Featured Posts Coolbthemes
Saturday, 26 March 2016
TROMBOEMBOLI VENA
(MI
Ø
TAMPILAN KLINIK
·
Mayoritas pasien dengan
tromboemboli vena tidak pernah mengalami simtom dari kejadian akut
·
Simtom DVT termasuk
pembengkakan kaki, nyeri, melunak, eritema, dan rasa hangat. Tanda fisik bisa
termasuk palpable cord dan tanda Homan positif
·
Sindrom pasca trombtik
(komplikasi DVT berkepanjangan yang disebabkan kerusakan pada katup
vena) bisa menyebabkan pembengkakan ekstremitas bawah kronik, nyeri, melunak,
hilangnya warna kulit, dan ulser.
·
Simtom PE termasuk dyspnea (= kesulitan bernafas), tachypnea (= bernafas
secara cepat dan tidak teratur), nyeri dada pleuritik, takikardi, palpitasi,
batuk, diaforesis, dan hemoptysis (= batuk yang mengeluarkan darah). Kolaps
kardiovaskular, yang ditandai dengan cyanosis, syok, dan oliguria, merupakan
tanda kondisi yang berbahaya.
Ø
DIAGNOSIS
·
Penilaian kondisi pasien
sebaiknya difokuskan pada factor resiko (seperti, meningkatnya usia, operasi
besar, sebelumnya sudah mengalami tromboemboli vena, trauma, keganasan, dan
kondis hiperkoagulasi). Tanda dan simtom DVT adalah non spesifik, dan dibutuhkan uji yang
objektif untuk memastikan diagnosis.
·
Studi kontras radiografi adalah
metode paling akurat dan bisa diandalkan untuk diagnosis tromboemboli vena.
Dengan Kontras venografi bisa divisualisasikan seluruh system vena pada
ekstremitas bawah dan abdomen. Dengan Angiografi pulmonal bisa divisualisasikan
arteri pulmonal. Diagnosis tromboemboli vena bsia dilakukan jika ditemukan
defek pada pengisian intraluminal yang bertahan dengan sinar x.
·
Karena studi kontras mahal,
invasive, dan secara teknis sulit dilakukan dan evaluasinya, uji non-invasif
(seperti, ultrasonografi dan scan ventilasi-perfusi [V/Q]) sering digunakan
untuk evaluasi awal pasien yang dicurigai mengidap tromboemboli vena.
·
Ultrasonografi Doppler bisa
dengan sensitive mendeteksi trombus besar yang menutup vena proksimal tapi
relative tidak sensitive untuk thrombus lebih kecil yang tidak menutup vena
serta thrombus vena betis. Ultrasonografi Doppler juga berguna untuk menilai
kompetensi katup vena.
·
Scan V/Q adalah uji skrining
utama untuk tromboemboli vena. Defek kecil pada perfusi ke jaringan paru bisa
dideteksi, tapi defek perfusi pulmonal adalah non spesifik. Ventilasi ke
jaringan paru ditentukan dengan inhalasi partikel radiolabel yang dibentuk
aerosol; lalu diambil gambar sinar-x dari distribusi aliran udara pada alveoli.
Jka bagian besar jaringan paru diventilasi tapi tidka diperfusi (ketidakcocokan
V/Q), ada kemungkinan besar untuk PE. Hasil ditafsirkan sebagai
kemungkinan normal atau tinggi, kemungkinan intermediet, atau kemungkinan
rendah untuk PE, tapi pasien dengan kemungkinan intermediet sebaiknya
menjalani ultrasonografi ekstremitas bawah karena kebanyakan pasien dengan PE
mempunyai antecedent DVT.
·
Penilaian klinik meningkatkan
akurasi diagnosa untuk uji objektif non-invasif. Factor utama untuk DVT termasuk: (1) kanker aktif; (2) lumpuh,
paresis (= lumpuh sebagian, kelemahan otot), atau tidak bisa menggerakkan kaki;
(3) istirhaat total >3 hari dalam 4 minggu; (4) operasi besar dalam 4
minggu; (5) pelunakan setempat sepanjnag vena dalam; (6) pembengkakan betis dan
paha; (7) pembengkakan betis 3 cm lebih besar dari betis lain yang normal; dan
(8) riwayat keluarga untuk DVT.
·
Jika hasil dari penilaian klinik
dan ultrasonografi berlawanan, bisa dilakukan venografi atau angiografi untuk
memastikan diagnosis.
Ø
HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan perawatan tromboemboli vena adalah mencegah perkembangan PE
dan sindrom pasca trombotik, untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari
kejadian akut, dan untuk mengurangi efek samping dan biaya perawatan.
Ø
PERAWATAN (Gambar 14-2)
UNFRACTIONATED HEPARIN
·
Unfractionated heparin (UFH)
adalah campuran heterogen dari glikosaminnoglikan tersulfasi dari berbagai
panjang rantai dan sifat farmakologi. Berat molekul berkisar dari 5000sampai
20000 dalton (rerata 15000 dalton).
·
Efek antikoagulan dari UFH
dimediasi melalui rangkaian pentasakarida spesifik pada molekul heparin yang
terikat ke antitrombin, merangsang perubahan konformasi. Komplek
UFH-antitrombin 100-1000 kali lebih poten sebagai antikoagulan jika
dibandingkan dengan antitrombn tunggal. Antitrombin menginhibit aktivasi factor
IXa, Xa, XIIa, dan trombin (IIa).
Antitrombin juga menginhibit aktivasi V dan VIII yang diinduksi trombin.
·
UFH mencegah pertumbuhan dan
propagasi daritrombus yang sudah terbentuk sehingga system trombolitik pasien
bisa menghnacurkan bekuan tersebut. UFH jugabisa mempunyai efek langsung pada
trombolisis.
·
Kontraindikasi untuk terapi
heparin termasuk hipersensitivtas terhadap obat, perdarahan aktif, hemofilia,
penyakit liver parah dengan peningkatan prothrombin time (PT), trombositopenia
parah, hipertensi karena keganasan, dan ketidakmampuan untuk mengawasi dan
mengontol jalannya terapi.
·
UFH harus diberikan parenteral,
sebaiknya melalui IV atau subkutan. Pemberian intramuscular tidak dianjurkan
karena absorpsi yang jelek bisa menyebabkan hematoma (= gumpalan bekuan darah
dalam jaringan).
