksi (tertarik) kelopak mata dan kelopak mata atas masuk ke dalam rongga jika memandang ke bawah (lid lag); takikardi sewaktu istirahat; tekanan pulsa yang melebar, dan murmur (suara pelan, bisikan) dari ejeksi sistolik; terkadang ginekomasti pada pria; getaran pada lidah yang terjulur dan tangan yang direntangkan; dan reflek tendon dalam yang hiperaktif.
·  Penyakit Grave manifestasinya berupa hipertiroid, pembesaran difus tiroid, dan temuan ekstratiroidal exophthalmos (= gerakan bola mata abnormal), pretibial myxedema, dan thyriod acropachy. Kelenjar tiroid biasanya membesar secara difus, dengan permukaan halus dan konsistensi dari lunak sampai keras. Pada penyakit yang parah, bisa dirasakan getaran melalui stetoskop pada kelenjar.
·     Pada tiroiditis subakut, keluhan pasien akan  sakit yang parah pada area tiroid, seringkali menyebar ke telinga di sisi yang sama. Demam ringan umum terjadi, dan terlihat tanda sistemik serta simtom tirotoksikosis. Kelenjar tiroid terasa padat lunak pada pemeriksaan fisik.
·      Tiroiditis ‘sunyi’ mempunyai rangkaian trifasik yang meniru tiroiditis subakut. Kebanyakan pasien  merasakan simtom tirotoksik ringan; retraksi kelopak mata dan lid lag terjadi tapi exophthalmos tidak. Kelenjar tiroid bisa membesar secara difus, tapi pelunakan tiroid tidak terjadi.
·         ‘Badai’ tiroid adalah kondisi darurat yang mengancam jiwa yang ditandai dengan tirotoksikosis parah, demam tinggi (seringkali >1030F), takikardi, takipnea (=bernafas dengan  sangat cepat), dehidrasi, delirium, koma, mual, muntah, dan diare. Faktor pencetus termasuk infeksi, trauma, operasi, perawatan dengan iodine radioaktif, dan penghentian obat antitiroid.

DIAGNOSA
·         Peningkatan radioactive iodine uptake, RAIU (asupan iodin radioaktif) merupakan indikasi hipertiroid sejati; kelenjar tiroid pasien memproduksi T4, T3, atau keduanya (RAIU normal 10-30%) berlebih. Sebaliknya, RAIU rendah mengindikasikan bahwa hormon tiroid berlebih bukan merupakan konsekuensi dari hiperfungsi kelenjar tiroid.
·         Hipertiroid yang diinduksi TSH didiagnosa dengan adanya hipermetabolisme perifer, pembesaran difus kelenjar tiroid, peningkatan hormon tiroid bebas, dan peningkatan konsentrasi serum imunoreactif TSH. Karena kelenjar pituitari sangat sensitif bahkan terhadap peningkatan kecil dari T4, TSH yang terdeteksi pada pasien tirotoksik mengindikasikan produksi TSH yang tidak semestinya.
·         Adenoma pituitari-pensekresi-TSH didiagnosa dengan kurangnya respon terhadap stimulasi TRH, peningkatan jumlah TSH α-subunit, dan pencitraan radiologi.
·         Pada tirotoksik penyakit Grave, ada peningkatan secara umum pada laju produksi hormon dengan peningkatan T3 yang tidak proporsional dengan T4 (Tabel 18-1). Kejenuhan TBG meningkat karena peningkatan serum T4 dan T3, yang dtandai dengan peningkatan asupan resin T3. Sebagai hasil, konsentrasi T4bebas, T3bebas dan index T3 dan T4 bebas meningkat bahkan lebih tinggi serum T4 total yang terukur, dan konsentrasi T3. Jumlah TSH tidak terdeteksi karena negative feedback oleh peningkatan level hormon tirois di pituitari. Diagnosa tirotoksikosis dikonfirmasi oleh pengukuran konsentrasi serum T4, asupan resin T3 (atau T4 bebas), dan TSH. Peningkatan RAIU 24 jam (diperoleh pada individu yang tidak hamil) membuktikan bahwa kelenjar tiroid menyalahgunakan iodin untuk memproduksi hormon tiroid ketika pasien tirotoksik.
