This is default featured slide 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat

Sunday, 26 May 2013

DRUG MANAGEMENT CYCLE AND THERAPEUTIC CYCLE


DRUG MANAGEMENT CYCLE

Drug management cycle pada dasarnya merupakan suatu prosedur tahapan pengelolaan obat agar ketersediaan suatu obat dapat berjalan dengan baik   yang dapat mewujudkan  tercapainya keefektifan serta efisien sehingga  obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu. Drugs management cycle berperan dalam ketersediaan suatu obat di rumah sakit, khususnya di instalasi rawat jalan.
Drug management cycle terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
a.        Use
b.      Selection
c.       Procurement
d.       Distribution.
Keempat hal diatas didukung oleh suatu management support yang terdiri dari organization (organisasi), financing (keuangan), information management (sistem informasi manajemen) dan human resources (sumber daya manusia). Setiap tahap pada drug management cycle tersebut harus didukung oleh management support yang ada sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien, dan keempat unsur tersebut harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


a.       Use
Use pada drugs management cycle meliputi : diagnozing, prescribing, dspensing dan proper consumtion by the patient. peranan apoteker dalam hal ini adalah dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain untuk  menjamin  dan memastikan bahwa pasien menerima obat yang rasional, tepat dengan kebutuhan klinis  pasien dengan dosis yang sesuai dengan kebutuhan dosis individual untuk jangka waktu yang sesuai dan biaya yang paling rendah. Penggunaan obat yang rasional diharapkan dapat mengurangi angka kejadian medication error dan dapat membuat biaya yang ditanggung pasien menjadi seminimal mungkin khususnya terkait dengan biaya obat.  Dalam use ini, perananan penting apoteker adalah terlibat dalam dispensing dan proper consumtion by the patient (pemilihan obat yang paling tepat untuk pasien), yang tahapan awalnya adalah skrining resep. Pemberian obat yang tidak rasional berdampak kepada penggunaan obat yang tidak tepat, sehingga di khawatirkan menimbulkan efek terhadap kualitas terapi yang dihasilkan, permasalahan yang paling sering dalam pemberian obat yang tidak rasional adalah polifarmasi, sehingga diperlukan langkah-langkah untuk mengetahui apakah obat yang digunakan rasional atau tidak.
1.      Mengidentifikasi masalah
2.      Memahami penyebab
3.      Memcatat kemungkinan terjadinya interaksi
4.      Mengkaji ulang informasi yang tersedia
5.      Memilih interaksi
6.      Memantau dan mendata ulang kerja obat.
Adapun,strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai obat yang rasional diklasifikasikan menjadi beberapa cara:
1.      Strategi edukasi, meliputi :  Pelatihan penulisan resep (seminar, workshop), mencetak bahan (literature klinis dan Koran, guidelines terapi, formulasi obat), pendekatan berdasarkan pertemuan langsung.
2.      Strategi manajerial meliputi :  Memulai pemilihan, pengadaan dan distribusi, memulai peresepan dan penyerahan obat, pembiayaan ( mengatur harga
3.      Strategi regulasi,meliputi : Registrasi obat, daftar obat terbatas, pembatasan resep, pembatasan penyerahan obat.
b.      Selection
Selection  dalam drugs management cycle  pada dasarnya adalah pemilihan obat di instalasi rumah sakitsampai ke revisi formularium.
        Proses kegiatan selection meliputi : mereview masalah-masalah kesehatan, mengidentifikasi pemilihan treatment yang paling tepat, pemilihan dosis untuk masing-masing individu dan bentuk sediaan yang paling tepat serta memastikan bahwa obat yang dibutuhkan oleh dokter dan pasien selalu tersedia di instalasi farmasi di rumah sakit.
c.       Procurement
Procurement, kegiatannya meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan serta penyimpanan obat dalam rumah sakit.  Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan. Ada beberapa kunci pengadaan obat yang baik yaitu, dengan review data obat yang akan diadakan, kualifikasi dan monitoring supplier, penawaran yang bersaing, dan jumlah obat yang dipesan berdasarkan kebutuhan dilapangan,dalam hal ini adalah kebutuhan permintaan suatu obat di rumah sakit yang dapat dipercaya. Selain itu, juga diperlukan adanya pembayaran dan pengelolaan dana yang baik dan efisien. Ada prosedur tertulis dan transparan, jaminan kualitas produk, pemeriksaan tahunan dengan hasil dilaporkan dan adanya laporan rutin pelaksanaan pengadaan obat. Cara pengadaan suatu obat dapat dilakukan berbagai cara yaitu : Produksi sediaanfarmasi (produk steril dan non steril), sumbangan atau droping atau hibah, Kerjasamaoperasional, Penyewaan, Pembelian, bisa melalui tender (oleh panitia pembelian barang farmasi) maupun secara langsung dari pabrik, distributor, maupun pedagang besar farmasi.
d.      Distribution
Pendistribusian obat merupakan suatu proses penyerahan obat setelah sediaan disiapkan oleh unit Instalasi Farmasi Rumah Sakit sampai dengan dihantarkan kepada perawat, dokter, atau profesi kesehatan lain untuk didistribusikan kepada pasien.
Ada 4 elemenutamadalamsistemdistribusi :
a) Desain sistem (geografis atau cakupan populasi, jumlah tingkatan dalam sistem, dan derajat sentralisasi)
b) Sistem informasi (kontrol persediaan, catatan dan formulir, pemakaian  laporan, aliran informasi)
c)      Penyimpanan (pemilihan tempat, desain bangunan, sistem penanganan bahan)
d)Pengiriman (pemilihan transportasi, pengadaan kendaraan, pemeliharaan kendaraan, dan jadwal pengiriman).
Syarat-syarat distribusi yang dirancang dan dikelola dengan baik
1.    Menjaga pasokan obat agar tetap konstan
2.    Menyimpan obat dalam kondisi baik selama proses distribusi
3.    Meminimalkan kerugian obat dikarenakan pembusukan dan kadaluwarsa
4.    Menyimpan catatan inventarisasi secara akurat.
5.    Merasionalkan tempat penyimpanan obat.
6.    Memanfaatkan sumber daya transportasi yang ada seefisien mungkin.
7.    Mengurangi pencurian dan penipuan
8.    Memberikan informasi mengenai perkiraan kebutuhan obat.
  
THERAPEUTIC CYCLE

Therapeutic cycle merupakan sebuah siklus untuk mencapai terapi pengobatan yang efektis, efisien dalam peningkatan efektifitas terapi yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien, Therapeutic cycle merupakan bagian yang tidak mungkin terlepas dari drug management cycle. kegiatan  Therapeutic cycle meliputi : pelaporan, pengendalian, pemusnahan dan pencatatan, dimana keempat unsur tersebut didukung oleh management support antara lain : organisasi, Finansial, sistem informasi , dan sumber daya manusia.
pada proses pelaporan, kegiatan yang dilakukan melingkupi pengadaan suatu obat, yang sebelumnya telah direncanakan dan disesuaikan dengan kebutuhan obat terkait dengan kegunaannya dalam terapi pasien. Pada tahap pengendalian, obat yang dilaporkan kemudiaan akan dilakukan proses penerimaan yang kemudian akan masuk dalam gudang penyimpanan dan selanjutnya akan mengalami proses distribusi hingga sampai ke tangan para tenaga medis untuk selanjutnya dapat digunakan untuk terapi pasien, pada tahap pengawasan obat, prosesnya yang melingkupi adalah pemusnahan dan distribusi obat, kedua proses ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya penyimpangan yang terjadi dalam penyalah gunaan obat terutama dalam proses distribusi, serta pemusnahan untuk obat-obat yang kadaluarsa, proses yang terakhir adalah dokumentasi atau pencatatan, dimana hasil dari proses dispensing dan pemilihan obat dapat dilakukan evaluasi untuk dilakukan monitoring terkait pemilihan obat yang digunakan sebagai terapi, sehingga dapat dketahui serta dapat mengatasi apabila kemungkina obat yang diberikan memberikan hasil efek yang tidak diharapkan.





Saturday, 4 May 2013

BERBURU JURNAL ILMIAH DI INTERNET

Sumber : http://alexmungme.blogspot.com/2011/01/berburu-jurnal-ilmiah-di-internet.html

Internet adalah sumber utama referensi ilmiah yang up to date. Untuk Anda yang membutuhkan referensi jurnal ilmiah online, berikut ini beberapa situs yang layak Anda coba : 

• http://scholar.google.com/ : Stand on The Shoulders of Giants. Inilah kata-kata yang ‘dijanjikan’ Google Scholar, sebuah sub direktori dan aplikasi dari Google Inc. yang menyediakan ratusan ribu informasi tentang literatur pendidikan. Anda bisa mencari berbagai macam electronic books (ebook), paper, tesis, jurnal, artikel dan literatur ilmiah hanya dengan memasukkan kata kunci yang tepat di Google Scholar. Bagaikan berdiri di pundak raksasa, Anda bisa melihat pemandangan seluruh kota di bawah Anda, alias semua jurnal ilmiah yang bisa diakses di jagad dunia maya.

• http://search2.computer.org/advanced/simplesearch.jsp : Bagian dari IEEE Computer Society Digital Library. Cari jurnal komputer di sini, baik yang berbayar maupun yang gratis. Untuk yang gratis, Anda bisa men-download file-file PDF-nya. Untuk yang berbayar, Anda hanya bisa membaca abstraknya.

• http://highwire.stanford.edu/ : Sebuah divisi dari Perpustakaan Universitas Stanford. Highwire memiliki jutaan koleksi literatur ilmiah dari berbagai macam bidang studi. Saat tulisan ini dibuat (awal April 2008), Highwire memiliki 1128 jurnal dan 4.726.272 artikel yang diterbitkan oleh lebih dari 140 penerbit. Sangat membantu Anda yang ingin mendapatkan referensi ilmiah gratis dan berbayar yang cukup komprehensif. Oya, jangan lupa daftar dulu untuk mendapatkan full access.