·
Pemberian IV diberikan ketika
dinginkan efek antikoagulan yang cepat.. infuse IV berkelanjutan lebih disukai
karena pemberian bolus dengan interval menghasilkan puncak aktivitas
antikoagulasi yang tinggi dan telah dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi
untuk perdarahan besar.
·
Dosis sebaiknya didasarkan pada
berat badan sesungguhnyal penyesuaian berat badan bisa dilakukan pada pasien
obes (>130% berat badan ideal). Loading dose 80-100 unit/kg (maksimum
10000 unit) diikuti infuse IV berkelanjutan dengan laju awal 17-20 unit/kg per
jam (maksimum 2300 unit/jam).
·
aPTT sebaiknya diperiksa tidak
lebih cepat dari 6 jam setelah memulai pemberian infuse atau setelah perubahan
dosis. Rentang terapetik adalah 1,5-2,5 kali rerata nilai control normal.
Penyesuaian pada dosis UFH berdasar pada pengukuran aPTT diberikan pada Tabel
14-1. Setelah target aPTT tercapai, pengawasan harian diindikasikan untuk
perubahan dosis kecil.
Table
14-1
·
perdarahan adalah efek samping
utama yang dihubungkan dengan UFH. Lokasi perdarahan yang paling umum ada;ah
saluran cerna, saluran urin, dan jaringan lunak. Area kritis termasuk
intracranial, pericardial, dan ntraokular dan juga kelenjar adrenal. Simtom
perdarahan bisa termasuk sakit kepala yang parah, nyeri sendi, nyeri dada,
nyeri abdominal, pembengkakan, tarry stools, hematuria, atau keluarnya
eritrosit melalui anus.
·
Jk aperdarahan besar terjadi,
UFH harus segera dihentikan dan diberikan IV protamine sulfat dengan
infuse IV lambat selama 10 menit (1 mg per 100 unit UFH yang sudah diinfuskan
selama 4 jam sebelumnya; maksimum 50 mg).
·
Trombositopeni (hitung platelet
<150000/mm3) adalah umum dan ada dua tipe yang bisa muncul:
o
Heparin –associated
thrombocytopenia, HAT, (trombositopeni yang dihubungkan dengan heparin) adalah
fenomena ringan yang biasanya muncul dalam 5 hari pertama perawatan. Hitung
platelet jarang jatuh di bawah 100000/mm3, dan akan kembali dengan
berlanjutnya terapi.
o
Heparin-induced
thrombocytopenia, HIT, (trombositopenia yang diinduksi heparin) yang meruakan
masalah serius yang membutuhkan penanganan segera. Hitung platelet harus
diawasi tiap 2-3 hari, dan kondisi
pasien harus dievalusi untuk HIT jika hitung platelet jatuh lebih dari 50% atau
<100000/mm3. Pada HIT,
hitung platelet biasanya mulai jatuh setelah 5 hari atau lebih penggunaan
heparin berkelanjutan. Hitung platelet bisa jatuh sampai 20000/mm3.
aktivasi platelet yang dimediasi system imun dan pembentukan trombin yang
dilihat selama HIT bisa menyebabkan komplikasi trombotik parah di arteri atau
vena (yaitu, oklusi limb arteri, stroke, infark myokardia, DVT , PE ).
Lesi kulit terjadi pada 10-20% pasien dan berkisar dari plak eritema setempat
yang sakit sampai nekrosis dermal yang meluas yang bisa membutuhkan amputasi.
Uji laboratorium untuk mendeteksi antibody heparin harus dilakukan untuk
memastikan diagnosa HIT. Bisa dilakukan penghentian penggunaan heparin dan
memulai penggunaan atikoagulan lain untuk mencegah komplikasi trombotik.
Diperlukan antikoagulan yang dengan cepat
menginhibit aktivitas trombin. Inhibitor trombin langsung, lepirudin
dan argotroban, telah disetujui FDA; danaparoid juga telah
dievaluasi pada uji klinik dan sering digunakan untuk indikasi ini.
·
Iritasi local, nyeri ringan,
eritema, reaksi seperti histamine, dan hematoma bisa terjadi pada lokasi
injeksi. Reaksi hipersensitivitas melibatkan menggigil, demam, urticaria, dan
bronkospasma (sangat jarang), mual, muntah dan syok telah dilaporkan.
Penggunaan UFH jangka panjnag telah dilaporkan menyebabkan alopesia (= kebotakan),
priapism (= ereksi penis yang bertahan), hiperkalemia, dan osteoporosis.
LOW-MOLECULAR-WEIGHT
HEPARIN, LMWH (Heparin BM rendah)
·
LMWHadalah fragment dari UFH
yang merupakan campuran heterogen dari glikosaminoglikan tersulfasi dengan BM
sekitar satu per tiga UFH.
·
Keuntungan LMWH dari UFH
termasuk: (1) respon dosis antikoagulan yang lebih bisa diprediksi; (2)
peningkatan bioavalabilitas subkutan; (3) kliren tidak tergantung dosis; (4)
waktu paruh biologis yang lebih panjang; (5) insiden untuk trombositopeni lebih
rendah; dan (6) tidak terlalu memerlukan pengawasan laboratorium.
·
Seperti UFH, LMWH meningkatkan
dan mempercepat aktivitas antitrombin dan mencegah pertumbuhan dan propagasi
thrombus yang sudah terbentuk. Puncak efek antikoagulan terlihat 3-5 jam
setelah pemebrian subkutan.
·
LMWH telah diterima luas
sebagai alternative UFH untuk perawatan DVT dengan atau tanpa PE. LMWH yang
diberikan subkutan sama efektifnya dengan UFH yang diberikan IV. Keefektifan
ini telah dievaluasi mendalam untuk perawatan tromboemboli vena pada pasien
rawat inap dan pasien rawat jalan. LMWH juga merupakan alternative UFH ketika
pengawasan dengan protrombn time (PT) atau international normalized ratio (INR)
tidak tersedia.
·
Regimen dosis subkutan berdasar
pada berat badan dan bervariasi tergantung pada produk:
o
Enoxaparin (Lovenox), 1 mg/kg tiap 12 jam atau 1,5 mg/kg tiap 24 jam.
o
Dalteparin (Fragmin), 100 unit/kg tiap 12 ham atau 200 unit/kg tiap 24 jam.
o
Tinzaparin (Innohep), 175 unit/kg tiap 24 jam.