·         Toxic adenoma bisa menyebabkan hipertiroid dengan nodula yang lebih besar. Karena ada banyak peningkatan serum T3 dari nodul otonom, level T3 harus diukur untuk memastikan toksikosis T3 bukan merupakan penyebab jika level T4 normal. Setelah pembuktian (menggunakan radioiodine scan) toxic thyroid adenoma mengumpulkan iodin lebih banyak dari jaringan disekitarnya, fungsi independen dibuktikan dengan kegagalan nodule otonom untuk menurunkan asupan iodin selama pemberian T3 eksogen.
·         Pada goiter multinodula, thyroid scan akan menunjukkan daerah kecil jaringan tiroid yang berfungsi otonom.
Tabel 18-1
·         RAIU yang rendah mengindikasikan bahwa hormon tiroid berlebih bukan merupakan konsekuensi hiperfungsi kelenjar tiroid. Ini bisa dilihat pada tiroiditis subakut, tiroiditis ‘sunyi’, struma ovarii, kanker folikular, dan konsumsi hormon troid eksogen.
·         Pada tiroiditis subakut, uji fungsi tiroid umumnya melakukan rangkaian trifasik pada penyakit ini. Awalnya, level serum tiroksin naik karena pelepasan hormon tiroid preformed (belum terbentuk sempurna) dari folikel yang hancur. RAIU 24 jam selama waktu ini adalah <2% karena inflamasi tiroid dan supresi TSH oleh peningkatan level tiroksin. Dengan perjalanan penyakit, cadangan hormon intratiroidal habis, dan pasien menjadi sedikit hipotiroid dengan peningkatan TSH yang sesuai. Selama fase pemulihan, cadangan hormon tiroid kembali normal dan peningkatan serum TSH secara bertahap turun ke normal.
·         Selama fase tirotoksik dari tiroiditis ‘sunyi’ RAIU 24 jam ditekan sampai <2%. Antibodi antitiroglobulin dan  antimikrosomal meningkat pada >50% pasien.
·         Tirotoksikosis factia bisa dicurigai pada pasien tirotoksik tanpa ophthalmopathy infiltratif atau pembesaran tiroid. RAIU rendah karena fungsi kenjar tiroid ditekan oleh hormon tiroid eksogen. Pengukuran plasma tiroglobulin menunjukkan jumlah yang sangat kecil.

HASIL YANG DIINGINKAN
Target terapi untuk hipertiroid adalah menormalkan produksi hormon tiroid; mengurangi simtom dan konsekuensi jangka panjang; dan memberikan terapi individual berdasar tipe dan keparahan penyakit, usia pasien dan kelamin, adanya kondisi non-tiroid, dan respon terhadap terapi sebelumnya.
PERAWATAN (TABEL 18-2)
Pengobatan Antitiroid
Thiourea (Thionamide)
·         Propylthiouracil (PTU) dan  methimazole (MMI) mem-block sintesis hormon tiroid dengan inhibisi sistem enzim peroksidase dari kelenjar tiroid, sehingga mencegah oksidasi iodida dan berkutnya penyertaan membentuk iodotirosin dan akhirnya iodotironin (‘organifikasi’), dan dengan inhibisi penggabungan MIT dan DIT membentuk T4 dan T3. PTU (tapi bukan MMI) juga meng-inhibit perubahan perifer dari T4 menjadi T3.
·         Contoh dosis awal termasuk PTU 300-600 mg sehari (biasanya dalam tiga sampai empat dosis terbagi) atau MMI 30-60 mg sehari dalam tiga dosis terbagi. Terdapat bukti bahwa kedua obat bisa diberikan dalam dosis harian tunggal.