• http://sciencedirect.com/ : sebuah situs ilmiah yang cukup populer di kalangan peneliti. Untuk men-download jurnal yang ada di sini, Anda harus berlangganan. Namun, beberapa universitas di Indonesia sudah memiliki akses institusional yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh civitas akademika universitas tersebut. Silahkan konfirmasikan ke universitas Anda.

• http://www.byte.com : Free online computer articles. Memuat berbagai macam artikel komputer dari pakar-pakar komputer di seluruh dunia.

• http://www.scholarlyexchange.org/hosted.html : Situs tentang jurnal-jurnal ilmu sosial, yang dihosting secara free. Anda bisa juga memasukkan jurnal-jurnalAnda di sini untuk dipublikasikan di internet, tentu setelah memenuhi syarat dan ketentuan dari pengelola ScholarlyExchange.

• http://www.doaj.org/ : Directory of Open Access Journals. Sebuah situs yang menyediakan jurnal-jurnal ilmiah yang terpercaya dan bisa diakses secara gratis. Pada saat tulisan ini dibuat (awal April 2008), DOAJ mengklaim mereka memiliki 3310 jurnal dan 1096 diantaranya bisa diakses melalui mesin pencari yang mereka sediakan. Mereka juga menyediakan 177.199 artikel ilmiah dalam situs mereka.

• http://www.freebooks4doctors.com/ : Situs ini memuat informasi tentang buku dan jurnal kedokteran. Beberapa diantaranya juga bisa didownload secara gratis. Jika Anda adalah mahasiswa fakultas kedokteran atau biologi, bisa mencoba situs ini.

• http://www.bioline.org.br/journals : Kumpulan jurnal-jurnal gratis tentang kedokteran, farmasi, ilmu kesehatan, ilmu lingkungan, virologi dan zoologi. Artikel dan jurnal ilmiah disediakan dalam bentuk HTML. Pada beberapa artikel disediakan pula bentuk PDF-nya.

• http://www.arsip.lipi.go.id/ : Mirror Server for Scientific Data. Sebuah list direktori mirror yang dibuat LIPI untuk berbagai macam referensi online data sains dan teknologi. Mencakup berbagai macam bidang studi keteknikan dan ilmu alam.

• http://www.lib.upm.edu.my/onlinejour.html : kumpulan link-link jurnal online dari Universiti Putra Malaysia. Memuat banyak referensi situs ilmiah untuk berbagai macam bidang studi.

• http://ocw.mit.edu/ : Open Course Ware, sebuah situs free e-learning yang dibuat oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT). Mencakup beberapa ilmu keteknikan, ilmu alam, dan beberapa ilmu sosial.

• http://jcmc.indiana.edu : sebuah web milik Indiana University yang berisi jurnal berbasis web tentang riset di bidang ilmu sosial yang menggunakan komputer sebagai salah satu media risetnya.

• http://www.library.ucsf.edu/collres/journals/ : sebuah web milik University of California, San Francisco yang berisi katalog jurnal-jurnal online.

• http://lib.ugm.ac.id/exec.php?app=site&act=jurnal : katalog link direktori jurnal ilmiah milik Universitas Gadjah Mada.

• http://www.pubmedcentral.nih.gov/ : sebuah situs yang memuat arsip jurnal gratis di bidang ilmu alam dan biomedis.

• http://libra.msra.cn/ : situs yang memuat daftar jurnal ilmiah tentang komputer. Dibuat oleh Microsoft Corporation.

• http://portal.acm.org/portal.cfm : portal jurnal komputer berbayar. Untuk bisa menjadi member, Anda bisa mendaftar sebagai student member dengan biaya $42 per tahun.

Selain yang sudah disebutkan, terkadang jurnal-jurnal ilmiah bisa didapatkan di homepage pribadi seorang profesor. Jika Anda senang berselancar menjelajahi situs-situs universitas tingkat dunia, Anda akan menjumpai web pribadi masing-masing profesor dan tidak sedikit profesor yang berbaik hati berbagi hasil karyanya yang berupa jurnal dan artikel yang nggak kalah keren dengan jurnal berbayar.
Selamat berburu jurnal ilmiah !


Sumber : http://alexmungme.blogspot.com/2011/01/berburu-jurnal-ilmiah-di-internet.html

Friday, 3 May 2013

OSTEOPOROSIS


OSTEOPOROSIS

DEFINISI
Osteoporosis dicirikan oleh rendahnya massa tulang dan rendahnya kualitas jaringan tulang  sehingga menyebabkan fragilitas tulang dan peningkatan resiko patah tulang. WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan skor T. Skor T adalah jumlah standar deviasi dari rerata kerapatan massa tulang (bone mass density, BMD) untuk populasi normal muda. Massa tulang normal adalah mereka dengan skor T lebih besar dari –1, osteopenia –1 sampai –2,5 dan osteoporosis kurang dari –2,5.
Tiga kategori osteoporosis telah dijelaskan:
(1) postmenopausal osteoporosis  terutama mempengaruhi tulang trabekular setalah menopause
(2) osteoporosis terkait-usia sebagai akibat dari kehilangan tulang yang mulai terjadi sesaat setelah puncak massa tulang tercapai
(3) osteoporosis sekunder karena pengobatan dan penyakit tertentu yang mempengaruhi kedua tipe tulang.
PATOFISIOLOGI
Defisiensi estrogen meningkatkan resorpsi tulang di atas pembentukan. Faktor tumor nekrosis dan cytokines lain merangsang aktivitas osteoclastic. Pengurangan faktor pertumbuhan β terkait kehilangan estrogen juga merangsang aksi osteoklas.
Kehilangan tulang terkait-usia sebagai hasil dari peningkatan resorpsi tulang. Peningkatan apoptosis dari osteosit bisa menurunkan respon terhadap tekanan mekanis dan memperlambat perbaikan tulang. Penuaan juga meningkatkan resiko fraktur karena kondisi kesehatan, kelainan kognitif, pengobatan, kekurangan asupan kalsium, dan kekurangan asupan dan absorpsi vitamin D.
Osteoporosis karena obat bisa muncul dari glukortikoid sistemik (prednisone >7,5 mg/hari), penggantian (replacement) tiroid yang berlebihan, beberapa obat anti epilepsi, dan penggunaan heparin jangka panjang (>15.000 sampai 30.000 unit tiap hari untuk lebih dari 3-6 bulan).

CIRI KLINIK
Ciri umum adalah bertambah pendek, kifosis, lordosis, rasa sakit pada tulang, atau patah, terutama pada tulang belakang, pinggul, atau lengan bawah. Fraktur bisa terjadi setelah menekuk, mengangkat, atau jatuh. Patah tulang belakang yang paling sering, dan patah di banyak tempat bisa mengarah ke kifosis dorsal dan memperparah lordosis. Lepasnya tulang belakang jarang mengakibatkan kompresi spinal cord. Perubahan dinding dada bisa mengakibatkan komplikasi kardiovaskular dan paru.
Rasa sakit akut akibat patah biasanya selama 2-3 bulan. Rasa sakit bisa berupa rasa sakit yang dalam dekat tempat patah.

DIAGNOSA
Riwayat pasien harus didapatkan untuk mencari riwayat patah tulang sewaktu dewasa, kondisi  medis, operasi, dan kehadiran faktor resiko untuk osteoporosis.
- Faktor resiko genetik termasuk etnis Asia atau Kaukasia, riwayat keluarga untuk osteoporosis atau patah tulang, dan kerangka tubuh yang kecil (tinggi, kurus, indeks massa tubuh kecil).
- Gaya hidup dan faktor diet termasuk gaya hidup sedentary (banyak duduk) dengan latihan minimal, merokok, penggunaan alkohol berlebih, jarang terkena matahari, asupan kalsium rendah sepanjang hidupnya, intolerasnsi laktosa, asupan kafeine tinggi, asupan protein hewani tinggi, turunnya berat >10% setelah usia 50 tahun, dan anorexia nervosa.
- Faktor ginekologi termasuk menarche (dimulainya menstruasi) yang terlambat, operasi atau menopause yang lebih cepat, oophorecthomy (pengangkatan ovarium) tanpa terapi penggantian estrogen (estrogen replacement theraphy, ERT), nulliparity, dan amenorrhea.
- Penyakit kronik yang bisa meningkatkan resiko termasuk hipertiroidisme, sindroma Cushing, kanker tulang dan diabetes melitus.
- Pengobatan yang meningkatkan resiko termasuk glukokortikoid, penggantian tiroid yang berlebihan, penggunaan heparin dosis tinggi dalam waktu yang lama, dan anti convulsan.
- Pemeriksaan fisik menyeluruh dan analisis laboratorium diperlukan untuk mengetahui penyebab sekunder dan untuk menaksir kifosis dan sakit punggung. Evaluasi biokimia harus memasukkan complete blood count, panel kimia (termasuk koreksi kalsium untuk tingkat serum albumin, fosfor, dan alkaline fosfatase), dan konsentrasi 25-hydroxyvitamin D.
- Radiograf sumsum lateral bisa dilakukan pada sakit punggung yang baru atau yang parah untuk mendeteksi patah tulang belakang.
- Pengukuran BMD pusat (pinggul dan sumsum) dengan dual-energy x-ray absorptiometry (DXA) adalah standar tertinggi untuk diagnosa osteoporosis. Untuk setiap 1 SD dibawah rerata BMD dewasa muda, resiko patah meningkat dua kali. Pengukuran pada bagian tepi (lengan bawah, tumit, dan phalanges) dengan single-energy x-ray absorptiometry (SXA), ultrasonic, atau DSA hanya digunakan untuk skrining.; prediksi akurat untuk fraktur sudah disediakan oleh BMD pinggul.
- Biopsi tulang jarang berguna untuk osteoporosis tapi bisa digunakan untuk mencari sebab sekunder, seperti osteomalacia.
- Penanda biokimia untuk turnover tulang digunakan pada uji klinik. Penanda untuk resorpsi tulang termasuk C-terminal atau N-terminal telopeptide dan deoxypyridinolline. Penanda pembentukan tulang termasuk alkaline fosfat spesifik tulang, osteocalcin, dan C-terminal dan N-terminal peptide dengan procolagen.