·
Karena LMWH memberikan respon
dosis yang bisa diprediksi ketika diberikan subkutan, pengawasan laboratorium
secara rutin tidak dibutuhkan untuk memandu pengaturan dosis. PT dan aPTT
sedikit dipengaruhi leh LMWH. Sebelum memulai terapi, sebaiknya diperoleh
baseline PT/INR, aPTT, hitung sel darah lengkap dan hitung platelet, dan serum
keratin. Pengawasan periodic untuk hitung sel darah lengkap dan hitung platelet
dan occult fecal blood (= darah pada feses, tapi hanya bisa dideteksi secara
mikroskopis) dianjurkan selama terapi.
·
Pengukuran aktivitas anti
factor Xa bisa membantu pada pasien dengan gangguan fungsi renal yang
signifikan, berat <50 kg, sangat obese sehingga bisa mengancam jiwa,
membutuhkan perpanjangan terapi (seperti, >14 hari), hamil, atau beresiko
tinggi untuk serangan ulang perdarahan atau trombotik. Sample untuk aktivitas
anti factor Xa sebaiknya diambil sekitar 4 jam setelah injeksi subkutan. Untuk
perawatan VTE, target rentang adalah 0,5-1,0 unit/ml.
·
Seperti pada UFH, perdarahan
adalah efek samping paling umum untuk LMWH. Meski tidak ditunjukkan secara
konsisten pada uji klinik, perdarahan besar bisa lebih jarang dengan LMWH.
Perdarahan kecil sering terjadi, terutama pada lokasi injeksi. Jika terjadi
perdarahan besar, bisa diberikan protamine sulfate IV, meski tidak bsia
menetralisir efek antikoagulan speenuhnya. Dosis yang dianjurkan untuk
protamine sulfat adalah 1 mg per 100 unit anti factor Xa dari dosis LMWH yang diberikan dalam 8 jam sebelumnya. Jika
dosis LMWH diberikan dalam 8-12 jam, dosis protamne sulfate adalah 0,5 mg per
100 unit anti factor Xa. Proamine sulfat tidka dianjurkan jika LMWH sudah
diberikan >12 jam sebelumnya.
HEPARINOID
·
Natrium danaparoid (Orgaran) masih berhubungan dengan UFH dan LMWH, tapi tidak
mengandung heparin. Senyawa ini diturunkan dari mukosa intestinal babi dan
mengandung campuran tiga glikosaminoglikan yang tersulfasi: heparin, dermatan, dan
chondroitin. Natrium danaparoin telah disetujui FDA untuk profilaksis
tromboemboli vena pada pasien yang menjalani operasi penggantian pinggul
elektif, dan juga telah digunakan untuk perawatan tromboemboli vena dan stroke
karena iskemi.
·
Perdarahan adalah efek samping
paling umum. Seperti LMWH, danaparoid tidak memerlukan pengawasan laboratorium
secara rutin.
INHIBITOR ANTI
FAKTOR Xa
·
Natrium fondaparinux (Arixtra) adalah inhibitor selektif anti factor Xa yang terikat ke
protrombin, dengan hebat mempercepat aktivitasnya, serupa dengan aksi UFH dan
LMWH. Tetapi, karena ukuran molekulnya yang kecil, senyawa ini tidak merangsang
aktivitas enzimatik antrombin terhadap factor IIa (trombin) atau terikat ke
protein plasma lainnya. Penggunaannya telah disetujui untuk pencegahan
tromboemboli vena pada pasien yang menjalani operasi untuk pinggul yang retak
dan penggantian pinggul atau lutut. Dosis 2,5 mg subkutan sekali per hari.
INHIBITOR
TROMBIN LANGSUNG
·
Agen-agen ini berinteraksi langsung dengan trombin dan
tidak membutuhkan antitrombin untuk mempunyai aktivitas antitrombotik.
Agen-agen ini mampu menginhibit trombin
di sirkulasi dan di bekuan darah, yang merupakan kelebihan dibandingkan UFH dan
LMWH. Agen ini juga tidak menimbulkan trombositopenia yang diinduksi system
imun.
·
Kontraindikasi serupa untuk
obat antitrombotik lain, dan hemorrhage adalah efek samping paling umum dan
paling serius. Belum diketahui agen yang membalikkan aktivitas inhibitor
trombin langsung.
·
Meski agen-agen in menghasilkan
perubahan pada PT/INR, aPTT digunakan untuk melihat respon pasien (terhadap
terapi lepirudin dan argatroban), setelah studi baseline untuk oagulasi
didapatkan. Dosis dititrasi untuk mendapatkan aPTT 1,5-3 kali control. Hitung
sel darah lengkap harus diperoleh pada baseline dan setelahnya secara periodic
untuk mendeteksi potensi perdarahan.
·
Saat ini, lepirudi dan
argatroban diindikasikan sebagai antikoagulan untuk profilaksi dan perawatan
trombosis pada pasien dengan HIT, sedangkan bivalirudin diindikasikan untuk
digunakan bersama aspirin pada pasien dengan angina unstable dan akan
menajalani percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA).
o
Lepirudin (Refludan) adalah analog rekombinan dari hirudin yang tyerikat
ireversibel dan dengan spesifitas tinggi terhadap trombin. Dosis yang
dianjurkan untun perawatan HIT adalah 0,4 mg/kg IV bolus lambat, diikuti 0,15
mg/kg per jam infuse IV berkelanjutan. Waktu paruh eliminasi normal sekitar 90
menit. Lepirudin terutama diekskresi di renal, dan dosis awal harus dikurangi
pada pasien dengan gangguan fungsi renal. Sekitar 40% pasien yang dirawat
dengan lepirudin selama 10 hari atau lebih mengembangkan antibody, yang
mengurangi laju kliren renal. aPTT pertama harus sudah dilakukan 4 jam setelah
memulai infuse; penentuan lanjutan dianjurkan paling tidak sekali sehari.
o
Argatroban adalah agen sintetik yang diturunkan dari L-arginine yang mengikat
reversible pada situs katalitik aktif pada trombin. Waktu paruh elimanasi
terminal sekitar 30-50 menit. Dosis yang dianjurkan untuk perawatan HIT 2 μg/kg
per menit infuse IV berkelanjutan. aPTT pertama sebaiknya sudah diperoleh 2 jam
setelah memulai terapi. Dosis bisa disesuaikan jika dibutuhkan (maksimum 20
μg/kg per menit) sampai aPTT 1,5-3 kali control.
o
Bivalirudin (Angiomax, awalnya dikenal sebagai hirulog) juga merupakan analog
rekombinan dari hirudin, tapi inhibisi trombinnya revesibel dan memberikan
aktivitas antitrombin singkat dengan waktu paruh 20-30 menit. Perbedaan ini
dari levipirudin bisa mengurangi resiko perdarahan dan produksi antibody.
o
Ximelagatran (masih diselidiki sewaktu tulisan ini dibuat)adalah prodrug yang
diubah di liver menjadi melagatran. Bioavalaibilitas oral baik dan tampaknya
tidak dipengaruhi makanan. Onset aktivitas antitrombotik relative cepat, dan
waktu paruh eliminasi sekitar 3 jam, sehingga bisa diberikan dua kali sehari.