·         Perbaikan pada simtom dan abnormalitas laboratorium semestinya muncul dalam 4-8 minggu, sewaktu dosis bisa diturunkan menjadi dosis penjagaan. Perubahan dosis sebaiknya dilakukan tiap bulan karena T4 endogen akan mencapai kondisi tunak dalam interval ini. Dosis penjagaan harian adalah PTU 50-300 mg dan MMI 5-30 mg.
·         Terapi obat antitiroid sebaiknya dilanjutkan sampai 12-24 bulan untuk memicu remisi jangka panjang.
·         Pasien sebaiknya diawasi tiap 6-12 bulan setelah remisi. Jika terjadi serangan ulang, terapi alternatif dengan radioactive iodine (RAI) disukai sebagai rangkaian obat antitiroid kedua, karena terapi lanjutan biasanya jarang memicu remisi.
Tabel 18-2
·         Efek samping minor termasuk pruritic maculopapular, arthralgia (= sakit pada persendian), demam, dan lukopenia ringan (hitung darah putih <4000/mm3). Thiourea alternatif bisa dicoba pada situasi ini, tapi cross-sensitivity (reaksi sensitivitas antar obat) terjadi pada 50% pasien.
·         Efek samping mayor termasuk agranolusitosis (dengan demam, merasa lemah, gingivitis, infeksi oropharyngeal, dan hitung granulosit <250/mm3), anemia aplastik, sindroma seperti-lupus, polymyositis (= kondisi yang ditandai inflamasi dan degenerasi dari otot skelet), intoleransi saluran cerna, hepatotoksisitas, dan hipoprotrombinemia. Agranulositosis, jika terjadi, selalu terjadi dalam tiga bulan pertama terapi; pengawasan rutin tidak dianjurkan karena onset yang mendadak. Pasien yang telah merasakan efek samping mayor terhadap salah satu thiourea sebaiknya tidak beralih ke obat lain karena cross-sensitivity (reaksi sensitivitas antar obat).
Iodida
·         Iodida sebenarnya menghalangi pelepasan hormon tiroid, inhibit biosintesis hormon tiroid dengan menghalangi penggunaan iodida intratiroid, dan menurunkan ukuran dan vaskularitas kelenjar.
·         Perbaikan simtom terjadi dalam 2-7 hari sejak memulai terapi, dan konsentrasi serum T3  dan T4 bisa berkurang selama beberapa minggu.
·         Iodida sering digunakan sebagai terapi tambahan untuk menyiapkan pasien dengan penyakit Grave sebelum menjalani operasi, untuk menginhibisi pelepasan hormon tiroid dan dengan cepat mencapai keadaan euthyroid (= kelenjar tiroid berfungsi normal) pada pasien yang sangat tirotoksik dengan dekompensasi kardia, atau untuk meng-inhibit pelepasan hormon tiroid setelah terapi RAI.
·         Kalium iodida tersedia sebagai larutan jenuh (SSKI, 38 mg iodida per tetes) atau larutan Lugol, mengandung 6,3 mg iodida per tetes (Tabel 18-2).
·         Dosis awal tipikal SSKI adalah 3-10 tetes tiap hari (120-400 mg) dalam air atau jus. Ketika digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum operasi, sebaiknya diberikan 7-14 hari sebelum operasi.
·         Sebagai pelengkap RAI, SSKI sebaiknya tidak digunakan sebelum tapi sebaiknya 3-7 hari setelah perawatan dengan RAI sehingga radioactive iodine bisa terkumpul di tiroid.
·         Efek samping termasuk reaksi hipersensitivitas (kulit kemerahan, drug fever, rhinitis [= inflamasi membran mukosa hidung], conjunctivitis); pembengkakan kelenjar ludah, ‘iodisme’ (rasa logam, mulut dan tenggorokan terbakar, nyeri pada gigi dan gusi, simtom head cold, dan terkadang gangguan perut dan diare); dan ginekomasti.