HASIL YANG DIINGINKAN
Pada pasien dengan resiko osteoporosis, tujuan pencegahan adalah mendapatkan massa tulang optimal dan mengurangi kehilangan massa tulang. Pencegahan idealnya dimulai dengan meningkatkan massa puncak tulang pada anak, remaja, dan dewasa muda. Tujuan perawatan untuk mengurangi hilangnya massa tulang dan mengurangi fraktur. Kontrol rasa sakit bisa dibutuhkan terutama setelah fraktur dan untuk osteoporosis parah.

PENCEGAHAN DAN PERAWATAN
Panduan termasuk pendekatan farmakologi dan non farmakologi (dapat dilihat di ebook nya :) ).
Pencegahan dan Perawatan non Farmakologi
  • Semua individu dietnya harus seimbang dengan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup (Tabel 3-1). Tabel 3-2 mencantumkan makanan dengan konsentrasi kalsium tinggi. Jika asupan diet yang cukup tidak bisa dicapai, suplemen kalsium  bisa diberikan.
  • Latihan beban  bisa mencegah hilangnya massa tulang dan menurunkan resik fraktur.
Pencegahan dan Perawatan Farmakologis
Pengobatan Antiresoptif
Kalsium
Kalsium harus diberikan dalam jumlah yang cukup untuk mencegah hipertiroidisme sekunder dan perusakan tulang. Asupan kalsium lebih tinggi telah menunjukkan mencegah atau mengurangi hilangnya massa tulang pada dewasa. Efeknya diperkuat ketika dikombinasikan dengan terapi antiresoptif lain atau latihan fisik. Kombinasi kalsium dan vitamin D menurunkan fraktur vertebral, non-vertebral dan pinggul.
Kalsium karbonat adalah garam pilihan karena mengandung konsentrasi tertinggi kalsium (40%) dan paling murah (Tabel 3-3). Kalsium karbonat sebaiknya diberikan dengan makanan untuk meningkatkan absorpsi dengan peningkatan sekresi asam. Absorpsi kalsium sitrat tergantung asam dan tidak diberikan bersama makanan. Karena fraksi kalsium terabsorbsi menurun dengan peningkatan dosis, dosis terbagi (500-600 mg atau kurang) disarankan.
Efek samping paling umum adalah konstipasi dan flatulen; batu ginjal jarang terjadi.
Diuretik
Thiazide meningkatkan reabsorpsi kalsium urin, tapi meresepkannya tunggal hanya untuk osteoporosis tidak dianjurkan.
Vitamin D dan Metabolit
Defisiensi vitamin D muncul karena asupan yang kurang, kurang terkena sinar matahari, atau penurunan produksi di kulit. Lebih jarang, penurunan sintesis calcitriol di ginjal terjadi karena usia atau disfunsi liver atau  ginjal.
Suplemen vitamin D telah menunjukkan meningkatkan BMD, dan bisa mengurangi fraktur. 
Kebanyakan tablet multivitamin mengandung 400 IU vitamin D, dan produk kombinasi kalsium-vitamin D mengandung 100-200 IU per dosis. Untuk manula, satu tablet multivitamin sehari (dua tablet sehari untuk yang berusia di atas 70 tahun) cukup untuk asupan vitamin D harian.
Vitamin D dosis tinggi bisa menyebabkan hiperkalsimea dan hiperkalsiuria.
Bifosfanat
Bifosfanat terserap ke apatite (grup kalsium fosfat pada tulang) tulang dan menyatu permanen dengan tulang. Osteoklas tidak mampu menempel pada permukaan tulang yang mengandung bifosfanat. Perkiraan waktu paruh terminal bifosfanat serupa dengan turnover tulang (1-10 tahun).
Alendronate (Fosamax) diindikasikan untuk pencegahan (5 mg/hari) dan perawatan (10 mg.hari) osteoporosis pada wanita postmenopausal. Pemberian sekali seminggu (70 mg) memberikan hasil BMD yang serupa, juga mengurangi paparan obat kepada pasien.
Risedronate (Actonel: 5 mg/hari) diindikasikan untuk perawatan dan pencegahan osteoporosis pada wanita postmenopausal serta pria dan wanita yang menerima glukokortikoid sistemik (prednisone setara 7,5 mg/hari atau lebih besar) untuk penyakit kronik. Pemberian risedronate sekali seminggu (30-35 mg) masih dalam penyelidikan.
Bifosfonat memberikan peningkatan BMD tertinggi untuk agen antiresorptif. Alendronate, 10 mg.hari, meningkatkan BMD sumsum lumbar 5,4-6%, tulang femoral leher 2,9% dan trochanter (bagian atas tulang femur) 4,4-4,9%. Risedronate, 5 mg/hari, memberikan hasil yang serupa. Peningkatan BMD paling tinggi pada tahun pertama perawatan dan berlanjut selama 7 tahun. Setelah dihentikan, BMD dipertahankan atau menurun perlahan tapi tetap lebih tinggi dari bukan pengguna. Terapi kombinasi dengan estrogen atau terapi penggantian hormon (hormon/estrogen replacement theraphy HRT/ERT) menghasilkan peningkatan BMD yang lebih tinggi daripada pengobatan tunggal. Pengurangan fraktur pada vertebral, non-vertebral dan pinggul telah dibuktikan.
Bifosfonat harus diberikan dengan hati-hati  untuk menghindari efek samping saluran cerna yang serius. Semua bifosfonat sulit diabsorbsi (1-5%), dan makanan, minuman, dan kalsium menurunkan absorbsi signifikan. Bifosfonat sebaiknya diberikan pada pagi hari 30-120 menit sebelum pemberian makanan, minuman atau obat pertama dengan segelas penuh air (bukan kopi, jus, air mineral, atau susu). Pasien harus tetap dalam posisi tegak selama 30 menit untuk mencegah iritasi esophageal dan ulserasi. Kalsium dan, jika dibutuhkan, vitamin D sebaiknya juga diberikan tapi pada waktu yang berbeda.
Efek samping paling umum untuk bifosfonat adalah nausea; rasa sakit pada abdominal; dispepsia; diare; dan iritasi, perforasi, ulserasi atau perdarahan esophageal, lambung atau duodenal
Estrogen dan Terapi Hormon
Estrogen menurunkan aktivitas dan recruitment osteoklas, menginhibit parathyroid hormone (PTH), meningkatkan konsentrasi calcitriol dan absorbsi kalsium intestinal, dan menurunkan ekskresi kalsium ginjal.
ERT dan kombinasi terapi penggantian estrogen-progestin meningkatkan BMD, tapi datanya kurang untuk pencegahan fraktur. Peningkatan BMD kebanyakan terlihat pada tahun pertama perawatan, dengan sedikit peningkatan atau plato setelahnya. Progestin yang ditambahkan ke ERT tidak memberikan perubahan atau sedikit meningkatkan BMD. Estrogen oral dan transdermal pada dosis yang sama dan berlanjut atau siklus ERT/HRT mempunyai efek BMD yang serupa. Efek pada BMD adalah meningkat ketika ERT/HRT dikombinasikan dengan alendronate. Percepatan hilangnya massa tulang terjadi dengan penghentian ERT/HRT. Agen ini telah disetujui oleh FDA untuk pencegahan osteoporosis tapi bukan untuk perawatan.
Karena bukti yang bertentangan mengenai penggunaan ERT/HRT untuk pencegahan penyakit kardiovaskular dan potensi terjadinya kaker payudara tergantung-estrogen, penggunaan ERT/HRT untuk pencegahan dan perawatan osteoporosis berlanjut dalam kontroversi.
ERT/HRT menurunkan fraktur vertebral dan non-vertebral secara signifikan pada beberapa ujicoba pada tidak di ujicoba lain. Efek bervariasi oleh tipe tulang, usia pasien, onset terapi, dan durasi ERT. Proteksi dikurangi setelah HRT telah dihentikan selama paling tidak 5 tahun.
Dosis harian ERT yang disarankan untuk pencegahan osteoporosis adalah conjugated equine estrogen 0,625 mg, ethinyl estradiol 0,02 mg, estropipate 0,625 mg, esterified estrogen 0,625 mg, micronized estradiol 1 mg, 17-β-estradiol 2 mg, estrone sulfat 1,5 mg, dan estradiol transdermal 0,05 mg/hari.
ERT biasanya diberikan berkelanjutan dengan pemberian berkelanjutan atau siklus progestin. HRT berkelanjutan paling umum digunakan karena 60-80% wanita akan mengalami amenorrheic dalam 6-12 bulan setelah memulai terapi dan lebih sedikit wanita yang mengalami endometrial hyperplasia. Sampai waktu itu, perdarahan bisa terjadi tanpa terdeteksi. Jika amenorrhea tidak terjadi setelah 10-12 bulan, pola perdarahan yang bisa diprediksi dengan terapi siklus lebih disukai.
Pemberian ERT tunggal berkelanjutan untuk wanita yang sudah mendapat hysterectomy (pengangkatan uterus).ERT meningkatkan resiko endometrial carcinoma pada wanita dengan uterus yang intact (belum rusak). Terapi progestin untuk palin tidak 12-14 hari sebulan biasanya menghilangkan resiko ini dan bahkan bisa protektif. Conterone medroxyprogesterone acetate 2,5-5 mg, micronized progesterone 100 mg per hari, norethindrone acetate 5-10 mg selama 12-14 hari setiap bulan bisa digunakan. Pemberian harian meningkatkan adherence dan merangsang amenorrhea.
Nilai resiko relatif untuk kanker payudara pada wanita yang menjalani ERT/HRT antara 1,1-1,5, dengan resiko sedikit meningkat dengan terapi lebih lama ( paling tidak 5-20 tahun) dan penambahan progestin.
Efek samping dari HRT termasuk perdarahan vagina, melunaknya payudara, migrain, perubahan mood, cholelithiasis (membentuk batu kandung empedu), dan tromboemboli vena.
Kontraindikasi untuk ERT/HRT termasuk kanker aktif atau dicurigai tergantung estrogen, perdarahan vagina abnrmal, penyakit liver yang parah, dan trombosis vaskular aktif. Kontraindikasi relatif termasuk migrain, riwayat pemyakit tromboemboli (terutama dengan kehamilan atau setelah penggunaan kontrasepsi oral), hipergliceridemia, fibroid uterine, endometriosis, penyait kandung empedu, riwayat keluarga untuk kanker payudara, dan disfungsi hepatik kronik.
Selective Estrogen Modulator (SERM)
Ralofexine (Evista) 60 mg sehari diterima untuk pencegahan dan perawatan osteoporosis postmenopausal. BMD pinggul dan spinal meningkat dari 2-3 % dan menurunkan fraktur vertevral tapi belum dibuktikan menurunkan fraktur pinggul. Ini pilihan yang baik untuk wanita yang tidak bisa atau tidak boleh menerima estrogen. Bifosfonat mungkin merupakan pilihan yang lebih baik pada osteoprosis parah ketika reduksi resiko fraktur diinginkan.
Ralofexine merupakan antagonis estrogen di jaringan uterine dan payudara sehingga tidak meningkatkan resiko endometrial carcinoma, seperti pada estrogen dan tamoxifen.
Ralofexine dihubungkan dengan peningkatan resiko tiga kali lipat trombemboli vena, serupa dengan resiko pada estrogen. Ralofexine dikontraindikasikan pada wanita dengan penyakit tromboemboli aktif. Efek samping lain termasuk kaki kaku.
Testosterone dan Anabolic Steroid
Metil testosterone (1,25 atau 2,5 mg) dan testosterone yang ditanam (50 mg tiap 3 bulan) dan patch transdermal terkadang diberikan bersama dengan ERT/HRT pada wanita dengan depresi atau libido yang menurun, fungsi seksual, atau tingkat energi setelah oophorectomy (pengangkatan ovarium). Terapi bersama umumnya memberikan efek BMD yang lebih bak daripada ERT tunggal/
Meski anabolik steroid merangsang aktivitas osteoblas, efek predominannya adalah mengurangi resorpsi tulang, yang mungkin sekunder setelah peningkatan massa otot dan kekuatan. Perubahan BMD relatif kecil, dan kebanyakan wanita mendapat efek samping (efek virilizing seperti hirsutisme, jerawat, dan suara yang berat).
Calcitonin
Semprotan nasal Calcitonin (Mialcacin) diindikasikan untuk perawatan osteoporosis untuk wanta paling tidak 5 tahun setelah menopause. Karena kurang efektif jika dibandingkan dengan pengobatan osteporosis lainnya, calcitonin lebih sering digunakan untuk pasien dengan rasa sakit akibat fraktur atau untuk mereka yang tidak sesuai dengan terapi lainnya.
Regimen 200 IU calcitonin nasal meningkatkan BMD spinal dan mengurangi fraktur vertebral baru sebesar 36%. BMD pinggul tidak selalu dipengaruhi dan tidak menurunkan fraktur pinggul.
Calcitonin salmon digunakan secara klinik karena lebih poten dan efeknya lebih lama daripada calcitonin mamalia. Dosis intranasalnya 200 IU sehari, bergantian di tiap nares (lubang hidung). Pemberian subkutan (injeksi Miacalcin) 100 IU/hari tersedia tapi jarang digunakan.
Calcitonin nasal bisa menyebabkan rhinitis, epistaxis, dan iritasi nasal. Pemberian subkutan bisa menyebabkan simtom saluran cerna, rasa sakit di tempat injeksi, dan wajah memerah.