Karena agen ini tampaknya menghasilkan respon atitrombotik yang bisa diprediksi
dan mempunyai rentang terapi yang luas, penggunaannya bisa tidak memerlukan
pengawasan laboratrium secara rutin.
WARFARIN
·
Warfarin menginhibit enzim yang berperan untuk interkonversi siklis dari
vitamin K. Vitamin K adalah kofator yang dibutuhkan untuk karboksilasi protein
koagulasi yang tergantung vitamin K, protrombin (II); factor VII, IX, dan X;
dan protein antikoagulan endogenus, C dan S. Dengan mungurangi pasokan vitamin
K, warfarin secara tidak langsung memperlambat laju sintesis. Dengan menekan
produksi factor pembekuan, warfarin mencegah pembentukan awal dan prpagasi
trombi. Warfarin tidka mempunyai efek langsung pada factor pembekuan yang sudah beredar di
sirkulasi atau trombi yang sudah terbentuk. Waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek antikoagulan tergantung waktu paruh eliminasi dari protein
koagulasi. Karena protrombin mempunyai waktu paruh 2-3 hari, efek antitrombotik
warfarin tidak diperoleh selama 8-15 hari setelah memulai terapi.
·
Warfarin sebaiknya diberikan
bersamaan dengan terapi UFH atau LMWH. Untuk pasien dengan tromboemboli vena
akut, terpai heparin dan warfarin sebaiknya diberikan bersamaan selama paling
tidak 4-5 hari, meski target INR sudah tercapai sebelumnya. UFH atau LMWH bisa
dihentikan setelah INR dalam rentang yang diinginkan selama 2 hari
berturut-turut.
·
Panduan untuk memulai terapi
warfarin dibeirkan pada Gmabar 14-3. Dosis awal sebaiknya 5-10 mgt. pasien tua
(usia >65 tahun) dan mereka yang menjalani pengobatan yang berpotensi untuk
interaksi sebaiknya memulai dosis harian 2 ayau 2,5 mg.
·
Terapi warfarin dimonitor
dengan INR (target: 2,0-3,0 untuk DVT atau PE). Setelah kejadian tromboemboli
akut, INR sebaiknnya diukur paling tidak tiap 2-3 hari selama minggu pertama
terapi. Pada umumnya, peubahan dosis sebaiknya tidak dilakukan lebih sering
dari tiap 3 hari. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan menghitung dosis mingguan
dan mengurangi atau meningkatkannya 5-25%. Efek dari perubahan dosis kecil
mungkin tidak akan terlihat selama 5-7 hari. Setelah respon dosis pasien
didapatkan, INR bisa diperiksa tiap 7-14 hari sampai stabil dan lalu tiap 4
minggu setelahnya.
·
Warafarin sebaiknya dilanjutkan
selama paling tidak 3 bulan. Durasi yang lebih singkat (seperti, 6 minggu) bisa
diterapkan untuk beberapa pasien dengan DVT pasca operasi dan tidak mempunyai
factor resiko lain untuk tromboemboli vena. Pasien dengan serangan awal
tromboemboli vena idiopati sebaiknya menajalani perawatab selama 6 bulan. Durasi lebih lama (seperti, >1 tahun)
diajurkan untuk pasien dengan factor resiko yang bertahan atau yang mengalami
serangan ulang tromboemboli vena.
·
Komplikasi hemorrhage berkisar
dari ringan sampai parah dan mengancam nyawa bisa terjadi di semua bagian
tubuh. Saluran cerna merupakan lokasi perdarahan tersering. Memar di tangan dan
kaki umum terjadi, tapi hematoma yang menyakitkan mungkin memerlukan
penghentian terapi sementara. Hemorrhage intrakranial adalah komplikasi paling
serius dan sering berakibat kelumpuhan permanent dan kematian. Gambar 14-4
memberikan panduan untuk penanganan INR yang naik. Pasien dengan kenaikan INR
ringan (3,5-5,0) dan tanpa simtom atau tanda perdarahan biasanya bisa ditangani
baik dengan mengurangi dosis atau menahan satu dosis warfarin. Jika diperlukan
pengurangan INR dengan cepat, bisa diberikan vitamin K1 (phytonadine)
oral atau parenteral bisa dilakukan. Rute oral lebih disukai jika tidak
terjadi perdarahan besar. Rute IV memberikan hasil paling cepat, tapi telah
dihubungkan dengan reaksi anaphylactoid. Jika INR >9, dosis oral 5 mg
biasanya cukup. Dosis rendah vitamin K secara konsisten mengurangi INR dalam
12-24 jam tanpa membuat level warfarin pasien dibawah rentang terapi. Dosis
tambahan bisa diberikan jika diperlukan. Pada kejadian perdarahan serius yang
mengancam nyawa, vitamin K sebaiknya diberikan IV, bersamaan dengan plasma
segar beku atau konsentrat faktor.
·
Efek samping non-hemorrhagik
termasuk sindroma tumit ungu yang jarang dan nekrosis kulit.
Gambar
14-3
·
Kontraindikasi absolut untuk
warfarin termasuk perdarahan aktif, kecenderungan untuk mengalami hemorrhage,
kehamilan, dan riwayat nekrosis kulit yang diinduksi warfarin. Warfarin harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna,
baru saja menjalani operasi neural, penyakit liver alkoholik, gangguaan renal
parah, atau tidak bisa mengikuti jadwal terapi dan monitoring.