Adrenergik blocker
·         β blocker tekah digunakan secara luas untuk mengurangi simom tirotoksik seperti palpitasi, cemas, tremor, dan tidak tahan panas. Agen ini tidak mempunyai efek pada tirotoksikosis perifer dan metabolisme protein dan tidak mengurangi TSAb atau mencegah ‘badai’ tiroid. Propanolol dan nadolol secara parsial menghalangi perubahan T4 menjadi T3, tapi kontribusinya kecil terhadap terapi keseluruhan.
·         Β blocker biasanya digunakan sebagai terapi tambahan dengan obat antitiroid, RAI, atau idodida dalam penanganan penyakit  Grave atau toxic nodule; pada persiapan sebelum operasi; atau pada ‘badai’ tiroid. β blocker adalah terapi primer hanya untuk tiroiditis dan hipertiroid yang diinduksi iodin.
·         Dosis propanolol yang dibutuhkan untuk mengurangi simtom adrenergik bervariasi, tapi dosis awal 20-40 mg empat kali sehari efektif untuk kebanyakan pasien (denyut jantun <90 denyutan per menit). Pasien lebih muda atau dalam kondisi lebih toksik bisa membutuhkan sampai 240-480 mg/hari).
·         β blocker dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, kecuali kelainan itu hanya karena takikardi (curah tinggi), dan pada pasien yang mengembangkan cardiomyopati dan gagal jantung. Efek samping lain termasuk mual, muntah, cemas, insomnia, lightheadedness, bradikardi, dan gangguan hematologi.
·         Simpatolitik yang bekerja sentral (seperti, clonidin) dan  antagonis Ca channel blocker  (seperti, diltiazem) bisa berguna untuk mengontrol simtom ketika dikontraindikasikan untuk β blocker.
Radioactive iodine
·         Natrium iodida 131 (131I) adalah cairan oral yang terkumpul di tiroid dan mengganggu sintesis hormon dengan masuk ke hormone tiroid dan tiroglobulin. Setelah periode beberapa minggu, folikel yang telah diambil RAI dan folikel disekitarnya mengalami nekrosis selular dan fibrosis jaringan interstitial.
·         RAI adalah agen pilihan untuk penyakit Grave, nodul otonom toksik, dan toxic multinodular goiter. Kehamilan merupakan kontraindikasi absolut untuk penggunaan RAI.
·         β blocker adalah terapi tambahan primer untuk RAI, karena bisa diberikan kapan saja tanpa perlu menyesuaikan dengan terapi RAI.
·         Pasien dengan penyakit kardia dan pasien lansia sering dirawat dengan thionamide sebelum RAI ablation (ablation = pengangkatan jaringan) karena hormon tiroid akan naik singkat setelah perawatan RAI karena pelepasan preformed hormon tiroid.
·         Obat-obat antitioid sebaiknya tidak rutin diberikan setelah RAI, karena penggunaannya dihubungkan dengan tingginya kejadian serangan hipertiroid setelah perawatan atau hipertiroid yang bertahan.
·         Jika iodida diberikan, sebaiknya diberikan 3-7 hari setelah RAI untuk mencegah interaksi dengan asupan RAI di kelenjar tiroid.
·         Target terapi adalah menghancurkan sel tiroid yang hiperaktif, dan dosis tunggal 4000-8000 rad menghasilkan kondisi euthyroid pada 60% pasien setelah 6 bulan atau kurang. Dosis kedua RAI sebaiknya diberikan 6 bulan setelah RAI pertama jika pasien tetap hipertiroid.
·         Hipotiroid umum terjadi setelah RAI. Efek samping akut, jangka pendek, termasuk pelunakan tiroidal ringan dan dysphagia (= kesulitan menelan). Terapi lanjutan jangka panjang belum terbukti meningkatkan resiko terbentuknya karsinoma tiroid, leukimia, atau defek kongenital.
Operasi
·         Pengangkatan kelenjar tiroid adalah perawatan pilihan untuk cold nodule yang sudah ada, goiter yang sangat besar, dan pasien yang dikontraindikasikan untuk thionamide (yaitu, alergi atau efek samping) dan RAI (yaitu, kehamilan).