Terapi Pembentukan Tulang Investagisional

Hormon paratiroid
Meski PTH bisa meningkatkan resportion tulang, PTH (1-84) dan fragmen N-terminalnya (1-34) (teriparatide, masih dalam penyelidikan ketika tulisan ini dibuat) adalah anabolik jika digunakan sekali sehari. Aktivitas anabolik bisa timbul dari menurunnya apoptosis osteoblas dan peningkatan pembentukan tulang dari osteoblas yang hidup lebih lama.
Pada uji klinik fase III kontrol-plasebo pada 1637 wanita postmenopausal yang sudah mengalami fraktur vertebral, 14% yang menerima plasebo mendapatkan fraktur vertebral baru jika dibandingkan 5% dan 4% yang menerima teriparatide subkutan 20 dan 40 μg sehari. BMD juga naik pada spinal lumbar dan femur lebih tinggi pada pasien yang menerima dua dosis teriparatide. Efek samping minor (nausea dan sakit kepala) tapi terjadi lebh sering dengan naiknya dosis
Fluorida
Fluorida meningkatkan aktivitas osteblas dan pembentukan tulang. Tetapi, meski dengan studi bertahun-tahun, efek anti fraktur dari fluoridse masih diragukan, dan fluoride bisa meningkatkan kerapuhan tulang.
Pada satu studi, pria dan wanita yang diberikan fluoride monofosfat dan wanita yang menerima dosis kecil lepas lambat  natrium fluoride mengalami fraktur vertebral yang lebih sedikit. Tetapi, hasil ini belum divalidasi pada studi lain. Fluoride saat ini tidak direkomendasikan untuk terapi, tapi produk lepas lambat sedang diuji oleh FDA.

OSTEOPOROSIS YANG DIRANGSANG OLEH GLUKOKORTIKOID

  • Meski kehilangan massa tulang terus berlanjut dengan terapi steroid, kehilangan terbesar terjadi pada 6-12 bulan pertama. Tulang trabekular (rusuk, vertebrae, dan pelvis) lebih terpengaruh daripada tulang kortikal. Dosis oral prednisne >7,5 mg atau yang setara dan dosis yang dihirup lebih besar dari 800-1200 μg beclomethasone, 800-1000 μg budesonide, 750 μg fluticasone, dan 1000 μg flunisolide umumnya dibutuhkan untuk kehilangan massa tulang yang signifikan, tapi hilangnya massa dan fraktur bisa terjadi dengan dosis lebih rendah. Pria, wanita dan anak-anak semua rentan.
  • Glukkortikoid menurunkan kekuatan otot dan pembentukan tulang dan peningkatan resorpsi tulang. Penurunan absorpsi kalsium saluran cerna dan peningkatan ekskresi ginjal mengakibatkan hiperparatiroidisme sekunder.
  • Pengukuran ekskresi kaslium urin 24 jam bisa membantu pada penaksiran keseimbangan kalsium dan kebutuhan akan suplementasi kalsium, terapi diuretik, dan perubahan pengobatan. Pemeriksaan sinar x bisa mengindikasikan osteoporosis yang dirangsang steroid.
  • Jika penghentian obat tidak dimungkinkan, glukokortikoid sebaiknya digunakan sesdikit mungkin dan untuk durasi yang singkat. Terapi pada hari bergantian tidak mengeliminasi hilangnya massa tulang. Steroid yang dihirup mempunyai efek lebh kecil pada tulang daripada terapi oral.
  • Semua pasien merubah gaya hidupnya dan mengkonsumsi kalsium dan vitamin D yang cukup. HRT sebaiknya ditawarkan kepada semua wanita yang menggunakan steroid. Testosterone bisa dpertimbangkan untuk pria dengan konsentrasi testosterone rendah. Jika terapi berlanjut lebih dari 3 bulan, terapi antiresorptif bisa diberikan. Bifosfonat bisa menghasilkan peningkatan densitas tulang yang lebih besar daripada calcitonin, fluoride dan vitamin D.
  • Semua pasien harus melakukan pengukuran BMD dalam 1 tahun dan lalu tiap 2 tahun. Jika kehilangan massa tulang lebih besar dari 2-3% per tahun, pengobatan tambahan diperlukan. Terapi dilanjutkan sampai 3 tahun setelah penghentian steroid pada pasien dengan massa tulang yang rendah.

EVALUASI HASIL TERAPI

Pasien yang menerima pencegahan atau perawatan dengan ERT/HRT, bifosfonat, atau calcitonin harus diperiksa paling tidak tiap tahun. Untuk wanita dengan ERT/HRT, ini termasuk pemeriksaan payudara dan pelvik tahunan, mammografi, dan pap smear. Perdarahan berlebih harus dievaluasi dengan biopsi endometrial, transvaginal ultrasonografi, atau dilatasi dan kuret jika dibutuhkan.
Kepatuhan dan toleransi atas pengobatan harus diperiksa tiap kunjungan.
Pengukuran BMD disarankan tiap 2-3 tahun jika baseline untuk skor T kurang dari –1,5. Untuk program pencegahan, BMD harus diukur tiap tahun selama 3 tahun. Jika stabil, pengukuran bisa dilanjutkan tiap 2 tahun; jika tidak tetap dilakukan tiap tahun sampai stabil.
Peran penanda biokimia pada remodelling tulang untuk monitoring rutin pasien dan evaluasi pengobatan masih diselidiki.