·
Karena banyak makanan dan obat
yang berinteraksi dengan warfarin, diperlukan pengawasan dan penentuan INR jika
akan memulai atau menghentikan pengobatan lain atau jika ditemukan perubahan
pada konsumsi makanan yang mengandung vitamin K.
TROMBOLISIS DAN
TROMBECTOMY
·
Agen trombolitik adalah enzim
proteolitik yang merangsang perubahan plasmingen menjadi plasmin, yang akan
mendegradasi matrik fibrin.
Gambar
14-4
·
Pada penanganan PE, trombolitik
telah menunjukkan mampu mengembalikan kondisi arteri pulmnal yang tersumbat
lebih cepat jika dibandingkan dengan UFH tunggal, tapi manfaat awal ini tidak
meningkatkan outcome jangkan panjang untuk pasien. Terapi trombolitik
tidak menunjukkan mengurangi morbiditas atau mortalitas dan dihubungkan dengan
resiko substansial untuk hemorrhage. Untuk alasan ini, trombolitik sebaiknya
disimpan untuk pasien dengan PE yang
akan menerima manfaat terbesar. Pasien
dengan trombus di atrium atau ventrikel kanan atau sudah mengalami
kompromi hemodinamik sebagai bukti adanya hipotensi yang signifikan atau
mengalami tahanan pada ventrikular kanan bisa mendapatkan manfaat dari terapi
trombolitik. Pasien dengan DVT yang masif dan limb gangrene meski sudah
mendapat antikoagulasi juga merupakan kandidat untuk mendapat trombolisis.
·
Ada tiga agen dan
regimen trombolitik yang tersedia untuk perawtan DVT dan PE:
o
Alteplase (Activase): untuk PE, 100 mg infusi IV selama 2 jam. Untuk DVT,
0,05 mg/kg per jam infusi berkelanjutan selama 24 jam (maksimum 150 mg) atau
80-100 mg infusi selama 2 jam.
o
Reteplase (Retavase): untuk PE,
10 unit IV bolus diikuti 30 menit kemudian dengan 10 unit IV bolus.
o
Streptokinase (Streptase): 250000 unit
infusi bolus selama 30 menit diikuti infusi IV berkelanjutan 100000 unit/jam
selama 24 jam (PE) atau 24-72 jam (DVT).
·
Trombin time atau aPTT
sebaiknya didapatkan sebelum dan 3-4 jam setelah memulai terapi. Selama nilai
yang didapat dari uji selama infusi diperpanjang melebihi nilai kontrol, bisa
diasumsikan bahwa fibrnolisis sistemik telah tercapai.
·
Selama infusi trombolitik,
terapi UFH atau LMWHsebaiknya ditunda sementara. Infusi berkelanjutan dengan
UFH sebaiknya dimulai lagi tanpa dosis bolus setelah pemberian trombolitik
ketika aPTT kembali ke kurang dari dua kali normal. UFH bisa diberikan segera
setelah infusi alteplase.
·
Trombektomi vena bisa dilakukan
untuk memindahkan trombus obstruktif pada pasien dengan trombus vena
iliofemoral yang signifikan, terutama jika pasien bukan merupakan kandidat atau
tidak merespn terhadap trombolitik. Terapi antikoagulan dosis penuh sangat
penting selama periode operasi dan pasca operasi. Pasien ini masih membutuhkan antikoagulankronik yang diberikan oral selama
durasi perawatan yang dianjurkan. Embolektomi pulmonal bisa digunakan pada
situasi yang mengancam nyawa, tapi dihubungkan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi.
PENCEGAHAN
TROMBOEMBOLI VENA
·
Metode non-farmakologi
memperbaiki aliran darah vena secara mekanik dan termasuk pemindahan pasien
secepatnya, stimulasi elektrikp ada otot betis selama operais yang
diperpanjang, penggunaan compression stocking, alat intermittent
pneumatic compression (IPC), dan filter vena cava inferior.
·
Teknik farmakologi melawan
kecenderungan pembentukan trombus dengan menghambat rangkaian koagulasi. Terapi
terpilih yang sesuai bisa mengurangi kejadian trombemboli vena setrelah
penggantian pinggul atau lutut, operasi umum, infark miokardia, dan stroke
iskemi. LMWH dan danaparoid tampaknya memberikan perlindungan terhadap
trombemboli vena sedikit lebih superior jika dibandingkan dengan UFH dosis
rendah. Meski begitu, UFH tetap merupakan pilihan yang sangat efektif, dan
biaya rendah untuk banyak pasien, jika diberikan dalam dosis yang sesuai (Tabel 14-2).
UFH subkutan dengan dosis yang disesuaikan untuk memeprtahankan aPTT pada kondisi
tinggi-normal lebih efektif pada pasien resiko tinggi (operasi penggantian
pinggul dan lutut). Tdak ada bukti bahwa :LMWH lebih efektif dari lainnya untuk
pencegahan tromboemboli vena. Warfarin umum digunakan untuk pencegahan
tromboemboli vena setelah perasi ortopedi pada ekstremitas bawah, tapi bukti
yang ada masih belum jelas untuk membandingkan keefektifannya jika dibandingkan
dengan LMWH untuk mencegah tromboemboli vena pada populasi resiko tinggi.
·
Profilaksis sebaiknya
dilanjutkan selama periode resiko masih ada. Untukp rosedur operasi umum dan
kondisi medis, profilaksis bisa dihentikan begitu pasien mampu dipindahkan dan
faktor resiko lainnya tidak lagi ada. Pada pasien yang telah menajalani operias
penggantian pinggul atau lutut total, perpanjnagan profilaksis (30-35 hari)
setelah keluar dari rumah sakit dengan LMWH atau warfarin tampaknya bermanfaat
karena tingginya resiko tromboemboli vena pada bulan pertama setalah keluar
dari rumah sakit.
Ø
EVALUASI HASIL TERAPI
·
Pasien harus diawasi untuk
perbaikan simtom, serangan ulang trombosis, dan simtom sindrom pasca trombotik,
dan juga untuk efek samping dari perawatan sebagaimana dijelaskan pada bab ini.
Tabel
14-2
·
Hemglobin, hemotocrit, dan
tekanan darah harus diawasi dengan seksama untuk mendeteksi perdarahan dari
terapi antikoagulan.