·         Jika direncanakan tiroidektomi, PTU atau methimazole biasanya diberikan sampai pasien euthyroid secara biokimia (biasanya 6-8 minggu), diikuti penambahan iodida (500 mg.hari selama 10-14 hari) sebelum operasi untuk menurunkan vaskularitas kelenjar. Levothyroxine bisa ditambahkan untuk menjaga kondisi euthyroid sementara thidinamide dilanjutkan.
·         Propanolol telah digunakan selama beberapa minggu sebelum operasi dan 7-10 hari setelah operasi untuk menjaga denyut <90 denyut per menit. Kombinasi pretreatment dengan propanolol dan 10-40 hari kalium iodida juga telah diajukan.
·         Komplikasi termasuk serangan ulang hipertiroid atau hipertiroid yang bertahan (0,6-0,8%), hipotiroid (sampai 49%), hipoparatiroid (sampai 4%), dan gangguan pita suara (sampai 5%). Serangan hipotiroid yang sering membutuhkan terapi lanjutan.
Perawatan ‘Badai’ Tiroid
·         Terapi berikut sebaiknya segera dilakukan: supresi pembentukan dan sekresi hormon tiroid, terapi antiadrenergik, pemberian glukokortikoid, dan perawatan komplikasi terkait.
·         PTU dosis besar adalah thionamide pilihan karena mengganggu produksi hormon tiroid dan menghalangi perubahan T4 menjadi T3 di perifer.
·         Iodida, yang dengan cepat menghalangi pelepasan preformed hormon tiroid, sebaiknya diberikan setelah terapi PTU dimulai untuk menginhibit penggunaan iodine oleh kelenjar yang hiperaktif.
·         Terapi pendukung, termasuk asetaminofen sebagai antipiretik (aspirin dan NSAID lain bisa menggantikan hormon tiroid yang terikat), penggantian cairan dan elektrolit, sedatif, digitalis, antiaritmia, insulin, dan antibiotik sebaiknya diberikan sesuai indikasi. Plasmapheresis (= pemindahan plama dari darah) dan dialisis peritoneal telah digunakan untuk mengeluarkan hormon berlebih pada pasie yang tidak merespon terapi konservatif.
·         Tabel 18-3

EVALUASI HASIL TERAPI
·         Setelah terapi (thionamide, RAI, atau operasi) untuk hipotiroid telah dimulai, pasien sebaiknya dievaluasi tiap bulan sampai mencapai kondisi euthyroid.
·         Tanda klinik berlanjutnya tirotoksikosis atau perkembangan hipotiroid sebaiknya diperhatikan.
·         Setelah penggantian tiroksin dimulai, target adalah mempertahankan level tiroksin bebas dan konsentrasi TSH dalam rentang normal. Setelah didapat dosis tiroksin yang tetap, pasien bisa dievaluasi tiap 6-12 bulan.

Ø  HIPOTIROID
PATOFISIOLOGI
·         Mayoritas pasien hipotiroid mempunyai kegagalan kelenjar tiroid (hipotiroid primer), penyebab termasuk tiroiditis otoimun kronik (panyakit Hashimoto), iatrogenic (= penyakit karena pemeriksaan atau perawatan medis) hipotiroid, defisiensi idine, defek enzim, hipoplasia tiroid, dan goitrogen.
·         Kegagalan pituitari (hipotirid sekunder) adalah sebab tidak umum yang muncul dari tumor pituitari, terapi operasi, radiasi pituitari eksternal, nekrosis pitutari setelah melahirkan, tuberkulosis, histiocytosis, dan mekanisme otoimun.


TAMPILAN KLINIK
·         Manifestasi hipotiroid pada orang dewasa termasuk kulit kering, tidak tahan dingin, berat bertambah, konstipasi, kelemahan, lethargy (= kondisi patologi tidur berlebih atau tidak responsif), fatigue (= merasa sangat capai), depresi, dan ucapan yang lambat dan kasar. Pada anak, defisiensi hormn tiroid manifestasi bisa berupa retardasi mental.