TUBERKULOSIS


Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kondisi infeksi bisa sunyi (silent), laten (tersembunyi) dan juga aktif.
  • Di seluruh dunia, 2-3 juta orang mati karena TB tiap tahun.
  • M. tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui batuk atau bersin.
  • Anak di bawah 2 tahun dan manula dua sampai lima kali lebih mungkin terkena penyakit aktif, jika dibandingkan dengan kelompok usia lain. Grup resiko lainnya adalah mereka yang sistem imunnya ditekan, gagal ginjal dan kanker.
  • Infeksi HIVmeningkatkan resiko pa erlian-ff07.web.unair.ac.idsien yang terinfeksi M. tuberculosis akan mengalami penyakit aktif. The Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan individu terinfeksi AIDS dengan infeksi TB kemungkinannya 100 kali lebih besar untuk mengalami penyakit aktif daripada pasien dengan seronegatif untuk AIDS.
  • Kebanyakan mycobacteria tumbuh dengan lambat, dengan waktu penggandaan sampai 24 jam jika dibandingkan dengan 20-40 menit untuk kebanyakan bakteri.

PATOFISIOLOGI
  • Infeksi primer dimulai dari implantasi organisme pada alveolar, dalam ukuran yang cukup kecil (1-5 mm) untuk bisa melewati sel epitel bersilia pada saluran pernafasan atas. Begitu tertanam, organisme memperbanyak diri dan dimakan oleh makrofag pulmonal, organisme tetap membelah meski lebih lambat. Nekrosis jaringan dan pengerasan tempat yang terinfeksi dan nodus limfoma di area itu bisa muncul,menyebabkan pembentukan area radiodense yang disbeut sebagai kompleks Ghon.
  • Setelah nodus limfoma terlibat, organisme bisa diam atau menyebar melalui peredaran darah ke berbagai sistem organ.
  • Bersamaan dengan proliferasi organisme adalah terbentuknya hipersensitivitas yang tertunda melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit CD4.
  • Kontaminasi M. tuberculosis membutuhkan aktivasi bagian dari limfosit CD4 yang disebut sel Th-1, yang mengaktifkan makrofag melalui sekresi interferon γ.
  • Penghambatan proliferasi mikobakteria dicirikan oleh pembentukan dua tipe granuloma: granuloma proliferatif, yang stabil dan dengan efektif nenbatasi penyebaran organisme; dan caseating  granuloma (penampilan seperti keju). Caseating granuloma mempunyai pusat nekrotik, relatif tidak stabil, dan membolehkan pertumbuhan terbatas M. tuberculosis yang terdapat didalam mereka.
  • Sekitar 90% pasien yang mengalami penyakit primer tidak mempunyai manifestasi klinik lain selain uji kulit positif tunggal atau dalam kombinasi dengan bukti radiografi akan adanya granuloma stabil.
  • Sekitar 3-5% pasien (biasanya anak, lansia, atau immunocopromised) merasakan penyakit primer yang progresif pada tempat infeksi pertama (biasanya lobus bagian bawah) dan seringkali menyebar, menyebabkan meningitis dan sering melibatkan lobus paru bagian atas.
  • Sekitar 7-10% pasien mengalami penyakit reaktif, yang muncul setelah penyebaran hematogenus dari organisme.
  • Terkadang, sejumlah besar inokulum organisme bisa masuk ke aliran darah, menyebabkan penyakit menyebar dan pembentukan granuloma yang disebut tuberkulosis miliari.
  • Berbagai bentuk infeksi TB terjadi dengan frekuensi yang berbeda pada berbagai populasi

TAMPILAN KLINIK
PASIEN YANG TIDAK TERINFEKSI HIV
  • Tampilan klinik dari TB pulmonal tidak spesifik, yang terlihat hanya proses infeksi yang berkembang dengan lambat.
  • Pasien dengan kondisi subklinis atau  dalam tahapan awal penyakit bisa asimtomatik. Jika populasi organisme meningkat sampai jumah tertentu, pasien mulai mengeluhkan malaise (=merasa lemah dan lelah yang tidak bisa dijelaskan), anoreksia, berat badan turun, dan fatigue (=merasa sangat lelah) dan juga demam erlian-ff07.web.unair.ac.idyang muncul dalam interval dengan menggigil dan berkeringat di malam hari. Bersamaan, muncul batuk dengan meningkatnya produksi sputum. Hemoptysis (=batuk mengeluarkan darah) dan nafas pendek biasanya menjadi indikasi stadium lebih lanjut.
  • Pemeriksaan fisik adalah tidak spesifik, menunjukkan penyakit pulmonal progresif. Perkusi dada yang datar mungkin adalah konsolidasi dari kedua area paru. Rales (=suara desisan abnormal yang terdengar sewaktu pemeriksaan paru dengan stetoskop) dan meningkatnya vocal fremitus sering terlihat sewaktu pemeriksaan dengan stetoskop.
  • Data laboratorium yang abnormal biasanya terbatas pada peningkatan sedang untuk hitung sel darah putih, dengan limfosit mendominasi.
  • Tampilan klinik yang dihubungkan dengan TB ekstrapulmonal bervariasi tergantung pada sistem organ yang terserang tapi biasanya berupa kompromi fungsi organ dengan demam rendah dan simtom konstitusional lainnya.

PASIEN TERINFEKSI HIV
  • Tampilan klinik pasien terinfeksi HIV yang terkena TB bisa berbeda dari yang teramati pada pasien dengan sistem imun normal (lihat Tabel 46-2). Pada pasien AIDS, TB lebih mungkin muncul dalam bentuk penyakit progresif, melibatkan situs ekstrapulmonal, dan melibatkan banyak lobus di paru.
  • TB pada pasien AIDS lebih tidak mungkin melibatkan penyakit cavitary, dihubungkan dnegan uji kulit yang positif, atau dihubungkan dengaan demam. Temuan TB nonspesifik seperti malaise, berat badan turun, merasa lemah, dan demam adalah kondisi normal pada pasien AIDS.

DIAGNOSA
Identifikasi dan uji kepekaan mikobakteri bisa butuh 2-3 minggu dengan metode biakan tradisional. Metode lebih baru dengan CO2 radiolabel, DNA probe, dan analisis restriksi panjang fragmen polimorfisme.

UJI KULIT TUBERKULIN
  • Metode penapisan yang paling banyak dipakai adalah uji kulit tuberkulin, yang menggunakan purified protein derrivate (PPD). Tiga skala kekuatan purified protein derrivate-standart (PPD-S) tersedia: kekuatan tingkat pertama (1 TU), kekuatan intermediet (5 TU) dan kekuatan tingkat kedua (250 TU).
    • PPD-S tingkat kekuatan pertama terkadang digunakan untuk menguji pasien dengan mengharapkan adanya reaksi yang parah (yaitu, pasien dengan uji sebelumnya yang diketahui positif), meski hanya sedikit data yang mendukung metode ini.
    • Bentuk kekuatan intermediet penggunaannya beragam untuk penapisan rutin dan tujuan diagnosa.
    • PPD-S tingkat kekuatan kedua bisa digunakan untuk menguji pasien dengan imunitas rendah karena pengaruh sel, dengan hasil negatif untuk uji kekuatan intermediet tapi kemungkinan mengidap TB dari kriteria klinik.
  • Metode Mantoux berupa pemberian PPD, yang merupakan metode yang paling diandalkan, terdiri dari injeksi intradermal 0,1 ml PPD 5 TU. Hasil uji bisa didapat setelah 48-72 jam setelah injeksi  dengan mengukur diameter zona indurasi (pengerasan).
  • Reaksi positif bisa bertahan selama 5 hari setelah uji diberikan.
  • Area pengerasan (bukan eritema) >10 mm untuk pasien dengan imunitas normal yang beresiko terkena infeksi, atau >5 mm untuk individu terinfeksi HIV, dianggap sebagai hasil yang positif. Untuk pasien AIDS atau anak yang baru terpapar, pengerasan dalam berbagai tingkatan bisa dibaca sebagai positif. Beberapa pasien ujinya bisa positif setelah awalnya negatif, dan ini disebut efek pendorong.
  • Tipe individu yang sebaiknya menjalani penapisan dengan PPD pada Tabel 46-3.

PENYAKIT SIMTOMATIK
  • Diagnosa untuk memastikan TBC harus dibuat melalui sinar x pada dada dan pemeriksaan mikrobiologi sputum atau material terinfeksi lainnya untuk memastikan penyakitnya bukan penyakit aktif.
  • Pemeriksaan sputum penting dalam memberikan bukti mikrobiologi untuk TB pulmonal. Dianjurkan pemeriksaan sputum dari sputum yang dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut.
  • Uji kepekaan obat sebaiknya dilakukan secara rutin. Uji kepekaan berbasis agar membutuhkan paling tidak 3 minggu untuk selesai.

HASIL YANG DIINGINKAN
  • Identifikasi kasus baru TB dengan cepat.
  • Isolasi pasien dengan penyakit aktif untuk mencegah penularan.
  • Pengumpulan sampel yang sesuai untuk pemeriksaan bekuan dan biakan.
  • Perbaikan tanda dan simtom segera setelah dimulainya terapi.
  • Pencapaian kondisi bebas infeksi
  • Kepatuhan terhadap erlian-ff07.web.unair.ac.id regimen perawatan.
  • Sembuh secepat mungkin (umumnya sekitar 6 bulan perawatan).

PERAWATAN
PRINSIP UMUM
  • Perawatan dengan obat adalah dasar penanganan TB. Obat yang digunakan minimal dua, dan biasanya tiga atau lebih.
  • Perawatan obat dilanjutkan sampai paling tidak 6 bulan dan sampai 2-3 tahun untuk kasus dengan multidrug-resistant TB (MDR-TB).
  • Pengukuran untuk memastikan kepatuhan, seperti directly observed theraphy, DOT (terapi yang diawasi langsung) penting untuk berhasilnya terapi.