·
Uji-uji koagulasi (aPTT, PT,
INR) sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi untuk mendapatkan nilai
baseline pasien dan untuk memamdu terapi antikoagulasi berikutnya.
·
Pasien rawat inap yang
menggunakan warfarin sebaiknya ditanyai mengenai kepatuhan menjalankan
kepatuhan dan simtom terkait perdarahan dan komplikasi tromboemboli. Perubahan
apa pun pada pengobatan sebelumnya harus diselidiki.
Saturday, 3 January 2015
PARKINSON
DEFINISI
Idiopathic
Parkonsin’s disease (IPD) memiliki krateristik gejala klinis maupun hasil pemeriksaan neuropatologi yang khas, termasuk ganguan gerak/motorik dan pada beberapa kasus berupa ganguan kejiwaan/ mental.
PATOFISIOLOGI
·Aktivasi
reseptor D2 tampaknya penting untuk mediasi perbaikan klinik dan
beberapa efek samping (seperti, halusinasi).
· Degenerasi
neuron dopamin nigrostriatal menyebabkan peningkatan relatif dari aktivitas kolinergis interneuron dari striatal, yang berperan pada tremor pada IPD.
· Patogenesis
IPD tidak diketahui, tapi neurotoksin yang selektif terhadap reseptor
dopaminergik dan kerusakan selular dari oxyradicals telah dipertimbangkan.
MANIFESTASI KLINIK
· IPD muncul bertahap dan
berkembang dengan lambat. gejala klinik dirangkum pada Tabel 52-1. Simtom
awal melibatkan fungsi sensorik, tapi dengan memburuknya penyakit, satu atau lebih dari
tampilan primer klasik (seperti, tremor saat istirahat, kekakuan, bradikinesia,
perubahan postur) bisa muncul. Ciri lain termasuk micrographia, hypomimia
(berkurangnya pergerakan wajah) dan jarang berkedip, berjalan dengan menyeret
kaki, dan lamban.
Tabel
52-1
· Tremor saat istirahat adalah
tipikal dari IPD dan sering menjadi satu-satunya keluhan yang muncul.Tetapi,
hanya dua per tiga pasien IPD yang mempunyai tremor saat diagnosa, dan beberapa
tidak pernah mengalami simtom ini. Tremor paling umum muncul pada tangan,
awalnya unilateral, dan terkadang mempunyai kondisi khusus “pill-rolling”.
Tremor saat istirahat biasanya hilang dengan gerakan yang disengaja dan tidak
terjadi sewaktu tidur.
·
Kekakuan otot melibatkan
meningkatnya resistensi otot terhadap sejumlah gerakan pasif dan bisa bersifat cog-wheel. Instabilitas postural bisa
menyebabkan jatuh.
·
Berkurangnya intelektual tidak
bisa dihindari, tapi beberapa pasien mengalami kondisi yang sulit dibedakan
dari penyakit Alzheimer.
DIAGNOSA
· Kriteria diagnosa menyebutkan
paling tidak dua gejala yang muncul : (1) kekakuan otot tangan atau kaki;
(2) tremor saat istirahat (pada frekuensi 3-6 Hz dan hilang dengan gerakan yang
disengaja); (3) bradykinesia; atau (4) instabilitas postural.
· Sejumlah
kondisi lain harus dikeluarkan dari diagnosa. Parkinson yang diinduksi
pengobatan harus dikeluarkan (seperti, antipsikotik, antiemetik, atau metoclorpramide).
Kriteria diagnosa lainnya termasuk tidak terjadi gangguan neurologik lainnya
dan tingkat respon terhadap levodopa.
TARGET TERAPI
Tujuan terapi adalah memperkecil ketidak mampuan pergerakan dan efek samping
dengan tetap menjaga kualitas hidup. Keluarga dan pasien sebaiknya terlibat
dalam pengambilan kepetusan terkait pengobatan dan edukasi pasien.
TERAPI FARMAKOLOGI
· Skema
perawatan untuk IPD awal (early) dan akhir (late) ditunjukkan pada Gambar 52-1
dan 52-2
· Pada
pasien dengan simtom ringan, medikasi sering tidak diperlukan jika belum
terjadi ketidakmapuan pergerakan. Banyak pasien hanya menunjukkan tremor saat
istirahat dan pergerakannya tidak terlalu lambat, yang bisa ditangani dengan
efektif menggunakan antikolinergik atau amantadine.
· Terapi
paling efektif untuk IPD adalah penggantian neurotransmiter dopamine dengan
memberikan prekursornya,levodopa. Meski levodopa lebih efektif dari medikasi
lain yang tersedia, pertimbangan atas resiko untuk penggunaan jangka panjang
menyebabkan beberapa klinisi membatasi penggunaannya.
· Keputusan
untuk memasukkan levodopa atau agonis dopamine ditentukan oleh memburuknya
ketidakmampuan pergerakan dan medikasi alternatif yang tidak efektif dalam
mengendalikan simtom.
·
Rangkumam
medikasi yang tersedia dicantumkan pada Tabel 52-2.
Medikasi Antikolinergik
·
Antikolinergik
bisa efektif terhadap tremor dan tampilan dystonic (=kelainan tonus otot sehingga
kejang dan postur yang abnormal) pada beberapa pasien tapi sangat jarang
mempunyai efek bermanfaat untuk bradykinesia atau simtom lainnya. Agen ini bisa
digunakan sebagai monoterapi atau dengan antiparkinson lain. Agen-agen ini
sedikit berbeda satu dengan lainnya pada potensi terapi atau efek samping.
Gambar 52-1
Gambar 52-2
·
Efek
samping dari antikolinergik termasuk mulut kering, pandangan kabur, konstipasi
dan retensi urin. Efek samping lebih serius termasuk menjadi pelupa, depresi,
dan ansietas. Pasien yang mempunyai defisit kognitif dan bertambahnya usia
beresiko tinggi untuk efek sentral dari antikolinergik.
Amantadine
·
Amantadine sering efektif untuk simtom ringan, terutama
tremor. Obat ini juga mengurangi dyskinesia pada dosis yang relatif tinggi (400
mg/hari).
·
Mekanisme
aksi pastinya tidak diketahui tapi bisa melibatkan mekanisme dopaminergik atau
nondopaminergik seperti inhibisi reseptor N-methyl-d-aspartate.