·         Tanda fisik termasuk kulit dan rambut yang kasar, kulit dingin, periorbital puffiness, bradikardi, kejang otot, myalgia (=nyeri otot), dan kekakuan. Sindrom neurologik reversibel seperti carpal tunnel syndrome (=tangan dan jari terasa sangat nyeri karena tekanan pada saraf, salah satunya disebabkan gerakan berulang dalam waktu yang lama), ploineuropati, dan disfungsi serebral juga bisa terjadi. Umum terjadi objective weakness (dengan otot proksimal lebih terpengaruh dari otot distal) dan relaksasi yang lambat dari tendon dalam.
·         Kebanyakan pasien dengan hipotiroid sekunder mempunyai tanda klinik gangguan kerja pituitari seperti menstruasi tidak normal dan menurunnya libido, atau bukti adanya adenoma pituitari seperti defek penglihatan, galacthorrea, atau tampilan akromegali.
·         Koma myxedema adalah tahap akhir hipotiroid yang tidak ditangani dan manifestasinya berupa hipotermia, simtom hipotiroid tahap akhir, dan perubahan sensori yang berkisar dari delirium sampai koma. Penyakit yang tidak dirawat dihubungkan dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

DIAGNOSIS
·         Peningkatan TSH adalah bukti pertama dari hipotiroid primer. Banyak pasien mempunyai level T4dalam rentang normal (hipotiroid kompensasi) dan beberapa, jika ada, simtom hipotiroid. Dengan perjalanan penyakit, konsentrasi T4 jatuh di bawah normal. Konsentrasi T3 sering dijaga di tingkat normal meski T4 rendah. RAIU bukan merupakan  uji yang berguna pada evaluasi hipotiroid.
·         Hipotiroid sekunder bisa dicurigai pada pasien  dengan penurunan jumlah tiroksin dan jumah TSH yang rendah atau normal.

HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan perawatan hipotiroid adalah menormalkan konsentrasi hormon tiroid di jaringan, mengurangi simtom, mencegah defisit neurologik pada bayi yang baru lahir dan anak, dan memulihkan abnormalitas biokimia pada hipertiroid.
PERAWATAN HIPOTIROID (TABEL 18-4)
·         Levotiroksin (L –tiroksin) adalah obat pilihan untuk penggantian hormon tiroid dan terapi supresif karena stabil secara kimia, relatif murah, bebas antigen, dan mempunyai potensi yang seragam; tetapi, semua sediaan tiroid komersial yang ada bisa digunakan.
·         Penggantian sediaan levotiroksin sebaiknya dilakukan dengan  hati-hati kecuali telah dicapai bioekivalensi.
·         Karena T3 (dan bukan T4) adalah bentuk aktif biologis, pemberian levotiroksin menghasilkan penumpukan hormon tiroid yang siap diubah menjadi T3.
·         Kolestiramin, kalsium karbonat, sucralfat, aluminium hidroksida, ferrous sulfate, sediaan kedelai, dan suplemen fiber bisa mengganggu absorpsi levotiroksin dari saluran cerna. Obat yang meningkatkan kliren T4 noniodinasi termasuk rifampin, carbamazepin, dan mungkin fenitoin. Amiodarone bisa menghalangi konversi T4 menjadi T3.
·         Pasien muda dengan penyakit yang sudah lama diidap atau pasien lebih tua tanpa penyakit kardia yang diketahui bisa memulai terapi dengan levotiroksin 50 μg sehari dan ditingkatkan menjadi 100 μg sehari setelah  1 bulan.
·         Dosis harian awal yang dianjurkan untuk pasien lebih tua atau mereka dengan penyakit kardiak adalah 25 μg/hari yang dititrasi dengan peningkatan 25 μg tiap bulan untuk mencegah stress pada sistem kardiovaskular.