PERAWATAN FARMAKOLOGI
Infeksi Asimtomatik
  • Kemoprofilaksis sebaiknya dimulai pada pasien sesuai Tabel 46-4 untuk mengurangi resiko berkembangnya penyakit ke penyakit aktif.
  • Isoniazid (INH) 300 mg sekali sehari untuk dewasa, adalah perawatan primer untuk TB laten di AS. Meski 6 bulan perawatan efektif, 9 bulan lebih disukai. Pada anak, profilaksis sebaiknya diberikan selama 3 bulan (10-15 mg/kg per hari sampai 300 mg) setelah kontak dengan sumber terhenti. Jika tidak, anak sebaiknya dirawat selama 9 bulan.
  • Perawatan preventif untuk pasien positif HIV pada umumnya durasinya sama dengan pasien negatif HIV.
  • Pasien yang mungkin tidak mematuhi regimen bisa dirawat dengan regimen 15 mg/kg (sampai maksimum 900 mg) dua kali seminggu dengan pengamatan.
  • Jika individu telah terpapar dengan pasien dengan M. tuberculosis yang resisten INH atau pasien yang gagal kemoterapinya, kemoprofilaksis dengan rifampin (RIF) tunggal (selama 4 bulan) atau dalam kombinasi dengan pyrazinamide (PNZ) (selama 2 bulan) sebaiknya diberikan.
  • Jika orang yang menularkan mempunyai MDR-TB yang definitif, terapi kombinasi dengan PZA dan ethambutol (EMB), atau EMB dan suatu fluoroquinolon (ofloxacin atau levofloxacin), telah dianjurkan, tapi tidak ada yang terbukti efektif.
  • Semua pasien yang dirawat dengan INH bis erlian-ff07.web.unair.ac.ida menerima pyridoxine 10-50 mg per hari, untuk mengurangi insiden efek pada sistem saraf pusat atau neuropati perifer.

Penanganan Penyakit Aktif
  • Tabel 46-5 berisi pilihan perawatan TB aktif pada anak dan dewasa. Tabel 46-6 berisi daftar regimen untuk TB terkait HIV.
  • Jika tersedia, pola kepekaan obat dari isolat orang yang menularkan bisa memandu pemilihan obat awal untuk pasien baru. Jika orang yang menularkan tidak diketahui, pola resistensi obat di area pasien terpapar TB harus ikut diperhitungkan.
  • Jika pasien sedang dievaluasi untuk perawatan ulang TB, perlu diketahui obat apa yang sebelumnya digunakan dan untuk berapa lama.
  • Sampel yang sesuai digunakan untuk biakan dan uji kepekaan sebelum memulai terapi.
  • INF dan RIF bisa digunakan selama 9 bulan perawatan; tetapi, penambahan PZA selama 2 bulan memperpendek durasi perawatan sampai 6 bulan untuk pasien dengan TB yang peka obat.
  • Kecuali untuk perkecualian tertentu pasien harus menjalani terapi selama 6 bulan atau lebih. Telah didebatkan bahwa pasien positif HIV sebaiknya dirawat selama 3 bulan tambahan dan paling tidak 6 bulan dari waktu pemeriksaan biakan dan bekuan negatif. Jika INF dan RIF tidak bisa digunakan, durasi perawatan menjadi 2 tahun atau lebih, apapun status imunitas pasien.
  • EMB atau streptomycin (SM) umumnya ditambahkan ke INH, RIF, dan PZA saat awal perawatan sampai informasi kepekaan diperoleh. Jika organisme peka obat, regimen INH dan RIF selama 6 bulan, dengan 2 bulan untuk PZA, bisa digunakan pada pasien dengan imun normal.
  • Jika organisme resisten obat, tujuan adalah menggunakan dua atau lebih agen aktif yang belum pernah digunakan pasien.
  • Untuk kasus MDR-TB, tidak ada regimen standar yang bisa diajukan. Sebaiknya dihindari monoterapi atau menambahkan hanya satu obat ke regimen yang tidak berhasil.

Resistensi Obat
Resistensi obat sebaiknya dicurigai pada kondisi berikut:
  • Pasien yang sebelumnya menerima terapi untuk TB
  • Pasien dengan area gografis prevalensi resistensi tinggi (New York, Mexico, Asia Tenggara, dan bekas  negara Soviet)
  • Pasien tunawisma, tinggal di rumah sakit dalam waktu yang lama, penyalah guna obat IV, dan.atau terinfeksi HIV.
  • Pasien yang hasil bekuan sputum dengan acid fast bacilli (FAB) positif setelah 2 bulan terapi.
  • Pasien yang hasil biakannya masih positif setelah 3-4 bulan terapi.
  • Pasien yang membutuhkan perawatan ulang.

Populasi Khusus
MENINGITIS TUBERCULUS DAN PENYAKIT EKSTRAPULMONAL
  • Pada umumnya, INH, PZA, ethionamide (ETA) dan cylcoserine (CS) bisa masuk ke cairan serebrospinal. Pasien dengan tuberkulosis CNS sering dirawat untuk periode lebih lama (9-12 bulan). TB ekstrapulmonal pada jaringan lunak bisa dirawat dengan regimen konvensional. TB pada tulang umumnya dirawat selama 9-12 bulan, terkadang dengan pengangkatan secara operasi

ANAK
  • Tuberkulosis pada anak bisa ditangani dengan regimen serupa dengan dewasa, meski beberapa dokter lebih menyukai perawatan diperpanjang sampai 9 bulan.

WANITA HAMIL
  • Wanita dengan TB sebaiknya disarankan untuk tidak hamil, karena penyakit beresiko untuk fetus dan juga ibu. Tampaknya INH relatif aman digunakan selama kehamilan, meski mampu menembus plasenta. Suplementasi dengan vitamin B sangat penting selama kehamilan. RIF tidak sering dihubungkan dengan defek kelahiran, tapi jika terjadi akan sangat parah, termasuk pengurangan bagian tubuh  dan lesi SSP. PZA belum dipelajari penggunaannya pada wanita hamil. Laporan mengenai EMB selama kehamilan mengindikasikan relatif aman. ATA bisa dihubungkan dengan kelahiran prematur, deformitas bawaan, dan sindrom Down ketika digunakan selama kehamilan. SM telah dihubungkan dengan gangguan pendengaran pada bayi yang baru lahir.
Tabel 46-6
  • Wanita hamil dengan TB aktif sebaiknya menerima INF dan RIF selama 9 bulan. Jika diperlukan obat ketiga, EMB bisa ditambahkan. Terapi INH untuk infeksi tuberkulus asimtomatik bisa ditunda sampai setelah kehamilan.

PASIEN TERINFEKSI HIV
  • Pasien AIDS dan inang immunocompromised lainnya bisa ditangani dengan regimen kemoterapi serupa dengan pasien dengan imun normal, meski perawatan sering diperpanjang sampai 9-12 bulan.

GAGAL GINJAL
  • INH sebagian besar dieliminasi melalui metabolisme hepatik. Kebanyakan pasien sebaiknya menerima dosis standar (300 mg pada dewasa), mungkin setelah dialisis. RIF bisa diberikan dalam dosis harian normal, setelah dialisis. PZA bis erlian-ff07.web.unair.ac.ida diberikan dalam dosis normal tiga kali seminggu, setelah dialisis. EMB sebagian besar dieksresikan lewat renal dan sebaiknya diberikan tiga kali seminggu.

GANGGUAN FUNGSI HATI
  • Obat yang sebagian besar dieliminasi oleh liver termasuk INH, ETA, RIF, PZA, dan para aminosalicylic acid (PAS). Tidak ada rekomendasi khusus untuk penggunaan agen-agen tersebut pada kondisi gangguan fungsi hati.

OBESITAS PARAH
  • Obat hidrofil (INH, PZA, aminoglikosida, CM, EMB, PAS, cycloserine) atau obat dengan volume distribusi relatif kecil (INH, RIF, aminiglikosida, EMB) sebaiknya awalnya didosiskan berdasar berat badan ideal. Pengawasan konsentrasi serum sebaiknya dilakukan kapanpun mungkin untuk menyesuaikan dosis.