·
Efek
samping termasuk sedasi, mimpi yang sangat nyata, mulut kering, depresi,
halusinasi, ansietas, pusing, psikosis, dan confusion.
Livedo reticularis (bercak difus pada kulit) merupakan efek samping yang sering
muncul tapi sifatnya reversibel.
·
Dosis
sebaiknya dikurangi pada pasien dengan disfungsi renal.
Tabel 52-2
Levodopa dan Carbidopa/Levodopa
·
Levodopa,
obat paling efektif yang tersedia, adalah prekursor dari dopamine. Agen ini melewati
sawar darah-otak, sedang dopamin tidak.
·
Ada
konsensus umum bahwa pemberian obat dimulai saat penyakit mulai mengganggu
aktivitas pasien.
·
Pada
sistem saraf pusat dan dibagian tubuh lain, levodopa dikonversi oleh L-amino acid
decarboxylase (L-AAD) menjadi dopamine. Di perifer, L-AAD bisa dihalangi dengan pemberian carbidopa,
yang tidak melewati sawar darah-otak. Sehingga carbidopa meningkatkan penetrasi
levodopa ke SSP dan mengurangi efek samping (mual, muntah, aritmia kardia,
hipertensi postural) dari metabolisme levodopa perifer menjadi dopamine.
·
Medikasi
dimulai dengan pemberian levodopa 200-300 mg/hari dalam kombinasi dengan carbidopa.
Regimen ini memberikan pengurangan ketidakmampuan pergerakan yang cukup. Dosis
maksimum levodopa adalah 800 mg/hari.
·
Sekitar
75 mg carbidopa dibutuhkan untuk mencegah efek samping perifer, tapi beberapa
pasien bisa butuh sampai 150 mg/hari. Carbidopa/levodopa paling banyak
digunakan dalam tablet 25 mg/100 mg, tapi tersedia juga sediaan 10 mg/100 mg.
Sediaan pelepasan terkendali untuk carbidopa/levodopa juga tersedia dalam 50
mg/200 mg dan 25 mg/100 mg. Jika efek samping perifer cukup kuat, tersedia
tablet carbidopa 25 mg (Lodosyn).
·
Sekitar
5-10% pasien IPD mengalami pergerakan tidak terkendali atau respon durasi
singkat dengan tiap tahun terapi levodopa yang dijalani. Komplikasi pergerakan
yang dihubungkan dengan penggunaan lama carbidopa/levidopa dan perawatannya
dicantumkan pada Tabel 52-3.
·
End-of-dose deterioration (“wearing off”) telah dihubungkan dengan peningkatan kemampuan
penyimpanan dopamine di neuron. Carbidopa/levodopa bisa diberikan lebih sering
atau sediaan lepas lambat bisa digunakan. Beberapa pasien yang menggunakan
sediaan lepas lambat membutuhkan peningkatan dosis levodopa karena penurunan
bioavalaibilitas, dan bisa diperlukan dosis carbidopa/levodopa konvensional di
pagi hari untuk absorpsi dan respon yang cepat. Agonis dopamine juga bisa
ditambahkan ke carbidopa/levodopa.
·
Monoamine
oxidase B (MAO-B) inhibitor (selegiline)
dan catechol-O-methyl-transferase (COMT) inhibitor (tolcapone dan entacapone)
memperpanjang aksi levodopa, sebagaimana dibahas lebih lanjut nanti di bab ini.
·
Fluktuasi
cepat dari keadaan motor “on” ke “off” bisa muncul pada pasien yang menggunakan
levodopa secara kronik. Penambahan agonis dopaminergik dan COMT inhibitor bisa
bermanfaat. Periode bebas obat (libur obat) tidak terbukti bermanfaat sebagai
intervensi terapi karena tidak nyaman, resikonya, dan hasil terbatas yang
terlihat pada kebanyakan pasien.
·
Dyskinesia
dan dystonia biasanya dihubungkan dengan puncak dari efek antiparkinson.
Penggunaan levodopa dosis lebih kecil dan sering, sediaan lepas lambat, atau
penambahan agonis dopamine bisa membantu.
·
Efek
samping psikiatri dari levodopa termasuk derilium, agitasi, paranoia, delusi,
dan halusinasi. Ini terutama terjadi pada pasien lebih tua dan mereka yang
mengalami dementia dan confusion. Clozapine dosis rendah bisa memperbaiki
simtom psikotik dengan tetap memperbaiki tremor dan simtom motor lainnya. Quatlapine juga aman dan efektif. Olanzapine dan risperidone bisa memperbaiki simtom psikotik tapi memperburuk
tampilan parkinson.
·
Ada
variabilitas intra- dan intersubyek bermakna pada waktu untuk mencapai puncak
konsentrasi plasma setelah levodopa oral, dan bisa lebih dari satu puncak konsentrasi
setelah dosis tunggal karena pengosongan lambung yang lambat. Makanan menunda
sedang antasid memacu pengosongan labung. Levodopa umumnya diserap di duodenum
proksimal oleh sistem transpor large neutral amino acid (LNAA) jenuh. LNAA dari
makanan bisa berkompetisi untuk situs ini dan berkompetisi dengan levodopa
untuk transpor ke otak. Waktu paruh eliminasi dari levodopa sekitar 1 jam dan
diperpanjang sampai 1,5 jam dengan carbidopa.
Tabel 52-3
·
Levodopa
sebaiknya tidak diberikan dengan MAO-A inhibitor, karena adanya resiko krisis
hipertensi, atau dengan agen antipsikotik tradisional, karena kemungkinan
antagonisme efikasi levodopa.
Selegiline
·
Selegiline (deprenyl; Eldepryl) adalah MAO-B inhibitor yang
ireversibel yang menghalangi pemecahan dopamine dan memperpanjang durasi aksi
levodopa sampai 1 jam. Dengan agen ini dosis levodopa bisa dikurangi sampai setengahnya.
· Selegiline
juga meningkatkan puncak efek levodopa dan bisa memperburuk dyskinesia atau simtom psikiatri seperti delusi dan halusinasi.
· Metabolit
selegiline adalah L-methamphetamine dan L-amphetamine. Efek samping sedikit dan termasuk
imsomnia dan gugup.
· Dari
studi untuk evaluasi sifat neuroproteksinya diperkirakan selegiline bisa
menunda kebutuhan untuk levodopa sampai sekitar 9 bulan dan mempunyai efek
simtomatik, tapi tidak ada bukti kuat bahwa agen ini bisa memperlambat
neurodegenerasi.