·         Levotiroksin adalah obat pilihan pada wanita hamil, dan target perawatan adalah  mengurangi TSH sampai 1 mIu/l dan menjaga konsentrasi T4 bebas pada rentang normal.
Tabel 18-4
·         Pasien dengan hipotiroid subklinik dan peningkatan pada TSH (>10 mIu/l) dan titer TSAb yang tinggi atau sebelumnya menjalani perawatan dengan 131I bisa mendapat manfaat dari perawatan dengan levotiroksin.
·         Terapi supresif TSH dengan levotiroksin bisa juga diberikan pada pasien dnegan penyakit tiroid nodular dan pembesaran goiter, kepada pasien dengan riwayat iradiasi tiroid, dan untuk pasien dengan kanker tiroid.
·         Tiroid USP (atau tiroid terdesikasi/dihilangkan kandungan air) adalah produk dari hewan dengan stabilitas hormon yang tidak bisa diprediksi dan bisa antigenik pada pasien alergi. Merek generik murah bisa tidak bioekivalen.
·         Tiroglobulin adalah agen biologis terstandarisasi untuk membuat rasio T4:T3 2,5:1. agen ini lebih mahal dari ekstrak tiroid dan tidak mempunyai keuntungan klinik.
·         Liothyronine (T3 sintetik) memmpunyai potensi yang seragam tapi dengan efek samping kardia yang lebih tinggi, lebih mahal, dan sulit pengawasannya dengan uji laboratorium konvensional. Respon dimonitor dengan assay TSH.
·         Liotrix (T4:T3 dalam rasio 4:1) stabil secara kimia, murni, dan mempunyai potensi yang bisa diprediksi tapi mahal. Agen ini rasio terapinya rendah karena sekitar 35% T4 dirubah  menjadi T3 di perifer.
·         Dosis hormon tiroid berlebih bisa menyebabkan gagal jantung, angina pektoris, dan infark miokardia. Reaksi  alergi atau idiosinkrasi bisa terjadi dengan produk alami dari hewan seperti tiroid terdesikasi dan tiroglobulin, tapi sangat jarang dengan produk sintetis yang digunakan saat ini. Hormon tiroid esogen berlebih bisa mengurangi densitas tulang dan meningkatkan resiko patah.

PERAWATAN KOMA MYXEDEMA
·         Untuk mencegah mortalitas diperlukan terapi segera dan agresif dengan tiroksin IV bolus, 300-500 μg.
·         Terapi glukokortikoid dengan hidrokortison IV, 100 mg tiap 8 jam, sebaiknya diberikan sampai supresi adrenal teratasi.
·         Sadar, turunnya konsentrasi TSH, dan tanda vital yang normal diharapkan terjadi dalam 24 jam.
·         Dosis penjagaan tiroksin umumnya 75-100 μg sampai pasien stabil dan terapi oral dimulai.
·         Terapi pendukung harus dimulai untuk mempertahankan ventilasi yang cukup, kondisi euglisemia, tekanan darah, dan suhu tubuh. Kelainan seperti sepsis dan infark miokardia harus didiagnosa dan dirawat.
EVALUASI HASIL TERAPI
·         Konsentrasi serum TSH adalah parameter pengawasan paling sensitif dan spesifik untuk penyesuaian dosis levotiroksin. Konsentrasi mulai jatuh dalam jam dan biasanya akan normal dalam 2-6 minggu.
·         Konsentrasi TSH dan T4 sebaiknya diperiksa tiap 6 minggu sampai kondisi eutiroid tercapai. Peningkatan TSH menunjukkan penggantian yang kurang. Konsentrasi serum T4 bisa berguna untuk mendeteksi ketidak patuhan, gangguan absopsi, atau perubahan pada bioekivalensi produk levotiroksin.

·         Pada pasien dengan hipotiroid karena kegagalan hipotalamik atau pituitari, perbaikan sindrom klinik dan pemulihan serum T4 ke rentang normal merupakan satu-satunya kriteria yang ada untuk memperkirakan dosis penggantian levotiroksin yang sesuai.