EVALUASI HASIL TERAPI DAN PENGAWASAN PASIEN
  • Pasien simtomatik sebaiknya diisolasi dan sampel sputumnya dilakukan pewarnaan AFB tiap beberapa hari, sampai hasil pemeriksaan bekuan negatif. Ini biasanya butuh 10-14 hari. Setelah itu, pasien bisa dikeluarkan dari isolasi dan, jika secara simtomatik kondisinya membaik, bisa keluarn dari rumah sakit.
  • Pada terapi penjagaan, pasien sebaiknya melakukan biakan sputum tiap bulan sampai hasilnya negatif. Bisa diantisipasi bahwa kultur akan menjadi negatif dalam 2 bulan. Jika biakan kultur tetap positif setelah 2 bulan, bisa dicurigai adanya resistensi obat.
  • Pasien sebaiknya menjalani penentuan baseline untuk blood urea nitrogen (BUN), serum kreatinin, aspartate transaminase/alanin transaminase, dan hitung darah lengkap, dan setelahnya secara periodik, tergantung pada adanya faktor lain yang bisa meningkatkan kemungkinan toksisitas (usia lanjut, konsumsi alkohol berlebih, dan kemungkinan kehamilan). Hepatotoksisitas sebaiknya dicurigai pada pasien dengan transaminase melebihi lima kali batas atas normal atau dengan total bilirubin melebihi 3 mg/dl. Pada titik ini, agen yang menyebabkan sebaiknya dihentikan, dan dipilih alternatifnya.
  • Terapi INH menyebabkan peningkatan serum transaminase singkat pada 12-15% pasien dan biasanya muncul dalam 8-12 minggu pertama terapi. Faktor resiko untuk hepatotoksisitas termasuk usia pasien, adanya penyakit liver, dan kondisi kehamilan/setelah melahirkan. INH juga bisa menyebabkan neurotoksisitas, paling sering berupa neuropati perifer atau, pada overdosis obat, seizure dan koma. Pasien dengan defisiensi pyridoxine, seperti pemabuk, anak, dan kurang gizi, mempunyai peningkatan resiko, sama seperti pasien asetilator lambat untuk INH dan mereka yang mungkin terkena neuropati, seperti diabetes.
  • Efek samping yang dihubungkan dengan RIF jarang muncul sehingga diperlukan untuk menghentikan terapi. Peningkatan enzim hepatik telah dihubungkan dnegan RIF pada 10-15% pasien, dengan hepatotoksisitas terjadi pada <1%. Efek samping RIF yang lebih sering muncul adalah kulit kemerahan, demam, dan gangguan saluran cerna.
  • RIF bisa menginduksi enzim hepatik sehingga eliminasi sejumlah obat, seperti protease inhibitor. Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral sebaiknya disarankan untuk menggunakan bentuk kontrasepsi lain selama terapi.
  • Efek pewarnaan merah urin dan sekret lain serta lensa kontak dari RIF sebaiknya didiskusikan dengan pasien.
  • Retrobulbar neuritis adalah efek samping utama yang terlihat pada pasien yang ditangani dengan EMB. Kejadiannya terkait dosis, dengan tingkat kejadian 5% atau lebih. Pasien biasanya mengeluhkan perubahan ketajaman penglihatan dan/atau ketidakmampuan melihat warna hijau. Uji penglihatan sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang harus menerima EMB selama lebih dari 2 bulan. EMB sebaiknya dihindari pada anak yang terlalu muda untuk menjalani uji penglihatan.
  • Gangguan fungsi saraf kranial kedelapan adalah efek samping paling penting dari SM. Fungsi vestibular paling sering terpengaruh, tapi juga bisa mengganggu pendengaran. Uji audiometri sebaiknya dilakukan pada pasien yang harus menerima SM melebihi 2 bulan.
  • Semua pasien yang didiagnosa TB sebaiknya diuji untuk infeksi HIV.
  • Masalah paling serius dengan terapi TB adalah ketidak patuhan menjalani regimen yang diberikan. Cara paling efektif untuk memastikan kepatuhan adalah DOT

Pneumonia


BAB l
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan,baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orangdewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
B.     EPIDIOMOLOGI
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus non tuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus non tuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus  infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan datasekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
C.  TUJUAN
1.        Untuk mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi serta penanganan pada kasus PNEUMONIA di RSD dr. SoebandiJember .
2.        Untuk mengetahui DRP serta memberikan rekomendasi dan Informasi terapi dari kasus tersebut kepada profesi tenaga kesehatan lain.
























BAB II
LANDASAN TEORI

A.      DEFENISI
                  Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
B.       ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,  virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
C.       PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 μm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orangnormal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat(drug abuse).Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi darisebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadipneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnyamikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagianbawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
D.      PATOLOGI
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri kepermukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1.    Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2.    Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3.    Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMNyang banyak.
4.    Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit danalveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialahkonsolodasi yang luas.
E.       KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b.Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
    pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a.    Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b.     Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c.    Pneumonia virus
d.   Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a.    Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b.    Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkandengan obstruksi bronkus
c.    Pneumonia interstisial
F.   DIAGNOSIS
a.    Gambaran klinis
a.     Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40oC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b.    Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
b.      Pemeriksaan penunjang
a.    Gambaran radiologis
   Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " airbroncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan olehSteptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateralatau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkankonsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
c.       Pemeriksaan labolatorium
                             Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
G.  PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1.      penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2.      bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab 
pneumonia.
3.      hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut
a.    Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
·         Golongan Penisilin
·          TMP-SMZ
·          Makrolid
b.      Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
·         Beta laktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
·          Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
·         Marolid baru dosis tinggi
·         Fluorokuinolon respirasi
c.       Pseudomonas aeruginosa
·         Aminoglikosid
·         Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
·         Tikarsilin, Piperasilin
·         Karbapenem : Meropenem, Imipenem
·          Siprofloksasin, Levofloksasin
d.      Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
·         Vankomisin
·         Teikoplanin
·         Linezolid
e.       Hemophilus influenzae
·          TMP-SMZ
·         Azitromisin
·          Sefalosporin gen. 2 atau 3
·         Fluorokuinolon respirasi
f.       Legionella
·         Makrolid
·         Fluorokuinolon
·         Rifampisin
g.      Mycoplasma pneumoniae
·            Doksisiklin
·            Makrolid
·            Fluorokuinolon
h.      Chlamydia pneumoniae
·         Doksisikin
·         Makrolid
H.    KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi :
1.      Efusi pleura.
2.      Empiema.
3.      Abses Paru.
4.      Pneumotoraks.
5.      Gagal napas.
6.      Sepsis


I.       PNEUMONIA KOMUNITI
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.
1.      Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif  dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :
a.       Klebsiella pneumoniae 45,18%
b.      Streptococcus pneumoniae 14,04%
c.       Streptococcus viridans 9,21%
d.      Staphylococcus aureus 9%
e.       Pseudomonas aeruginosa 8,56%
f.       Steptococcus hemolyticus 7,89%
g.      Enterobacter 5,26%
h.      Pseudomonas spp 0,9%
2.      Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fistoraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
a.       Batuk-batuk bertambah
b.      Perubahan karakteristik dahak / purulen
c.       Suhu tubuh > 38 0C (aksila) / riwayat demam
d.      Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronk
e.       Leukosit > 10.000 atau < 4500
3.      Penilaian derajat Kiparahan penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) setabel di bawah ini :
 
                      
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
a.       Kriteria minor:
1)      Frekuensi napas > 30/menit
2)      Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
3)      Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
4)      Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
5)      Tekanan sistolik < 90 mmHg
6)      Tekanan diastolik < 60 mmHg
b.      Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
1)      Membutuhkan ventilasi mekanik
2)      Infiltrat bertambah > 50%
3)      Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
4)      Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah :
1.    Skor PORT lebih dari 70
2.    Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
a.       Frekuensi napas > 30/menit
b.      Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
c.       Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d.      Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3.    Pneumonia pada pengguna NAPZA
4.      Kriteria perawatan intensif
 Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.
5.      Pneumonia atipik
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus.

a.    Diagnosis pneumonia atipik
Gejalanya adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam, batuk nonproduktif dan gejala sistemik berupa nyeri kepala dan mialgia. Gejala klinis pada tabel di bawah ini dapat membantu menegakkan diagnosis pneumonia atipik.
1)      Pada pemeriksaan fisis terdapat ronki basah tersebar, konsolidasi jarang terjadi.
2)      Gambaran radiologis infiltrat interstitial.
3)      Labolatorium menunjukkan leukositosis ringan, pewarnaan Gram, biarkan dahak atau darah tidak ditemukan bakteri.
4)      Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik.
a.       Isolasi biarkan sensitivitinya sangat rendah
b.      Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)
c.       Polymerase Chain Reaction (PCR)
d.      Uji serologi
e.       Cold agglutinin
f.       Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M.pneumoniae
g.      Micro immunofluorescence (MIF). Standard serologi untuk C.pneumoniae
h.      Antigen dari urin untuk Legionella











untuk membantu secara klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik dan tipik dapat dilihat pada tabel 2, walaupun tidak selalu dijumpai gejala-gejala tersebut.  

            

6.      Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah: (ATS 2001)
a.       Pneumokokus resisten terhadap penisilin
• Umur lebih dari 65 tahun
• Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
   • Pecandu alkohol
   • Penyakit gangguan kekebalan
   • Penyakit penyerta yang multipel
b.  Bakteri enterik Gram negatif
   • Penghuni rumah jompo
   • Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
   • Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
   • Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
   • Bronkiektasis
   • Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
   • Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
   • Gizi kurang
1)      Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
a.  Penderita rawat jalan
   • Pengobatan suportif / simptomatik 
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
b.  Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
   Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
 • Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit   
  Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
                       • Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
 • Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
 Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.  
                         
         Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.  
7.       Pengobatan pneumonia atipik
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
·         Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
·         Fluorokuinolon respiness
·         Doksisiklin


8.      Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).
• Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
• Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.
            Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti :
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 1.

                   

9.       Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.
10.  Pencegahan
• Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)  
sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3
`

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Ny. G ( 70 tahun/ perempuan) : pasien datang dengan keluham batuk lebih dari 3 minggu batuk berdahak ,BB menurun, Keringat dingin pada malam hari, sesak (+) nyeri dada(-).
RPD : hipertensi
RPO : dari puskesmas
RPK :-
1)      Data Subyektif
18/4/2013
19/4/2013
20/4/2013
21/4/2013
22/4/2013
23/4/2013
Pasien mengeluh sesak
Batuk disertai dahak, dahak berwarna putih keringat dingin di malam hari, sesak napas, nyeri dada negative.
gatal ditenggorokan, sesak
batuk berdahak, nyeri dada kanan
batuk berdahak
Batuk

2)      Data Objektif
Data Klinik
Nilai Normal
Tanggal
18/4/2013
19/4/2013
20/4/2013
21/4/2013
22/4/2013
23/4/2013
TD
120/80 mmHg
190/110 mmHg
190/110 mmHg
140/80 mmHg
140/90 mmHg
140/90 mmHg
140/80 mmHg
NN
80x/mnt
100x/mnt
100x/mnt
80x/mnt
82x/mnt
84x/mnt
88x/mnt
RR
20x/mnt
33x/mnt
35x/mnt
30x/mnt
16x/mnt
16x/mnt
21x/mnt
T
36-37,50C
370C
36­0C
360C
­­­36oC
360C
360C
Kondisi umum
lemah
Lemah
lemah
Cukup
Cukup
Cukup