COMT Inhibitor
·
Tolcapone (Tasmar) dan entacapone
(Comtan) digunakan hanya bersamaan dengan carbidopa/levodopa untuk mencegah
perubahan levodopa di perifer menjadi metabolitnya 3-O-methyldopa (3OMD) sehingga memperpanjang aksi carbidopa/levodopa.
Agen-agen ini secara signifikan menurunkan waktu ”off” dan menurunakan
kebutuhan levodopa. Penggunaan MAO inhibitor nonselektif secara bersamaan
sebaiknya dihindari untuk mencegah inhibisi jalur untuk metabolisme katekolamin
normal.
·
Dosis
tolcapone awal yang dianjurkan adalah 100 mg tiga kali sehari sebagai tambahan
untuk carbidopa/levodopa. Penggunaannya dibatasi potensinya untuk disfungsi
liver; beberapa kematian telah dilaporkan. Pengawasan ketat pada fungsi hati
dibutuhkan.
·
Karena
entacapone mempunyai waktu paruh lebih singkat, 200 mg diberikan untuk tiap
dosis carbidopa/levodopa sampai delapan kali sehari. Efek samping dopaminergik
bisa muncul dan ditangani dengan mudah dengan mengurangi dosis
carbidopa/levodopa. Urine oranye-kecoklatan bisa terlihat (juga dengan
tolcapone), tapi tidak ada bukti hepatotoksisitas dari entacapone.
Agonis Dopamine
·
Turunan
ergot pergolide (Permax) dan bromocriptine (Parlodel) dan agen non-ergot
pramipexole (Mirapex) dan ropinirole (Requip) adalah agen
tambahan yang bermanfaat pada pasien dengan respon terhadap levodopa yang
menurun, dan untuk mereka dengan respon klinik terbatas karena tidak bisa
mentolerir levodopa dosis tinggi. Agen ini menurunkan frekuensi periode ”off”
dan memberikan efek levodopa-sparring.
·
Pergolide
dengan levodopa adalah serupa atau mungkin lebih berefek dengan efek samping
lebih sedikit dari bromocriptine dengan levodopa.
·
Ketika
digunakan dalam monoterapi, pergolide, pramipexole, dan Ropinirole tampaknya lebih efektid dari bromocriptine
sebaagi alternatif untuk levodopa, tapi hanya pramipexole dan ropirinole yang
disetujui untuk monoterapi.
·
Penggunaan
kombinasi levodopa dengan agonis dopamine atau monoterapi agonis dopamine
sebagai terapi awal menunjukkan penurunan resiko untuk terjadinya fluktuasi
respon. Ini menimbulkan pertanyaan apakah terapi awal IPD sebaiknya merupakan
monoterapi agonis dopamine. Karena pasien lebih muda lebih mungkin
mengembangkan fluktuasi motor karena harapan hidup yang lebih lama, agonis
dopamine bisa dipilih untuk populasi ini. Pasien lebih tua lebih mungkin
mengalami psikosis dari agonis dopamine dan mempunyai harapan hidup lebih
pendek; karenanya, carbdopa/levodopa bisa menjadi medikasi awal terpilih,
terutama jika pasien dementia.
·
Pemilihan
agonis dopamine tergantung pada ongkos dan pengalaman dokter. Dosis awal
bromocriptine yang dianjurkan adalah 1,25 mg sekali atau dua kali sehari; dosis
sebaiknya dinaikkan perlahan 1,25-2,5 mg/hari tiap minggu dan dijaga pada dosis
efektif minimum. Rerata dosis harian <30 mg bisa efektif untuk beberapa
tahun pada banyak pasien, tapi beberapa pasien membutuhkan sampai 120 mg/hari.
·
Dosis
awal pergolide yang dianjurkan adalah 0,05 mg/hari selama 2 hari, ditingkatkan
bertahap 0,1-0,15 mg/hari tiap 3 hari selama 12 hari. Jika diperlukan dosis
lebih tinggi, dosis bisa dinaikkan 0,25 mg tiap 3 hari sampai simtom hilang
atau efek samping muncul. Dosis terapi rata-rata pada kebanyakan uji klinik
adalah sekitar 3 mg/hari.
·
Pramipexole
diberikan dalam dosis awal 0,125 mg tiga kali sehari dan dinaikan tiap 5-7 hari
sejauh yang bisa ditolerir. Pada studi dosis tetap, dosis>3 mg/hari tidak
lebih efektif dari 1,5 mg/hari dan dihubungkan dengan efek samping yang lebih
sering. Agen ini terutama diekskresi di renal, dan dosis awal harus disesuaikan
pada gangguan fungsi ginjal.
·
Ropinirole
diberikan dalam dosis awal 0,25 mg tiga kali sehari dan dinaikkan 0,25 mg tiga
kali sehari tiap minggu. Agen ini dimetabolisme oleh sitokrom P450 1A2;
fluoroquinolone dan merokok bisa merubah kliren ropinirole.
·
Mual
muncul pada >50% pasien yang menggunakan agonis dopamine; muntah jarang
terjadi. Kecuali untuk hipotensi postural, efek kardiovaskular jarang muncul.
Efek SSP (seperti, confusion,
halusinasi, dan sedasi) umumnya terkait dosis dan terjadi pada satu per tiga
pasien.
TERAPI OPERASI
·
Teknik
operasi paling menjanjikan adalah deep
brain stimulation (DBS) pada globus pallidus interna (GPI) dan nukleus
subtalamik, yang menurunkan keluaran dari area ini, sehingga mengurangi input
ke talamus.
·
Thalamus
DBS dan thalactomy (penghancuran lesi focal dari talamus) bisa mengurangi
tremor.
·
Pallidotomy
(penghancuran lesi focal pada GPI) dan GPI DBS bisa membantu pada diskinesia
parah dan fluktuasi on/off tapi tidak bermanfaat untuk bradykinesia.
EVALUASI HASIL TERAPI
·
Pasien
dan orang yang merawat sebaiknya diedukasi bahwa mereka bisa ikut serta dalam
perawatan dengan merekam waktu pemberian medikasi dan durasi periode ”on” dan
”off”.
·
Simtom,
efek samping dan aktivitas keseharian haris dimonitor dan terapi harus
individual.
Subscribe to:
Posts (Atom)