3)      Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Periksa
Hasil Pemeriksaan
Normal
Hematologi
Hemoglobin
12,7
L 13,4-17,7; P 11,4-15,1 g/dl
Leukosit
15,5
L 4,3-10,3; P 4,3-11,3x109/L
Hematokrit
37,7
L 38-42%; P 40-47 %
Trombosit
128
150-450x109/L
Faal Hati
SGOT
15
L 10-35; P 10-31 U/L
SGPT
10
L 9-43; P 9-36 U/L
Elektrolit
Natrium
133,4
135-155 mmol/L
Kalium
3,79
3,5-5,0 mmol/L
Chloride
97,6
90-110 mmol/L
Calcium
1,92
2,15-2,57 mmol/L
Magnesium
0,80
L 0,73-1,06; P 0,77-1,03 mmol/L
Fosfor
0,75
0,85-1,60 mmol/L
Faal Ginjal
Kreatinin serum
0,8
L 0,6-1,3; P 0,5-1,1 mg/Dl
BUN
22
6-20 mg/Dl
Urea
47
10-50 mg/Dl
Asam Urat
5,9
L 3,4-7; P 2,0-5,7 mg/dL
Kadar Gula Darah
Sewaktu
147 stik
< 200mg/dL

4)      Assesment
18/4/2013
19/4/2013
20/4/2013
21/4/2013
22/4/2013
23/4/2013
HT urgency
HT urgency + pneumonia
HT urgency + pneumonia
HT grade I + pneumonia + susp TB
HT grade I + pneumonia + susp TB
HT grade I + pneumonia + susp TB






5)      Profil pengobatan pasien
18/4/2013
19/4/2013
20/4/2013
21/4/2013
22-23/4/2013
24/4/2013
- Inf. RL
- Amlodipin 2x5 mg
Inj cefotaxime 3x1 gram
-gentamicine  inj 3x1A
Antrain 3x1A
Lasix 1x1A
Ranitidine 3x1
Pasang O2 6 lpm


-Inf. RL
Amlodipine 2x5 mg
Spironolakton ½-o-o
Inj cefotaxime 3x1 gram
Inj gentamicine 3x1A
Nebulizer (varbiven) 2x/perhari
O2 6 lpm


-Inf. RL
Inj cefotaxime 3x1 gram
Inj gentamicine 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Spironolakton ½-o-o
Ambroxol 3x1
Nebulizer (varbiven) 3x/perhari

-Inf. RL 20 tpm
Inj cefotaxime 3x1 gram
Inj gentamicine 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Ambroxol 3x1
Spironolakton ½-o-o
Nebulizer (varbiven) 3x/perhari



-Inf. RL 20                 tpm
Inj cefotaxime 3x1 gram
Inj gentamicine 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Ambroxol 3x1
Spironolakton ½-o-o
Nebulizer (varbiven) 3x/perhari


-Inf. RL 20                 tpm
Inj cefotaxime 3x1 gram
Inj gentamicin 3x1A
Amlodipine 2x5 mg
Ambroxol 3x1
Spironolakton ½-o-o
Nebulizer (varbiven) 3x/perhari
Theofilin 3 x 1
Dextrometorfan 3x 1


6)      Analisa DRP
Medical Problem
Terapi
DRP’s
Care Plan
Monitoring

Hipertensi
Amlodipine
Pemilihan obat kurang tepat
Hentikan penggunaan amlodipine ganti dengan captopril 2x 25mg, setelah target tercapai 140 /90 ganti dengan lisinopril 1 x 10mg karena captopril  dapat memperparah batuknya.


Tekanan darah, frekuensi batuk.


Spironolakton
polifarmasi
hilangkan

-


Lasix
polifarmasi
Hilangkan
-


Antrain
Indikasi tanpa terapi
Hilangkan, KARENA  pasien tidak mengalami nyeri, dimana kita ketahui antrain digunakan pada pasien pasca oprasi dan nyeri yang hebat.
-

Pneumonia
Gentamicin
Pemilihan obat kurang tepat
Hilangkan gentamicin ganti dengan levofloxacin
Evaluasi lekosist & tanda infeksi lainnya, kemungkinan
kristaluria, fungsi organ (ginjal, liver, mata) secara
periodik.

Batuk berdahak
dextrometorphan
Pemilahan obat kurang tepat
Hilangkan
Ambroxol dilanjutkan





Dalam kasus ini, terdapat beberapa DRP yaitu pemilihan obat kurang tepat, indikasi tanpa terapi dan duplikasi terapi. Pemberiaan gentamicin pada Community acquired pneumonia (CAP) dinilai kurang efektip dan efek samping yang ditimbulkan oleh gentamicin terlalu berisiko, efek samping yang ditimbulkan oleh gentamicin adalah ganguan vestibuler dan  pendengaran, nefrotosisitas, hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang. Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen. Pemberian terapi pada CAP  dibagi dalam 3 tahap yaitu rawat jalan,rawat inap, rawat inap intensif. Pada pasien Ny G dimasukan kedalam ruang rawat inap intensif, sehingga pemberiaan terapi sesuai dengan literatur yaitu cefotaxime + levofloksasin , kombinasi antibiotik ini dilakukan untuk meningkatkan dan memperluas kerja spektrumnya.
Antibiotik IV akan diganti PO bila pasien sudah menunjukkan perkembangan klinis, seperti temperatur < 38oC, RR<24/menit, HR<100/menit,  hemodinamika stabil untuk makan dan minum, WBC mendekati nilai normal, dyspnea berkurang (guideline pneumonia). Apabila  pasien sudah membaik dan diperbolehkan pulang, penggunaan antibiotik harus        diteruskan sampai 14 hari, antibiotik yang disarankan  untuk diresepkan pada pasien adalah  Menggunakan AB untuk pernafasan (respiratory flourokuinolon) à levofloksasin, gatifloksasin, atau moksifloksasin. Pasien pd kasus ini dpt diberikan levofloxasin (generik) 500-750 mg 1x1.
 Pemberiaan amlodipine + spironolakton + lasix pada pasien hypertensi urgency dianggap kurang tepat,  Seperti yang kita ketahui Ny G menderita hipertensi urgency  yaitu tekanan darah 190/110 mmhg dan terapi yang paling efektip  digunakan sesuai literatur adalah captopril 2 x 25 mg dan dimonitoring selama beberapa jam – 3 hari. Setelah target tercapai yaitu tekanan darah  di bawah 140/90 obat captopril diganti  dengan lisinopril ,dimana captopril bisa meningkatkan frekuensi batuk, pemilihan lisinopril sangat tepat karena lisinopril merupakan golongan ACEI  yang direkomendasikan menjadi  terapi lini pertama untuk pasien hipertensi selain itu  bisa sebagai vasodilator, ACEI juga bisa mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi. ACEI dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas karena merupakan vasodilator yang paling sesuai pada gagal jantung, dapat menurunkan resistensi arteri maupun vena dengan mencegah peningkatan angiontensin II (vasokontriktor), sehingga pelepasan aldosteron berkurang yang menyebabkan ekskresi Na+ dan H2O menurunkan volume darah dan mengurangi aliran balik vena ke jantung. Untuk pasien yang intoleran dengan penggunaan ACEI bisa diberikan ARB.
Pemberian antrain 3 x 1a pada hari pertama dinilai kurang efektip, antrain digunakan untuk meredahkan nyeri pada pasca oprasi dan nyeri kolik. Sedangkan pada penderita tidak mengalami nyeri sehinga penggunaan antrain bisa disimpulkan indikasi tanpa terapi.
Pada pasien ini diberikan dextromethorpan pada hari ke enam di nilai kurang efektif  karena dextromethorphan digunakan untuk menekan  batuk ( antitusif)  Pasien batuk berdahak, sehingga penggunaan amboxol tetap di lanjutkan.
Ambroxol mempunyai khasiat mukokinetik dan sekretolitik. Memperlancar pengeluaran sekresi yang kental dan lengket di dalam saluran pemafasan dan mengurangi staknaa lendir dan karenanya pengeluaran lendir dipermudah dan melegakan pemafasan. Sekresi lendir menjadi normal selama pengobatan dengan Ambroxol. Batuk dan volume dahak berkurang dengan nyata. Dengan demikian, sekresi yang berupa lapisan tipis pada permukaan mukosa pemafasan akan dapat melaksanakan fungsi protektif secara normal. Ambroxol mempunyai tolerabilitas yang baik, sehingga memungkinkan untuk penggunaan jangka panjang.
Nebulizer (farbiven) tetap dilanjutkan untuk Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran bronkus).
7)      Terapi suportif
-          Pemberian oksigen pada pasien yang menunjukkan tanda sesak, hipoksemia.
-           Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
-          Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
-          Nutrisi
-          Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
-          Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
-          Nutrisi yang memadai.
-          Tidak merokok
-          Membatasi asupan garam (natrium)












BAB V
KESIMPULAN

1.      Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen.
2.      Dalam kasus ini, terdapat beberapa DRP yaitu pemilihan obat kurang tepat, indikasi tanpa terapi dan duplikasi terapi.




















DAFTAR PUSTAKA
1.      Wibisono M Jusuf, Winariani, Hariadi Slamet. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo: Surabaya
2.      American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment ofseverity, antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54.
3.      Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman diagnosis dan   penatalaksanaan di Indonesia.2003
4.      Bernstein J M. Treatment of  Community-Acquired Pneumonia-IDSA guideline. Chest 1999;115: 9s-13s.
5.      Shah P B, Giudice J C. The Newer Guidelines for Management of Community-Aquired Pneumonia. JAOA 2004; 104: 521-26.
6.      Ausjesky D, Fine M.J. Does Guideline Adherence for Empeiric antibiotic therapy Reduce Mortality in Community-Acquired Pneumonia ? Editorials. Am J respire Crit Care Med 2005; 172: 655-59.
7.      Guideline for The Diagnosis and Management of Community Acquired Pneumonia : Adult. . By the Alberta Medical Association 2006 Update.